27.8 C
Jakarta

Merajut Benang Distribusi Berkeadilan

Baca Juga:

Oleh: Sutrisno Lukito Disastro

(Dewan Pengawas Lembaga Ekonomi Umat)

Kongres Ekonomi Umat (KEU) yang diusung oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) 22-24  April 2017 di Jakarta tahun kemarin – memberikan pencerahan kepada kita dan sekaligus memberikan refleksi terhadap nalar kita selama ini. Mengapa ulama atau kaum agamawan yang selama ini memberikan pencerahan tentang agama, tiba-tiba saja berkumpul dan membahas masalah ekonomi. Ada apakah ini? Apakah ada alih profesi bagi ulama yang selama ini sebagai  “sang pencerah” menjadi pelaku bisnis? Lalu, apakah ada masalah yang dialami oleh bangsa ini, dari kegagalan negara atau penguasa yang selama ini mendapatkan amanat konstitusi dalam menyejahterahkan rakyatnya? Pertanyaan-pertanyaan menggelitik inilah yang menerawang dalam alam pikiran kita, pada acara KEU yang diselenggarakan di sebuah hotel mewah di pusat Ibu Kota.

Namun, kalau dikaji lebih dalam pertanyaan-pertanyaan yang terpaparkan tersebut, tak  ada sebuah kamus di mana pun, yang mendefinisikan bahwa ulama itu berpindah profesi, dan yang ada adalah ulama tetap ulama. Yakni sebagai guru mengaji, memberikan fatwa dan memberikan keteladanan sepiritual. Tapi, dengan adanya para ulama dari berbagai ormas Islam itu berkumpul dan membicarakan tentang ekonomi umat, ada indikasi, sejatinya saat ini ada masalah kebangsaan yang dialami umat dalam perspektif ekonomi. Memang, berkumpulnya para ulama dalam KEU adalah hak kostitusi sebagai warga negara dalam partisipasi demokrasi. Para ulama melakukan kongres tersebut, merasa adanya  persoalan kebangsaan yang dialami oleh bangsa Indonesia saat ini yang sedang krisis multidimensional, yaitu kesenjangan dan ketidakadilan pada diri umat jauh api dari pada panggang.

Mengapa tidak? Diri kita bisa melihat pada angka ketimpangan atau rasio yang terjadi di negeri ini mencapai 0,392 pada tahun 2017. Dengan adanya ketimpangan tersebut, kita menyakini ada sebuah persoalan kebijakan publik yang diselenggarakan di negeri ini tidak tuntas dan menjadikan turbelensi yang bisa menciptakan api dalam sekam. Selain kebijakan publik, ada irasional yang dimiliki perilaku ekonomi yang dijalankan oleh sebagian pelaku ekonomi kita yang sangat nihilis terhadap sosial. Hal ini menjadikan angka ketimpangan tersebut semakin melebar luas. Padahal dalam ekonomi, ada etika ekonomi yang berangkat dari sebuah nilai yang dimplementasikan dalam etik dan ditetapkan dalam sebuah legasi. Maka wajar jika ekonomi itu harus menjunjung rasa keadilan sosial. Namun, dengan fakta-fakta perilaku ekonomi yang asosial yang terjadi saat ini, jelas sangat di luar nalar sehat dalam ilmu ekonomi dan jika dipertahankan terus-menerus akan melahirkan “prahara ekonomi” berupa ketidak keseimbangan kehidupan.

Bayangkan, dalam data pemerintah menyebutkan, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 16 tahun terakhir tercatat tumbuh rata-rata 5,3%. Jumlah penduduk miskin pada 2017 sebesar 27,77 juta juga tercatat turun dibandingkan tahun 2000 yang sebanyak 38,74 juta. Begitu juga tingkat kemiskinan yang pada 2017 berada pada posisi 10,64% atau turun dari posisi tahun 2000 sebesar 19,14%. Jumlah pengangguran juga tercatat turun dari tahun 2005 sebanyak 11,90 juta ke 7,14 juta pada 2017. Begitu juga tingkat pengangguran yang turun dari tahun 2005 sebesar 11,24% ke 5,33% pada 2017. Dengan pencapaian tersebut, pekerjaan rumah pemerintah pun belum selesai dan harus bekerja keras dalam mewujudkan cita cita nasional seperti yang diamanatkan dalam UUD 1945.

