28 C
Jakarta

BIN Katakan 39 persen Mahasiswa Terpapar Radikalisme

Dakwah Merangkul, Bukan Memukul

Baca Juga:

SEMARANG, MENARA62.COM — Kepala Badan Intelijen Negara (BIN), Budi Gunawan, mengungkapkan, sekitar 39 persen mahasiswa dari sejumlah perguruan tinggi telah terpapar paham radikal.

Menurut mantan mantan wakapolri ini, saat menjadi pembicara kunci dalam Kongres IV BEM PTNU se-Nusantara di Semarang, Sabtu (28/4/2018), kondisi tersebut didasarkan atas penelitian BIN yang dilakukan pada 2017 lalu, seperti dilansir Antara.

Menurut dia, 15 provinsi di Indonesia menjadi perhatian pergerakan radikalisme itu. Dari penelitian itu juga, diketahui tiga perguruan tinggi di Indonesia mendapat perhatian karena kondisinya bisa menjadi basis penyebaran paham radikal.

Namun, Gunawan tidak mengungkapkan identitas ketiga perguruan tinggi itu. Berdasarkan penelitian itu, juga diketahui peningkatan paham konserfatif keagamaan. Dari survei yang dilakukan, diperoleh data 24 persen mahasiswa dan 23,3 persen pelajar SMA setuju dengan jihad untuk tegaknya negara Islam. “Kondisi ini mengkhawatirkan karena mengancam keberlangsungan NKRI,” katanya.

Kondisi itu, lanjut dia, juga diperkuat dengan keterlibatan seorang pemuda lulusan salah satu PTN yang terlibat dalam teror di Jakarta beberapa waktu lalu.

“Ini semakin menegaskan bahwa lingkungan kampus sudah menjadi target bagi kelompok radikal untuk memobilisasi calon teroris baru,” ujarnya.

Oleh karena itu, lanjut dia, mahasiswa harua mampu memilah mana yang baik dan mana yang buruk. Fenomena radikalismen di kalangan mahasiswa sangat besar dari aspek potensi ancaman.

Ia menggarisbawahi, peran strategis mahasiwa untuk mewujudkan masyarakat yang madani.

Sejarah, lanjut dia, mencatat gerakan mahasiswa yang menjadi motor perubahan di Indonesia. “Jangan mahasiswa justru diperalat oleh kelompok radikal untuk memecah belah tatanan masyarakat yang kita bangun,” katanya.

Kesalahpahaman

Prof Dr Syekh Ahmad ath-Thayyib, Syekh al-Azhar Kairo, Mesir, dalam buku Jiha Melawan Teror mengatakan, kata “jihad” sering mendapat pemahaman sentimen negatif. Karena sering dimunculkan setelah ada sebuah peristiwa teror yang terjadi di masyarakat. Biasanya, mengiringi sebuah peristiwa teror tersebut, lantas dilanjutkan “serangan” terhadap Islam melalui publikasi yang gencara berbagai media,  dengan mengatakan bahwa teror itu dilakukan dengan mengatasnamakan Islam. Dengan tren semacam ini, sangat wajar bila kaum muda pemamah media daring, yang rata-rata pemahaman keagamaannya kurang mendalam memiliki sentimen negatif pada kata “jihad”.

Syekh Ahmad pada bagian pengantarnya mengatakan, di tengah lautan peristiwa kekerasan yang datang silih berganti, di tengah gelombang keekstreman yang rasa sakitnya sedang dirasakan oleh dunia pada hal ini; saat yang sama, mendungnya yang pekat tengah diembuskan ke banyak negara di dunia, terutama Dunia Arab dan Islam, sehinggga mengancam keamanannya, dan mencerabut keselamatan dan kesehatannya.

Pada hari ini, kita sedang mengalami perpecahan pemikiran dan merasakan pedihnya terorisme yang mengatasnamakan agama, sehingga terjadi pembunuhan, pembantaian, pembakaran, peledakan dan kejahatan-kejahatan lain atas nama agama, padahal agama sama sekali tak terkait.

Dalam suasana yang diliputi oleh kabut terorirme, pengafiran, dan penyesatan ini, sudah seharusnya para pemegang amanah kekuasaan tidak memunculkan pernyataan yang intuitif dan memperkeruh suasana. Prof Din Syamsuddin, utusan khusus presiden untuk dialog dan kerja sama antaragama dan peradaban dalam banyak kesempatan selalu mengajak agar dakwah yang merangkul dan tidak memukul.

- Advertisement -

Menara62 TV

- Advertisement -

Terbaru!