JAKARTA, MENARA62.COM – Keprihatinan akan tingginya pelaku usaha ultra mikro yang masih mengandalkan rentenir untuk memperoleh pinjaman modal, mengemuka dalam rapat kerja yang antara Komisi XI DPR RI dengan Direksi Bank Mandiri dan Bank BNI pada Kamis (4/2/2021).
Anis Byarwati, anggota Komisi XI DPR RI dari Fraksi PKS, hasil survey yang dilakukan oleh BRI kepada 30 juta pelaku usaha ultra mikro. Dari data tersebut, sebanyak 5 juta pelaku usaha ultra mikro masih mengandalkan rentenir untuk memperoleh pinjaman modal. Sementara, 15 juta pelaku usaha ultra mikro mendapatkan pendanaan dari sektor formal, yaitu dari Bank 3 juta pelaku usaha , dari Pegadaian 3 juta pelaku usaha, dari Group Lending 6 juta pelaku usaha, dari Bank Perkreditan Rakyat (BPR) 1,5 juta pelaku usaha, dan dari Fintech 1,5 juta pelaku usaha. Adapun 18 juta (pelaku usaha ultra mikro) tidak terlayani oleh sektor formal maupun nonformal.
“Data ini menjadi tantangan bagi bank Mandiri dan Bank BNI untuk dapat memberikan pinjaman kepada pelaku UMKM yang lebih murah dan lebih cepat, sehingga 5 juta (pelaku usaha ultra mikro) yang pinjam ke rentenir itu bisa pindah ke bank,” kata Anis dalam siaran persnya, Jumat (5/2/2021).
Ketua DPP PKS Bidang Ekonomi dan Keuangan ini juga memberi catatan kepada Direksi Bank Mandiri terkait dengan rasio kinerja Bank Mandiri. Ia menyoroti Lonjakan NPL tahun 2020 menjadi 3,29%; dan Efisiensi menurun (BOPO) yang meningkat menjadi 80,03%. Bank Mandiri sendiri mencatatkan laba bersih Rp17,119 triliun pada 2020 turun dari tahun sebelumnya sebesar Rp27,482 triliun di 2019.
“Bank Mandiri harus memiliki strategi khusus untuk menjaga laba di tengah-tengah kondisi ekonomi yang masih terpengaruh oleh pandemi covid-19,” tegas Anis.
Adapun catatan Anis untuk Direksi Bank BNI, diantaranya mengenai peningkatan Dana Pihak Ketiga (DPK) yang disertai dengan peningkatan kredit yang terjadi pada tahun 2020. BNI mencatat, DPK mengalami peningkatan dari Rp614 triliun pada 2019 menjadi Rp679 trillun pada 2020.
“Hal ini dapat menunjukan kinerja yang positif oleh BNI selama pandemi,”tutur Anis.
Namun Total Kredit yang mengalami peningkatan 5,3 persen dari Rp557 triliun menjadi Rp 586 triliun di tahun 2020 selama pandemi, mesti diwaspadai tingkat kesehatannya.
“Peningkatan total kredit ini harus tetap diwaspadai. Walaupun di sisi lain ketika terjadi krisis bank menahan penyaluran kredit, dapat memperburuk perbaikan ekonomi (kontra siklikal), namun jangan sampai terjadi kredit macet dalam proses selanjutnya,” tutup Anis.