Paradigma Baru

Untuk itu, patut diakui dan sangat tepat sekali apabila dalam KEU tersebut menggusung tema besar tentang Arus Baru Ekonomi Umat, yang dalam arus baru ekonomi umat itu kita bukan hanya sekadar mengkritik dan menuntut pemerintah saja seperti “para politisi” di parlemen. Tapi lebih dari itu, yakni menawarkan sebuah paradigma baru berupa gagasan-gagasan dan solusi-solusi ekonomi kebangsaan yang bisa dimanfaatkan oleh umat dan pemerintah yang memproduksi kebijakan publik. Kita sadar, selama ini ada keterbatasan yang dimililiki oleh pemerintah dalam menyelenggarakan kekuasaan baik dari segi anggaran dan infrastruktur pembangunan. Untuk itu, partisipasi publik dalam kerangka masyarakat madani harus dilakukan oleh umat, supaya penyelenggaraan pembangunan mampu berjalan sesuai rencana nasional.

Meski rencana pembangunan nasional selama ini sering dibahas dalam sebuah Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional (Merenbangnas), ada persoalan krusial yang jauh dari sentuhan, yakni terputusnya rantai distribusi ekonomi. Terputusnya rantai distribusi ekonomi ini tidak hanya dijawab dengan adanya terbangunnya infrastruktur pembangunan secara fisik seperti jalan tol, tol laut dan jalan Trans saja. Tapi adalah terputusnya keadilan yang dimiliki oleh masyarakat untuk memiliki hak yang sama dalam distribusi ekonomi. Hal ini tidak lepas dari sikap prilaku oligarki dan monopoli ekonomi yang dilakukan oleh pelaku ekonomi yang hidup di balik punggung kekuasaan. Efek dari praktek ekonomi yang demikian menyebabkan distribusi ekonomi jauh dari semangat keindonesiaan yang menjunjung nilai kekeluargaan dan kegotong-royongan. Contoh kecil saja, betapa sulitnya pelaku usaha kecil untuk memperoleh modal usaha dan jika memperoleh modal dikenakan rate bunga yang sangat tinggi, bahkan perizinan yang berbelit-belit pula. Realitas ini berbanding terbalik dengan pelaku bisnis besar, mereka memperoleh kemudahan dalam memperoleh modal usaha serta kemudahan modal dengan bunga yang rendah dan fleksibel negosiasinya. Begitu juga masalah perizinan usahanya sangat mudah diperoleh. Ketidakadilan ini yang menjadikan potret distribusi ekonomi tidak berjalan dengan merata.

Maka dalam arus baru ekonomi Indonesia untuk kesejahteraan umat, harus ada perubahan. Perubahan ini tidak dilakukan secara radikal revolusioner, tapi dengan saling sinergisitas dan sama-sama menghidupkan antara pelaku ekonomi besar dan kecil. Dalam konteks ini persis seperti tradisi petuah-petuah orang tua yang selalu diajarkan kepada anak-anaknya; Jika bisa bersanding mengapa harus saling bertengkar? Jadi bicara distribusi ekonomi tanpa memangkas akar masalahnya sulit untuk dilakukan. Untuk itu, dalam arus ekonomi baru pemerintah bisa berbuat bijak dan mampu merumuskan kebijakan-kebijakan yang sekiranya sama-sama membuat rasa happy kepada semua pihak.

Terkait dengan visi tersebut, imbas dari KEU telah terlahirlah Lembaga Ekonomi Umat (LEU) yang secara konkrit mengembangkan bisnis ritail bernama LEUMART. Melalui LEUMART ini bagaimana kita ajak pelaku usaha besar untuk bersinergi dengan pelaku usaha kecil, yang sama-sama untung dan tidak saling merugikan dengan sistem dan konsep yang transparansi. Di samping itu pula, sekaligus mengajak masyarakat untuk menjadi entrepreneur.

