Tulisan ini merupakan prolog dalam buku Politik Inklusif Muhammadiyah, narasi pencerahan Islam untuk Indonesia Berkemajuan yang ditulis oleh Prof Haedar Nashir, Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Judul prolog ini adalah Agama, Muhammadiyah, dan Politik Kebangsaan. Bagian awal, sudah ditayangkan disini, dan kedua, ketiga.
Agama dan Politik
Bagi bangsa Indonesia yang beragama secara faktual agama dan orientasi keagamaan atau kehidupan beragama tidak lepas terkait dengan kehidupan politik kebangsaan atau berbangsa dan bernegara.
Masalah hubungan agama dan politik sangat kompleks dan tidak dapat disederhanakan sebagaimana sering menjadi cara pandang sebagian kalangan. Tumbuh isu politisasi agama, dan isu-isu lainnya yang sering disederhanakan tetapi sejatinya rumit. Konstruksi tentang isu-isu keagamaan dan politik itu tergantung pada cara pandang masing-masing yang tidak jarang terkait dengan posisi dan kepentingan tertentu.
Agama dan politik dapat harmoni dapat pula kontradiksi sebagaimana hubungan antara “al-din wa al-dunya” atau agama dan dunia. Agama berkaitan dengan nilai-nilai luhur dan suci seperti nilai iman, ibadah, amanah, adil, amal shaleh, ihsan, dan nilai keutamaan lainnya dari yang transenden (ilahiah) hingga imanen (insaniyah-duniawiyah). Politk juga memiliki nilai-nilai berharga seperti keadilan, kebajikan publik, menjunjung tinggi hak asasi manusia, menjunjung tinggi hak rakyat, dan sebagainya. Pada nilai-nilai luhur seperti itu tentu terjadi harmoni antara agama dan politik.
Namun, sering pula nilai agama dan politik saling berbeda, menjauh dan bertabrakan. Agama mengajarkan jujur, amanah, menepati janji, adil dan ihsan. Sementara politik dalam praktik tidak jarang menunjukkan dusta, khianat, ingkar janji, mementingkan kelompok sendiri sambil menegasikan pihak lain, dan hal-hal yang tidak terpuji seeprti politik uang, sogok dan sebagainya.
Agamanya mengajarkan mencari harta dan kedudukan secara halal dan baik, sementara politik menghalalkan segala cara termasuk korupsi, gratifikasi, upeti dan sebagainya. Hal-hal negatif dalam praktik politik seperti itu, meski sering dibantah oelh mereka yang berkiprah di dunia politik yang tentu saja politisinya mesti baik, tetapi kenyataan dunia politik sering menunjukkan politik yang pragmatis (orientasi kegunaan) dan oportunistik (orientasi kepentingan) seperti itu.