25.9 C
Jakarta

Prabowo, Masih kah LGBT Ancaman Proxy War?

Baca Juga:

Mohamad Fadhilah Zein
Mohamad Fadhilah Zeinhttp://menara62.com/
Jurnalis, Produser, Ghost Writer, Youtuber, Kolumnis. For further communication contact fadil_zein@yahoo.com

Ryamizard Ryacudu menyebut LGBT sebagai ancaman perang perwalian (proxy war). Bagaimana dengan Prabowo Subianto yang kini menjabat Menhan? Dalam berbagai kesempatan, ancaman nasional bagi 08 berkutat pada isu kedaulatan pangan, energi, kemakmuran rakyat, pembangunan sosial, pemerintahan yang efektif dan infrastruktur pertanian. Tidak ada sedikitpun menggubris soal kelainan seksual. Setidaknya itu gambaran yang tertuang dalam bukunya “Membangun Kembali Indonesia Raya: Strategi Besar Transformasi Bangsa”.

Apakah cara pandang Menhan ini berbeda dengan pendahulunya? Masih kah LGBT dianggap sebagai ancaman perang proksi? Pertanyaan yang ditunggu jawabannya, mengingat publik pernah dihebohkan dengan pemberitaan guyuran ratusan miliar untuk gerakan LGBT di Asia.

Bukan hanya itu, Indonesia pernah menjadi tuan rumah berkumpulnya aktivis LGBT yang melahirkan Yogyakarta Principles. Prinsip-prinsip Yogyakarta yang secara khusus ditujukan kepada kelompok yang memiliki orientasi seksual dan identitas gender berbeda. Prinsip ini kemudian dijadikan pijakan legal bagaimana seharusnya sebuah negara menghargai dan memberi tempat pada kelompok penyuka sesama jenis.

Ada yang menarik sebenarnya dari alasan Ryamizard menyebut LGBT sebagai ancaman perang proksi. Menurut mantan KSAD ini, isu LGBT digunakan negara lain untuk melemahkan pertahanan nasional tanpa harus mengirim pasukan perang. Lalu, apa relevansinya antara LGBT dengan pertahanan negara? Kita bisa berkaca pada Rusia dan Uganda yang melahirkan UU Anti LGBT.

Survei di Rusia menyebutkan mayoritas rakyatnya mempercayai gerakan LGBT sebagai propaganda yang ditujukan untuk melunturkan identitas bangsa. Bisa dilihat di sini: https://www.newsweek.com/most-russians-think-lgbt-propaganda-will-destroy-traditional-values-state-1082616. Alasan itu lah yang kemudian membuat Putin mensahkan UU Anti-Gay di sana. Uganda pun demikian, bahkan lebih keras lagi, yakni memvonis mati siapa pun yang melakukan homoseksualitas dan propaganda gay/lesbian. Bisa dilihat di sini: https://www.theguardian.com/world/2019/oct/15/ugandan-mps-press-for-death-penalty-for-homosexual-acts

Sebuah pertahanan negara tentunya mencakup berbagai aspek kehidupan agama, sosial, politik, ekonomi, budaya dan sebagainya. Indonesia memiliki doktrin pertahanan total (total defence system) yang artinya sinergi mewujudkan pertahanan negara dari aspek militer dan nonmiliter (Dwi Darma Nusantara). Ancaman militer hampir tidak mungkin terjadi di Indonesia, namun ancaman nonmiliter yang jauh lebih dominan. Gerakan LGBT pun dikategorikan sebagai ancaman nonmiliter yang dilakukan oleh aktor nonnegara. Setidaknya, itu lah yang diyakini Ryamizard.