Menjadi enterpreneur tidak sulit asal memahami apa itu entrepreneur atau pengusaha, asal mau belajar dengan benar. Istilah saudagar dan pengusaha saja sebenarnya bagi orang yang tidak tahu sepertinya adalah sama, padahal itu  beda. Pedagang adalah berdagang  sementara pengusaha (seperti membuka restoran) mengusahakan sesuatu yang tidak ada menjadi ada. Pedagang itu adalah menjual yang sudah ada, kemudian dijual lalu memperoleh untung (margin) sekian. Itulah namanya pedagang. Kadangkala kita salah menafsirkan istilah berdagang dengan pengusaha, padahal sejatinya adalah berbeda.  Untuk menjadi pedagang syaratnya adalah punya network (siapa yang beli), kita sering lihat produk pelaku usaha kecil dan menengah (UKM) bagus-bagus namun jualnya tidak bisa karena tidak memiliki network. Maka peran pedagang sangat vital dalam ekonomi sebagai penjual dan tanpa pedagang produk tak akan terserap sama sekali di pasar. Oleh karena itu, perlu menjadi seorang pedagang sebelum diri kita menjadi seorang pengusaha.

Banyak masyarakat beranggapan selama ini menjadi pedagang saja sebelum jadi pengusaha itu sangat sulit, karena harus dituntut dengan modal yang sangat besar. Padahal jika kita amati secara saksama bagi para pedagang-pedagang yang sukses itu modal yang paling besar dalam berdagang adalah kepercayaan (trust). Kepercayaanlah yang selama ini menjadi senjata andalan bagi para pedagang, karena dengan kepercayaan apapun bisnis bisa dilakukan. Begitu juga sebaliknya, tiada kepercayaan, maka sangat sulit untuk bisa menjadi pedagang. Hal ini bisa kita lihat, bagaimana perilaku-perilaku para pedagang yang ada di pasar Tanah Abang dan pasar Glodog. Modal mereka adalah sewa tempat atau gerai saja, sementara semua barang-barang yang ada di dalam toko semua itu adalah titipan, utang yang semua itu adalah atas dasar kepercayaan. Tak ada namanya pedagang itu dalam menjual produk-produk dagangannya adalah berdasarkan beli produk  semua dan jika ada pedagang yang melakukan demikian itu namanya “pedagang tradisional”.

Integrasi kebijakan

Jadi, kata kunci dalam membangun rantai distribusi ekonomi yang berkeadilan, adalah bagaimana mampu terciptanya integrasi kebijakan yang komprehensif dan mengelaborasikan berbagai pihak yang berkepentingan. Untuk itu perlu dilakukan pertama, sebuah good will dan political will yang dilakukan oleh pemerintah untuk bersungguh-sungguh dalam menjalankan ekonomi yang berkeadilan. Maka dalam hal ini penegakan hukum diperlukan, sehingga ada sebuah kepastian bisnis yang benar-benar memiliki keberpihakan. Selain regulasi-regulasi yang memberikan kenyamanan dalam berekonomi. Kedua, pembangunan karakter pada diri perilaku bisnis di tanah air. Distribusi ekonomi tak bisa berjalan dengan baik apabila subyek ekonomi berkarakter mental yang buruk. Maka sumber daya insani yang berkarakter dan berkualitas memegang peran yang sangat penting maju dan tidaknya ekonomi. Ketiga, infrastruktur dalam hal ini bukan sekadar pembangunan infrastruktur jalan dan jembatan yang diperbaiki tapi sistem dan tata kelola perdagangan yang harus diperbaiki secara benar. Ego sektoral dalam tata kelola perdagangan selama ini telah menghambat distribusi ekonomi dari hulu ke hilir. Keempat,  peningkatan riset dan penelitian, karena adanya riset akan mendorong munculnya spektrum dan formula baru dalam pengembangan distribusi ekonomi yang berkeadilan. Kelima, pengembangan ilmu pengetahuan teknologi (iptek), dengan adanya iptek maka akan melahirkan inovasi-inovasi bisnis yang mampu dimanfaatkan dalam pengembangan distribusi ekonomi.

Demikian kilasan pemikiran saya yang bisa saya berikan dalam mendorong arus baru ekonomi umat. Meskipun sejauh ini masih banyak kendala dalam membangun distribusi ekonomi yang berkeadilan, tapi kita harus berupaya untuk merajutnya, seraya menyiapkan untuk memintalnya sebagai tanggung jawab kita semua sebagai  anak bangsa yang selalu berfastabiq dalam memajukan umat di negeri ini.

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!