31.7 C
Jakarta

Kisah Pilu Mujiono, Siswa SMP Yang Disiram Air Keras

Baca Juga:

TAK banyak yang bisa dilakukan Susmiati kini. Kecuali menangis, meratapi anak nomor tiganya yang terbaring dengan wajah dan mata rusak. Di sebuah ruang rawat inap Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta Pusat.

Perempuan yang sehari-hari bekerja sebagai buruh cuci tersebut berulangkali menyeka air mata. Deras tak terbendung, muncul bersama isak tangisnya yang timbul tenggelam, ketika siang itu Tim Advokasi Kongres Wanita Indonesia (Kowani) mendatanginya.

Ia, siang itu bagai menemukan orang yang bersedia menampung segala keluh kesahnya. Satu rasa yang dipendamnya dalam sepekan ini, sejak anaknya, Tri Mujiono, remaja 14 tahun menjadi korban penyiraman air keras dari geng motor yang tak dikenalnya.

“Saya tak habis pikir, ada orang yang tega melakukan ini semua pada anak saya. Salah apa kami,” keluhnya kepada Ketua Umum Kowani Ir Giwo Rubianto.

Susmiati mengenang Minggu dinihari lalu tepatnya tanggal 30 April 2017, saat anaknya terbangun dari tidurnya. Sejenak ia keluar dan duduk diteras sambil bermain telepon seluler. Tak berselang lama, datang sekelompok remaja mengendarai sepeda motor, dan insiden itu pun terjadi.

Muji, demikian Tri Mujiono suka dipanggil, tiba-tiba disiram air keras oleh geng motor. Air keras tersebut mengenai wajahnya. Akibatnya wajah siswa SMP Negeri 194 Jakarta Timur itu rusak dan kedua bola matanya kini masih terus dicoba selamatkan oleh tim dokter RSCM.

“Mengapa ada orang yang tega menambah derita bagi kami yang sudah hidup serba kekurangan seperti sekarang ini,” lanjut Susmiati ditengah isak tangisnya yang tertahan.

Tim RSCM kini telah memulai operasi plastik guna memulihkan wajah Mujiono. Dengan mengambil jaringan kulit dipantatnya, operasi ini diharapkan bisa memperbaiki kerusakan jaringan kulit di wajah Mujiono meski tentu tidak 100 persen.

Mujiono memang berbeda dengan Novel Baswedan. Sebab Mujiono hanya remaja dari keluarga tak mampu. Sang ibu, seorang buruh cuci. Dan sang ayah, yang dulunya bekerja sebagai kuli bangunan, kini menganggur akibat penyakit jantung yang dideritanya.

Barangkali tak ada yang menarik dari kasus Mujiono. Meski sama-sama menjadi korban penyiraman air keras, tak beda dengan Novel Baswedan yang seorang penyidik senior KPK.

Maka ketika kasusnya dilaporkan ke aparat, benar kata Ketua Umum Kowani Giwo Rubianto, sulit berharap kasusnya ditangani dengan serius dan cepat.

“Seperti dianggap sebuah kecelakaan tunggal. Padahal ini adalah kejahatan yang sangat besar dan luar biasa. Semestinya polisi lebih tanggap, lebih serius menanganinya, apalagi ini orang miskin yang memang harus mendapatkan perhatian dan perlindungan lebih baik dari negara,” jelas Giwo.

Ia mengaku mendapatkan cerita mengenai kasus penyiraman air keras yang menimpa Mujiono dari sang menantu yang kebetulan malam itu jaga di RSCM. Bersumber dari foto-foto kerusakan wajah Mujiono akibat siraman air keras, Giwo akhirnya menerjunkan tim Advokasi khusus untuk mendampingi Mujiono.

“Kami mendesak polisi serius menangani kasus Mujiono. Ini kasus besar. Tak sekedar membuat korbannya mengalami trauma tetapi juga kecacatan seumur hidup yang bisa saja mengurangi rasa percaya dirinya,” kata Giwo.

Giwo menyatakan keprihatinannya terhadap minimnya perhatian aparat hukum terkait kasus yang menimpa remaja Mujiono. Padahal kasus ini jelas dan didepan mata, dengan korban yang mengalami dampak luar biasa. Tetapi progres dari penanganannya nyaris tak ada.

Bahkan saat hendak mengakses pengobatan di RSCM, kartu BPJS Kesehatan yang dimiliki Mujiono hampir tak bisa digunakan dengan berbagai alasan. Meski kartu JKN-KIS Mujiono merupakan kartu pemberian pemerintah dari kelompok PBI.

Giwo melalui tim advokasi Kowani mendesak agar aparat kepolisian serius menangani kasus penyiraman air keras ini. Jangan sampai kelambanan aparat akan menjadi preseden buruk bagi penanganan kasus kejahatan penyiraman air keras.

“Tim advokasi Kowani akan terjun mendampingi korban Mujiono. Kami akan kawal hingga pelakunya ketemu dan mendapatkan hukuman setimpal,” tukas Giwo.

Lebih lanjut Giwo mengaku heran dan tak habis pikir, bagaimana orang dengan mudah mendapatkan air keras. Padahal air keras adalah satu diantara zat kimia yang sangat berbahaya. Melukai korban membuat trauma dan mengakibatkan kecacatan.

Karena itu, Kowani mendesak agar pemerintah segera mengeluarkan peraturan yang membatasi penjualan zat kimia berbahaya termasuk air keras. Setiap pembelian zat kimia apapun jenisnya semestinya harus disertai aturan dan persyaratan yang berat dan rumit.

“Ini untuk membatasi supaya tidak disalahgunakan oleh orang tak bertanggungjawab,” katanya.

Selain itu, hukuman bagi pelaku penyiraman air keras harus diperberat. Tidak cukup dengan ancaman dua atau lima tahun saja. Mengingat dampak yang dirasakan korban bersifat jangka panjang dan seumur hidup terutama trauma dan kecacatan yang ditimbulkan.

“Harus diatas 10 tahun, karena ini luar biasa dampaknya bagi korban. Apalagi ini korbannya adalah anak,” tutup Giwo.

- Advertisement -

Menara62 TV

- Advertisement -

Terbaru!