26.1 C
Jakarta

Islam dan Politik di Indonesia : Kesalahpahaman Terhadap Muhammadiyah (bagian 6 dari 6 tulisan)

Baca Juga:

Oleh Ma’mun Murod Al-Barbasy

 

Soal Amien Rais dan Gus Dur

Seperti halnya peristiwa politik seputar Masyumi, Muhammadiyah pun sekali lagi, menjadi pihak yang “tertuduh”, disalahpahami, dan dinilai paling bertaanggung jawab atas pemakzulan Presiden Gus Dur. Padahal cukup banyak pihak yang terlibat dalam pelengseran Gus Dur. Ada militer, kepolisian, partai-partai politik, mahasiswa, termasuk yang paling utama adalah kekuatan asing dan kekuatan anti-Islam yang tak menyukai seorang santri menjadi Presiden di negeri Muslim terbesar di dunia. Amien Rais hanyalah salah satu pion saja dalam proses pemakzulan Gus Dur. Pastinya, kasus pemakzulan Presiden Gus Dur harus dilihat secara utuh dan tak boleh parsial, misalnya hanya dilihat dari sisi Amien Rais saja sebagai Ketua MPR RI. Faktor Gus Dur juga harus dilihat. Faktor kekuatan politik lainnya yang ada saat itu juga harus dilihat. Dan terlebih factor kekuatan asing juga harus dilihat. Terlalu naif melihat kasus pemakzulan Presiden Gus Dur hanya dilihat dari sisi Amien Rais saja.

Ketika Gus Dur mengeluarkan Dekrit Presiden, namun dekrit tersebut tidak berarti apapun tentu bukan karena peran Amien Rais. Kalau berangkat dari pengalaman Dekrit 5 Juli 1959 yang dikeluarkan Presiden Soekarno yang begitu efektif, tentu karena mendapat topangan maksimal dari militer (dan kepolisian). AH. Nasution dan Ahmad Yani menopang sepenuhnya Dekrit Soekarno. Sementara konteks Dekrit Presiden Gus Dur, baik militer (Panglima TNI Widodo AS) dan kepolisian (Kapolri Jenderal Suroyo Bimantoro yang dipecat Gus Dur) tegas menolak Dekrit dan lebih mendukung proses politik yang tengah bergulir di MPR, meski “Kapolri tandingan” Khaeruddin Ismail yang dilantik mendadak oleh Gus Dur mendukung Dekrit. Mayoritas politisi di Senayan, khususnya dari Partai Golkar (yang terkena imbas, karena salah satu isi Dekrit Presiden berupa pembubaran Partai Golkar, dan PDI-P, yang tentu secara politik akan diuntungkan kalau Gus Dur dimakzulkan, jelas mendukung proses politik di MPR.

Kalau kita membaca politik di seputar tahun 1999-2002 secara jernih, sejak terpilihnya Gus Dur sebagai Presiden RI hingga pelengserannya, termasuk proses amandemen UUD 1945 dengan segala hasilnya, termasuk menghasilkan mekanisme pemilihan presiden secara langsung yang tentu saja merubah mekanisme pemilihan di MPR RI (sering disebut ahl al-halli wa al-aqd), sesungguhnya ada aktor besar yang bermain dan mengendalikan dalam permainan politik di seputar 1999-2002 yang baru disadari belakangan ini, yang tergambar dari upaya untuk menuntut kembali ke UUD 1945. Saya meyakini, aktor besar tersebut adalah “kekuatan asing”, kekuatan anti Islam (islamophobia), dan sekular-fundamentalis yang tak menghendaki mekanisme pemilihan presiden melalui mekanisme pemilihan tak langsung MPR RI, yang dinilai hanya akan menguntungkan kekuatan Islam politik. Sekali lagi, Amien Rais hanyalah salah satu pion dalam proses pemakzulan Gus Dur.

Fakta-fakta politik di atas (dari keseluruhan tulisan yang bersambung), setidaknya menegaskan bahwa posisi politik Muhammadiyah sebenarnya tidak cukup menggembiarakan. Muhammadiyah tidak mendominasi di era Masyumi (era Demokrasi Liberal), namun juga tidak berada pada posisi yang terlalu marjinal. Muhammadiyah tidak ikut cawe-cawe di era Demokrasi Terpimpin. Muhammadiyah juga termarjinalkan secara politik di era Orde Baru. Di era Reformasi, terutama di era Pemerintah SBY cukup termarjinalkan. Jangankan memberikan jabatan politik, yang ada malah SBY melecehan Muhammadiyah. Dua kali Presiden SBY melecehkan Muhammadiyah. Pertama, tentu warga Muhammadiyah masih ingat pelecehan yang dilakukan SBY pada saat pembukaan Muktamar Satu Abad Muhammadiyah di Yogyakarta 2010. Semoga bukan karena rabun sejarah, pada moment bersejarah dan penting bagi Muhammadiyah dan tentu bangsa Indonesia, SBY lebih memilih umrah ketimbang menghadiri pembukaan Muktamar Muhammadiyah. Saya hanya menduga bahwa umrahnya SBY sekadar alasan untuk tidak datang pada pembukaan Muktamar. Kedua, SBY memang memberikan sambutan dari jarak jauh, tapi saat memberikan kata sambutan, tak sekalipun menyebut nama Din Syamsuddin sebagai Ketua Umum PP. Muhammadiyah. Betatapun SBY mungkin tidak cocok dengan Din Syamsuddin, namun memberikan sambutan di acara sebesar Muktamar tanpa menyebut nama Ketua Umum adalah bentuk pelecehan.

Siapapun Presiden Indonesia yang tidak rabun sejarah dan nalar pikirnya waras, pasti tak akan berani melecehkan secara berlebihan terhadap Muhammadiyah (dan juga NU) yang sumbangsihnya terhadap bangsa ini tak terhingga.

Demikian tulisan sederhana ini, semoga bermanfaat bagi yang membacanya. Kalau dinilai tidak bermanfaat, saya kira kok bukan karena tulisannya. Tapi lebih karena pembacanya yang sulit untuk menerima sebuah fakta dan kebenaran. Wallahu a’lam bisshawab.

(Ma’mun Murod Al-BarbasyDosen Program Studi Ilmu Politik FISIP Universitas Muhammadiyah Jakarta) — Brebes (23/06/2017).

tulisan pertama

tulisan kedua

tulisan ketiga

tulisan keempat

tulisan kelima

- Advertisement -

Menara62 TV

- Advertisement -

Terbaru!