31.3 C
Jakarta

Memperingati Hari Pahlawan, Upaya Penting Mengingat Sejarah

Baca Juga:

JAKARTA, MENARA62.COM– Dalam rangka memperingati Hari Pahlawan tahun 2017, sejumlah elemen masyarakat mengadakan Jalan Sehat Kebangsaan yang disertai doa bersama lintas agama, Ahad (05/11/2017). Kegiatan mengambil start dari halaman Kantor Kongres Wanita Indonesia (Kowani) di Jalan Imam Bonjol, menuju Bundaran Hotel Indonesia, lalu Jalan MH Tahmarin dan kembali ke Bundaran Hotel Indonesia.

Hadir dalam kegiatan tersebut Mensos Khofifah Indar Parawansa, Ketua Umum Kowani Giwo Rubianto Wiyogo, dan sejumlah tokoh lintas agama termasuk Wakil Imam Besar Masjid Istiqlal Syarifuddin Muhammad, Hendriette Lebang Hutabarat (PGI), dan lainnya.

Mensos mengatakan peringatan Hari Pahlawan menjadi bagian penting agar kita tidak lupa sejarah.

Karenanya jalan sehat yang melibatkan komunitas, organisasi masyarakat, organisasi pemuda dan masyarakat umum tersebut menjadi kegiatan Jalan Sehat Kebangsaan.

“Ada doa lintas agama, karena ini merupakan bagian penting perekat kehidupan berbangsa dan bernegara,” kata Mensos.

Sementara itu Ketua Umum Kowani Giwo Rubianto mengatakan peringatan Hari Pahlawan ditujukan bukan hanya mereka yang telah ditetapkan sebagai pahlawan nasional oleh negara. Tetapi juga mereka yang telah mengorbankan nyawa demi negara tetapi tidak dicatat dalam dokumen negara sebagai pahlawan.

“Apapun cara mereka meninggal, dan siapapun mereka, serta darimana asal usul mereka, bagi saya mereka adalah pahlawan sejati, selama mereka terlibat dalam perjuangan bangsa ini,” kata Giwo.

Prosesi dan prosedur pemasangan atribut pahlawan yang cukup rumit, kata Giwo menjadikan tokoh yang tercatat sebagai pahlawan nasional hingga saat ini masih sangat sedikit, kurang dari 170 orang.

“Sulit dipercaya bahwa negara yang merdeka dengan nyawa dan darah hanya mampu mencatat 169 pahlawan nasional di ulangtahunnya yang ke 72,” lanjutnya.

Diakui Giwo adanya hipotesis dan adigium yang beredar sebagaimana para dermawan sejati yang tidak mau dicatat sebagai dermawan, bisa jadi demikian pula dengan para pahlawan. Banyak keluarga pahlawan yang juga enggan mengklaim diri sebagai keluarga pahlawan apalagi dengan birokrasi yang rumit.

Jika hal ini terjadi betapa kita menjadi bangsa yang sangat tidak mampu menghargai jasa para pahlawannya, karena pastilah pada era perjuang kepahlawanan tidak dilaksanakan kegiatan administrasi sebagaimana yang dilakukan oleh negara-negara yang memiliki peradaban yang jauh lebih tinggi daripada kita.

Dari 169 pahlawan nasional yang ada, hanya ada 12 pahlawan nasional perempuan. Padahal kata Giwo, perjuangan perempuan yang jika diambil dan ditandai dari berdirinya Kongres Wanita Indonesia (Kowani) sudah ada dan telah berjuang bersama-sama dengan laki-laki sejah tahun 1928.

Giwo menduga, semakin kemari akan semakin sulit kita memiliki pahlawan nasional. Selain karena tidak ada perang secara fisik bisa juga karena nilai penghormatan kita kepada pahlawan akan semakin bergeser.  Hal tersebut ditandai semakin rendahnya minat para murid mempelajari sejarah dan museumnya serta miskinnya kemampuan para sutradara film merekontruksi sejarah untuk mampu membangkitkan patriotism dan nasionalisme para generasi muda.

Mensos Khofifah Indar Parawansa didampingi Ketua Umum Kowani Giwo Rubianto saat melepas gerak jalan Kebangsaan.

Laksamana Malahayati

Kowani sendiri diakui akan terus berjuang untuk memunculkan dan memperjuangkan pahlawan nasional dari kalangan perempuan. Salah satu tokoh perempuan yang dijadikan role model dalam kepahlawanan adalah Laksamana Malahayati yang dikenal sangat heroik.

Dalam catatan sejarah, Malahayati adalah laksamana laut pertama di dunia. Dia digambarkan sebagai panglima perang Kesultanan Aceh yang mampu menaklukkan armada angkatan laut Belanda dan bangsa Portugis (Portugal) pada abad ke-16 Masehi.

Malahayati adalah putri dari Laksamana Mahmud Syah bin Laksamana Muhammad Said Syah. Sedangkan kakeknya merupakan putra Sultan Salahuddin Syah yang memimpin Aceh pada 1530-1539.

Malahayati juga membangun benteng yang dinamai Benteng Inong Balee bersama pasukannya. Karier militer Malahayati terus menanjak hingga ia menduduki jabatan tertinggi di Angkatan Laut Kerajaan Aceh kala itu.

Sebagaimana layaknya para pemimpin zaman itu, Laksamana Malahayati ikut memimpin langsung bertempur di garis depan melawan kekuatan Portugal dan Belanda yang hendak menguasai jalur laut Selat Malaka.

Reputasi Malahayati sebagai penjaga pintu gerbang kerajaan membuat Inggris yang hendak masuk ke wilayah Aceh memilih untuk menempuh jalan damai. Surat dari Ratu Elizabeth I yang dibawa oleh James Lancaster untuk Sultan Aceh membuka jalan bagi Inggris untuk menuju Jawa dan membuka pos dagang di Banten.

Cornelis de Houtman, orang Belanda pertama yang tiba di Indonesia, juga mencoba menggoyang kekuasaan Aceh pada 1599. Namun, upayanya gagal. Pasukan Belanda berhasil dipukul mundur oleh armada Inong Balee. Cornelis de Houtman tewas di tangan Laksamana Malahayati pada 11 September 1599.

Sementara Prins Maurits yang memimpin Belanda saat itu berupaya memperbaiki hubungan dengan Aceh. Keduanya menggelar perundingan awal hingga tercapai sejumlah persetujuan.

Atas keberaniannya, nama Malahayati saat ini dijadikan nama jalan, pelabuhan, rumah sakit, perguruan tinggi hingga nama kapal perang, yakni KRI Malahayati. Bahkan lukisannya diabadikan di Museum Kapal Selam, Surabaya, Jawa Timur.

“Kita berharap kedepan kisah dan sejarah Laksamana Malahayati akan semakin lengkap, nyata dan tersingkap secara terang berderang sehingga dapat memberikan/ dijadikan inspirasi bagi generasi penerus,” tutup Giwo.

- Advertisement -

Menara62 TV

- Advertisement -

Terbaru!