31.3 C
Jakarta

Demi Masa

Baca Juga:

‎“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, ‎kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan ‎nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat ‎menasehati supaya menetapi kesabaran.” (Q.S. Al-‘Ashr: 1-3)‎

Nabi Muhammad Saw. mengingatkan, ada dua nikmat besar yang ‎sering diabaikan oleh manusia, yaitu: nikmat sehat, dan nikmat waktu luang. ‎Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim ini ‎menunjukkan, betapa pentingnya kedua nikmat tersebut dalam kehidupan ‎kita, yaitu kesehatan dan waktu luang. ‎

Kita seringkali merasakan betapa nikmatnya kesehatan, justru ketika ‎tengah terbaring sakit. Kita juga kerap menganggap betapa pentingnya waktu, ‎justru ketika kita dalam kondisi sempit atau usia telah uzur.‎

Dengan demikian, tepat sekali pesan al-Qur’an dalam surat al-‘Ashr di ‎atas, bahwa demi waktu, sesungguhnya manusia berada dalam kerugian, ‎kecuali orang-orang yang beriman dan beramal saleh, serta saling menasehati ‎untuk kebenaran dan juga saling menasehati untuk kesabaran.‎

Syekh Nawawi al-Bantani, dalam kitab tafsirnya, Marah Labid ‎menjelaskan, maksud dari kalimat wa al-‘Ashri, adalah bahwa Allah SWT ‎bersumpah dengan masa atau zaman, di mana di dalamnya terdapat ‎rangkaian peristiwa kehidupan. Seperti: lapang dan sempit, sehat dan sakit, ‎kaya dan fakir, senang dan sedih serta beragam kisah kehidupan yang ‎melingkupi setiap manusia. ‎

Dalam menjalani beragam peristiwa dan kisah hidup tersebut, manusia ‎selalu berada dalam kerugian, kecuali mereka yang memegang teguh empat ‎prinsip hidup yang diajarkan al-Qur’an. ‎

Keempat prinsip hidup tersebut adalah: 1) Iman; 2) Amal saleh; 3) ‎Saling menasehati untuk kebenaran; 4) Saling menasehati untuk kesabaran.‎

Ketika menafsirkan makna ‘kerugian’ dalam Q.S. Al-‘Ashr tersebut, ‘Abd ‎al-Karim al-Khathib dalam karyanya Al-Tafsir al-Qur’ani li al-Qur’an ‎menjelaskan, kerugian yang dimaksud adalah kesesatan. Hal ini ‎disebabkan karena ketidaktahuan manusia akan kualitas dirinya (qudrat) ‎yang sesungguhnya, serta keengganannya untuk mencapai posisi (maqam) ‎yang mulia di sisi Allah. Padahal, Allah SWT sudah menciptakannya dalam ‎bentuk terbaik di antara ciptaan Allah lainnya.

Ironisnya, manusia justru tidak menyadari kualitas serta potensi ‎dirinya. Dia tidak menempuh jalan menuju kemuliaan, malah justru ‎memperturutkan hawa nafsunya, menyejajarkan dirinya dengan binatang, ‎yang hanya mengejar kenikmatan jasmani semata, seperti makan, minum, ‎dan berhubungan seks. Hanya sedikit saja di antara manusia yang memahami ‎hakekat kemanusiaannya, yang mau menempuh jalan untuk menjadi manusia ‎mulia yang tinggi derajatnya di sisi Allah SWT.

Untuk mencapai posisi mulia, yaitu manusia dengan derajat yang ‎tinggi di sisi Allah, maka empat prinsip yang sudah disebutkan di atas, yaitu: ‎iman, amal saleh, saling menasehati untuk kebenaran dan kesabaran, harus ‎selalu kita pegang teguh.‎

Dua prinsip pertama, yaitu iman dan amal saleh, ibarat dua sisi mata ‎uang yang tidak bisa dipisahkan, saling terkait erat satu sama lain. Bukti iman ‎seseorang harus mewujud dalam tindakan nyata sehari-hari. Pun demikian, ‎tindakan serta aktivitas sehari-hari harus selalu didasari oleh keimanan.‎

Adalah omong kosong belaka, ketika seseorang mengaku beriman, ‎tetapi tidak ada dampak apa pun dari keimanannya yang tampak dalam ‎aktivitas sehari-harinya. Tidak ada aktivitas positif (amal saleh) yang ‎dilakukannya, serta perilakunya jauh dari nilai-nilai keimanan. ‎

Demikian halnya, kebaikan yang dilakukan seseorang, yang hanya ‎ditujukan untuk mengharap sanjung puji dari orang lain, bukan karena ‎ketulusan hati yang didasari keimanan, maka hal ini juga tidak disebut ‎dengan amal saleh.‎

Intinya, antara iman dan amal harus saling berkait kelindan satu sama ‎lain. Jika keduanya bersinergi dengan baik, maka itulah yang akan ‎menghindarkan seseorang dari kerugian, sebagaimana disebutkan dalam ayat ‎di atas.‎

Dua prinsip berikutnya adalah saling menasehati untuk kebenaran dan ‎kesabaran. Az-Zamakhsyari dalam tafsir Al-Kasysyaf menjelaskan, ‎makna wa tawashaw bi al-haqq (menasehati untuk kebenaran) adalah saling ‎menasehati untuk tetap dalam bertauhid kepada Allah. Taat kepada-Nya, ‎mengikuti kitab-Nya, meneladani rasul-Nya, zuhud dalam urusan dunia serta ‎semangat dalam urusan akhirat. Sedangkan wa tawashaw bi al-shabr ‎‎(menasehati untuk kesabaran) adalah saling menasehati untuk tetap sabar ‎dalam ketaatan kepada Allah dan dalam menjauhi maksiat kepada-Nya.‎

Keempat prinsip hidup yang dijelaskan Q.S. Al-‘Ashr itulah yang akan ‎menyelamatkan umat manusia dari kerugian.‎

Ruang Inspirasi, Jumat (14/2/2020).

- Advertisement -

Menara62 TV

- Advertisement -

Terbaru!