31.3 C
Jakarta

DJSN: Tutup Dulu Akumulasi Defisit BPJS Kesehatan, Baru Naikkan Premi

Baca Juga:

BOGOR, MENARA62.COM – Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) mengusulkan agar sebelum kenaikan premi asuransi program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) diberlakukan, sebaiknya pemerintah menyelesaikan akumulasi defisit anggaran BPJS Kesehatan yang kini sudah mencapai lebih dari Rp32 triliun. Sebab tanpa menutup akumulasi defisit BPJS Kesehatan tersebut maka kenaikan premi asuransi menjadi tidak akan berfungsi optimal.

“Kalau mengandalkan kenaikan premi asuransi untuk menutup defisit yang sudah sedemikian besar, tentu tidak bisa. Akumulasi defisit harus dibayar atau diselesaikan dahulu,” kata Anggota DJSN Ahmad Ansyori didampingi dr Zaenal Abidin saat berbicara pada Diskusi Evaluasi Capaian dan Harapan Pelaksanaan Kerja Forum Media DJSN 2019, di Cikopo, Bogor, Senin (14/10/2019).

Menurutnya akumulasi defisit anggaran BPJS Kesehatan yang terjadi setiap tahun tersebut tidak boleh menjadi beban keuangan JKN tahun mendatang paska diberlakukannya tariff baru. Itu mengapa pemerintah harus mencari dana untuk menutup defisit tersebut agar premi baru bisa berfungsi optimal untuk meningkatkan layanan kepada peserta JKN.

Seperti diketahui, pemerintah akan menaikkan premi asuransi BPJS Kesehatan terhitung awal 2020. Untuk kelas III (Penerima Bantuan Iur) naik dari Rp25.500 per kepala menjadi Rp42.000, kelas 2 naik dari Rp51.000 menjadi Rp110.000, kelas 1 naik dari Rp80.000 menjadi Rp160.000.

Jika besaran premi asuransi JKN tersebut diberlakukan mulai 2020, lanjut Ansyori, diyakini dapat mendanai program JKN secara sehat hingga tahun 2021. Tetapi pada 2022 harus dihitung ulang dana BPJS Kesehatan untuk dihitung ulang formulasi pendanaan tahun berikutnya guna menghindari defisit anggaran. Tentunya disesuaikan dengan inflasi dan kenaikan harga barang termasuk harga obat dan alat kesehatan.

Data menunjukkan bahwa pengguna program JKN dari tahun ke tahun meningkat. Data tahun 2018 mencatat total pemanfaatan layanan kesehatan melalui program JKN mencapai 233,9 juta layanan. Rinciannya terdiri dari 147,4 juta layanan pada Fasilitas Kesehatan Tahap Pertama (FKTP), 76,8 juta layanan Rawat Jalan RS, 9,7 juta Layanan Rawat Inap RS.

“Rata-rata jumlah layanan kesehatan melalui JKN mencapai 640.822 layanan setiap hari,” tukas Ansyori.

Sementara itu dr Zainal Abidin, anggota DJSN menjelaskan sejak program JKN digulirkan, sebenarnya potensi defisit sudah ada. Sebab nilai premi asuransi yang diberlakukan sejak program digulirkan, tidak sesuai dengan nilai aktuaria.

“Sekarang, pemanfaat program JKN terus bertambah. Sementara defisit anggaran yang terjadi tahun-tahun sebelumnya juga belum ditutup,” katanya.

Pemerintah sendiri membiayai sekitar 134 juta jiwa penduduk miskin melalui segmen PBI. Ada pun jumlah PBI mencapai 60% dari seluruh peserta program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dikelola oleh BPJS Kesehatan.

Menurut Zaenal, peserta JKN tidak aktif merupakan peserta yang menunggak iuran. Sebagian dari peserta tidak aktif disebabkan oleh Adverse Selection, yaitu mendaftar saat sakit dan tidak melanjutkan iuran ketika sehat.

“Lebih dari 50% menandakan lebih banyak peserta tidak aktif dibandingkan peserta yang aktif,” ungkap dia.

Selain itu, lanjut Zaenal, besaran iuran yang terlalu rendah dibandingkan dengan besaran biaya per peserta per bulan (Cost Per Member Per Month/CPMPM) memberikan andil terhadap Defisit JKN.

Defisit JKN juga disebab pertumbuhan peserta belum dibarengi dengan peningkatan kolektabilitas iuran, khususnya peserta mandiri. Kemudian besarnya klaim rasio menunjukkan adanya defisit dalam program JKN dan diperlukan upaya rekstrukturisasi JKN.

“Untuk itu efisiensi diperlukan untuk menyeimbangkan kembali pendapatan dan pengeluaran,” kata dia.

DJSN jelas dr Zaenal memberikan rekomendasi dalam upaya penanganan defisit program JKN. Yakni, perlu dilakukan perbaikan sistemik pada bidang kelembagaan, harmonisasi regulasi, dan peningkatan mutu pelayanan termasuk pencegahan fraud, penyediaan sarana termasuk peningkatan mutu tenaga kesehatan, optimalisasi penerimaan, edukasi publik dan penegakan hukum.

“Juga perlu penyesuaian besaran iuran, dengan pertimbangan. Jika usulan iuran diberlakukan mulai tahun 2020 maka dapat dicapai sustainabilitas dana JKN hingga akhir tahun 2021,” kata Zaenal.

Meski begitu, kata Zaenal, penanganan tersebut dapat dilakukan dengan asumsi bahwa Pemerintah telah menyelesaikan akumulasi defisit sampai akhir tahun 2019. Juga tidak adanya kenaikan tariff INA-CBGs dan kapitasi.

“Kami juga tidak mengasumsikan upaya efisiensi (penurunan) biaya kesehatan,” ujar Zaenal.

Menurut Zaenal, kenaikan tarif pelayanan kesehatan akan meningkatkan biaya kesehatan. Antisipasinya bisa dilakukan dengan tiga cara, yaitu adakan upaya efisiensi biaya kesehatan, kenaikan iuran atau pelunasan defisit.

Sejak tahun 2014, ungkap Zaenal, setiap tahun program JKN selalu mengalami defisit. Sebelum memperhitungkan intervensi Pemerintah, baik dalam bentuk Penanaman Modal Negara (PMN) maupun bantuan APBN, besaran defisit JKN masing-masing Rp2,9 triliun (2014), Rp9,4 triliun (2015), Rp6,7 triliun (2016), Rp13,8 triliun (2017), dan Rp19,4 triliun (2018).

Dalam rangka mengatasi defisit JKN itu, pemerintah memberikan bantuan dalam bentuk PMN sebesar Rp5 triliun (2015) dan Rp6,8 triliun (2016) serta bantuan dalam bentuk bantuan belanja APBN sebesar Rp32 triliun di tahun 2019, dan meningkat menjadi Rp44 triliun pada 2020 dan Rp56 triliun pada 2021.

“Untuk menjaga keberlangsungan program JKN, maka kenaikan iuran itu memang diperlukan. Jangan sampai program JKN yang manfaatnya telah dirasakan oleh sebagian besar penduduk Indonesia terganggu keberlangsungannya,” pungkas Zaenal.

- Advertisement -

Menara62 TV

- Advertisement -

Terbaru!