Dan, ancaman nonmiliter menjadi jenis perang generasi ke-4, yakni menghancurkan sebuah bangsa dan negara tanpa harus mengirim pasukan. Perang generasi pertama adalah perang yang disepakati kedua belah pihak. Perang generasi kedua adalah perang kota. Perang generasi ketiga adalah perang dengan pengerahan pasukan dan senjata modern. Sementara, perang generasi keempat adalah menghancurkan budaya dan identitas asli sebuah negara dengan mengirimkan budaya dan cara pandang asing yang merusak. Lihat link berikut: http://www.da-ic.org/5gen/2016/07/26/william-s-lind-understanding-fourth-generation-war/

Generasi Melambai

Di Indonesia, rasanya tidak mungkin membunuh mereka yang memiliki kelainan seksual. Selain tidak memiliki legal standing, tentu hal itu dianggap sebagai tindakan kriminal yang membuat pelakunya mendekam dalam penjara. Namun demikian, publik di Tanah Air masih merasakan gerakan LGBT dengan munculnya aktor-aktor gay/lesbian/transgender yang menghiasi media massa dan sosial. Kita masih menyaksikan bagaimana program infotainmen di televisi menampilkan artis-artis perempuan yang sebenarnya adalah laki-laki. Munculnya pesta-pesta sembunyi yang kemudian digerebek warga dan aparat kepolisian. Ini sebenarnya problem riil di masyarakat kita.

Sejatinya, LGBT harus dilihat sebagai penyimpangan yang harus dicari obat dan solusinya. Bagi beberapa kalangan di Indonesia, ancaman yang paling nyata dari gerakan LGBT adalah munculnya tuntutan pernikahan sejenis dan pelaku LGBT di kalangan anak dan remaja. Meski tidak mungkin terjadi, karena di Indonesia UU Perkawinan menegaskan tidak ada pernikahan sesama jenis, kecuali UU ini direvisi karena adanya tekanan.

Beberapa tahun lalu, publik dikagetkan dengan adanya remaja di Bogor yang melakukan praktik prostitusi gay. Generasi melambai yang diam-diam berkelompok lalu menjual diri dan akhirnya mengancam aspek sosial kemasyarakatan kita. Belum lagi aktivitas menjajakan anak bagi penyuka sesama jenis di media sosial, yang membuat publik kian terhenyak.

Negara tentu harus hadir dan melakukan kampanye nasional bahwa orientasi seksual bukan hanya urusan hak, tetapi juga soal norma hukum, susila, dan agama. Dengan demikian, fenomena gay dan lesbian, di samping bertentangan dengan norma agama dan kesusilaan, merupakan tindakan ilegal dan inkonstitusional.

Melindunginya adalah tindakan salah, dan mengampanyekannya merupakan tindakan melawan hukum. Masalah homoseksual tidak bisa diselesaikan melalui pendekatan HAM dan demokrasi liberal karena pada hakikatnya LGBT merupakan kelainan seksual.

Anak-anak sangat rentan untuk menjadi korban dari orang-orang yang memiliki perilaku seks menyimpang karena mudah diperdaya. Karenanya, di samping langkah preventif, perlu ada penindakan hukum yang keras terhadap pelaku yang memperdaya, membujuk rayu, dan menjadikan anak sebagai korban orientasi seks menyimpang. Upaya pencegahan juga mencakup semua aktivitas yang memungkinkan anak terpapar orientasi seks menyimpang, baik sebagai korban atau pelaku.

Di samping preventif, proses rehabilitasi diperlukan untuk mereka yang sudah telanjur menjadi bagian dari kelainan tersebut. Harus ada penyadaran bahwa homoseksual adalah kelainan sehingga perlu direhabilitasi. Sesulit apa pun proses rehabilitasi, upaya itu tetap harus dilakukan agar jumlah pelaku homoseksual tidak membesar.

Negara harus tegas terhadap pihak-pihak yang mendukung dan mengampanyekan tumbuh suburnya praktik homoseksualitas di masyarakat, apalagi bersembunyi di balik jargon kebebasan dan hak asasi manusia. HAM yang berlaku di Indonesia bukan tanpa batas. HAM dibatasi oleh hukum, norma susila, dan juga agama sebagaimana jelas diatur oleh konstitusi.

Publik menunggu Prabowo Subianto sebagai Menteri Pertahanan menyikapi ancaman nonmiliter ini, sebagaimana pendahulunya yang memberikan statemen keras terhadap kelompok gerakan LGBT. (*)

Mohamad Fadhilah Zein

Peneliti Menara62 Institute

- Advertisement -

Menara62 TV

- Advertisement -

Terbaru!