Orang bijak mengatakan semua ada hikmahnya, banyak benarnya. Sejalan dengan saat ngaji di masjid kampung, pak Ustadz menyampaikan, “Tidak ada yang sia-sia dalam ciptaannya?” Maka, sambungnya apa yang terjadi pada diri kita, untung rugi tidak akan lepas dari genggaman Allah swt.
Persis ini terjadi pada diri kami. Keluarga kami. Dulu saat anak di pondok, sering dideru rasa rindu, kangen yang bertalu-talu. Tidak ketemu seminggu saja rasanya sebulan. Batang hidungnya selalu dipelupuk mata. Kini setelah beberapa bulan di rumah, ternyata tantangan muncul lagi.
Meski sejak awal aku sudah menduga akan ada benturan kepentingan saat di rumah. Gesekan dari hal yang kecil, sepele hingga masalah yang besar, yang utama. Dari mulai bangun tidur sampai tidur lagi. Satu dua minggu masih belum terasa. Masih manis-manis saja. Tentu Rohman tidak bermaksud menyembunyikan sesuatu yang buruk. Karena aku pikir dia belum dewasa banget. Masih polos. Belum ada sikap yang direkayasa. Tidak ada lips service atau jaim. Jaga image. Misalnya bangun pagi sebelum subuh, kalau itu dilakukan, bukan karena dia ingin dipuji. Tapi lebih karena kebiasaan saja di pondok. Kemudian ditransformasikan seminggu dua minggu ini di rumah.
“Ayo bangun le. Subuh,” kata ku berulang-ulang. Sambil menggoyang-goyang tubuhnya.
“Masih ngantuk, pak,” jawabnya. Dengan mata masih merem. Tertelangkup.
“Eh, ayo bangun..subuh,” kali ini agak keras, sambil aku colek pinggangnya.
“Aahh, bapak. Malas e..” jawabnya kesel.
Ada nada marah dan rasa tidak senang aku bangunkan.
Tapi aku tidak putus asa. Dengan istri mencoba bangunkan dengan berbagai cara. Aku sudah mulai emosi sebenarnya. Tapi istri menurunkan emosi dengan menyuruh aku berangkat ke masjid dulu.
“Bapak berangkat dulu saja, biar nanti Rohman sama aku. Biar gak terlambat sholat sunnah-nya,” katanya sambil ambilkan sajadah panjang warna kuning.
Benar. Aku berangkat dulu, tapi pikiran tetap di rumah. Rohman itu antara bangun dan tidak. Usaisholat sunnah fajar, aku tengok kanan kira, Rohman belum nampak hidungnya. Tidak lama berselang iqamah. Belum datang juga. Aku tengok jam digital yang ada di dinding masjid tinggal 56 detk. Aku hitung mundur. Rohman belum datang juga sampai di detik 01..00. Jam dinding berdentang, tanda waktu tunggu habis. Imam rawatib belum datang. Jamaah melihat aku. Tanda aku disuruh menggantikannya. Aku tengok ke belakang untuk memastikan, apakah benar imam rawatib belum hadir. Benar. Belum hadir. “Sering saya kalau subuh, urusan ke belakang agak lama,” kata pak Imam satu saat, ketika saya pernah beranikan bertanya, kenapa kadang terlambat imam. Kita maklum.Urusan internal.
Aku maju menjadi imam. Meski sebenarnya syarat dan rukun imam, belum terpenuhi banget. Terutama soal bacaan qurannya. Justru kelemahan ini, saya terus belajar. Ini kesempatan. pikirku. Karena menjadi imam Subuh, maka aku coba baca ayat yang agak panjang. Rakaat pertama aku baca surat Al-‘Ala yang 19 ayat itu. Rakaat kedua setelah Al-Fatekah aku baca surat dibawahnya, surat ke-88, Al-Ghasiyah, lebih panjang dari surat sebelumnya.
Harapan lain dariku dengan agak panjang, harapannya Rohman tidak terlambat banget. Selesai salam. Aku balikkan badan. Berdoa. Sambil tengok kanan kiri. Aku lihat Rohman, kelihat dari rambutnya yang sedikit ikal. Gak mau pakai peci/kopiah.
Alhamdulillah. Rohman subuhan di masjid. Meski terlambat. Aku lihat yang seumuran dia memang hanya bisa dihitung dengan jari tangan kanan saja. Tidak banyak. Selesai dari masjid, dia pulang duluan bareng ibunya. Aku biasa pulang belakang. Bantu menyapu lantai masjid, bersama marbot dan beberapa jamaah pria yang lain.
“Oh, tidur lagi, le. Ayo ngaji sebentar,” pintaku sambil kembali goyangkan tubuhnya yang setengah melingkar terbalut sarung hitamnya.
“Gak mau…ngantuk. Gak mau…” sahutnya.
“Sebentar..ini quran-nya?” sambil aku sodorkan Quran yg biasa dibaca.
“Gak mau..ngantuk banget pak.”
“Nanti sekolah terlambat lho, habis subuh tidur lagi.”
Kali ini Rohman sudah tidak bergeming. Aku tinggalkan. Khawatir emosi naik lagi. Kalau sudah begini aku serahkan kepada ibunya. Pikirku: semakin kesini, kok semakin ke sana. Kebiasaan baiknya mulai luruh…( bersambung )