24.5 C
Jakarta

Bedah Puisi : Serat Plerok Menggugat Jawa dan Kebudayaannya

Baca Juga:

JakartaMenara62.com – Di tengah adem-ayemnya kesusasteraan Jawa masa kini, pemegang Hadiah Sastra Jawa Rancage 2012 Yusuf Susilo Hartono justru gelisah. Melalui kumpulan geguritan (puisi Jawa) kontemporer Serat Plerok, ia menggugat Jawa dan kebudayaannya, di tengah perubahan semesta yang dahsyat dewasa ini.

Bentuk dan isi kegelisahannya itu diungkapkan sambung-menyambung dalam 58 geguritan. Masing-masing tampil tanpa judul, dengan tipografi visual rata tengah dan satu kata poros seperti letak jantung yang menghubungkan kepada yang di Atas. Hal yang tidak biasa dalam jagat sastra Jawa.

Bagaimana kegelisahan dan gugatannya yang terkandung dalam geguritan-geguritannya itu? Bengkel Muda Surabaya (BMS) mengundang Guru Besar Sastra Jawa Universitas Negeri Surabaya (Unesa) Prof. Dr. Setya Yuwana Sudikan dan pengamat sastra Jawa yang pernah bekerja di Balai Bahasa Yogyakarta Drs. Dhanu Priyo Prabowo, M. Hum., untuk membedahnya. Pada acara webinar bedah buku Serat Plerok, Jumat (11/9/2020) pukul 19.30 WIB, via Zoom dan akan ditayangkan langsung melalui kanal YouTube. Dipandu oleh sastrawan dan staf penajar FBS UNNES Ucik Fuadiyah. Dilengkapi degan pembacaan puisi oleh Jose Rizal Manua (Jakarta), dan Diyah Laras Santi dan Afrianto N Fadhol (Semarang).
Dalam kegelisahannya itu Yusuf mengatakan, bahwa puisi-puisi jawanya mempersoalkan manusia Jawa dan kebudayaanya yang telah banyak kehilangan hal-hal yang berharga, termasuk “Jawa yang kehilangan caranya” di tengah semesta yang berubah. “Tugas sastrawan adalah menjadi saksi jamannya. Bukan untuk mengelus-elus kebesaran masa lampau, tapi mengambil kebesaran masa lampau yang relevan dengan hari ini, untuk mencari cara dan jalan hari ini melangkah ke depan.”

Jawa Kehilangan Caranya
Pengamat sastra Jawa Dhanu Priyo Prabowo dalam ulasan di buku tersebut, menegaskan bahwa Yusuf mensinyalir “Jawa kelangan carane (Jawa khilangan caranya) “ rupanya menjadi pokok dan yang dipleroki (dipelototi/dicermati). “Alangkah sia-sianya hidup sebagai orang Jawa, jika sudah kehilangan dasar atau cara. Setiap bangsa mempunyai cara, nah kalau orang Jawa kehilangan caranya menyikapi kehidupan, itu berarti orang Jawa tidak mengerti dununge , dalam arti tempat, arah dan eksistensinya,” tandasnya.
“ Kehilangan dunung, tempat, arah dan eksistensi,” tambahnya, “ itu sama dengan tidak mengerti sangkan paran, dari mana asal dan kemana pergi. Ibarat burung terbang entah kemana arahnya. Pada hal hidup itu jadi indah apabila tahu tempat dan arah tujuannya.
Menurut pengamatannya, banyak hal yang diangkat, dibicarakan, dipersoalkan Yusuf dalam antologinya yang kedua ini. Antologi Jawanya yang pertama Ombak Wengi, mendapat hadiah Sastra Rancage (2012). Selain soal hilang dan kehilangan, Yusuf juga mengingatkan kalau Jawa sampai terbakar jadi wawa, atau bara api (dalam geguritan 17) akhirnya akan bubrah dan hancur. Bubrah atau rusak (dalam geguritan 19) karena hidup mendasarkan pada kalabandha (materialisme) dan kalayatra (permainan uang) yang kesemuanya serba lamis atau bohong (dalam geguritan 33). Maka yang ada hanya sumelang (dalam geguritan 38), karena wis entek atau habis (dalam geguritan 41). Karena itu, sebelum hilang dan menyesal karena kehilangan, maka sudah waktunya selalu eling, ingat (dalam geguritan 57).

Religius
Berbeda dengan puisi Jawa pada umumnya, di mata sastrawan Jawa senior JFX Hoery, karya Yusuf di kumpulan ini berbeda. Bahkan jika dibanding dengan karya-karyanya sendiri sebelum dan sesudahnya. Dalam antologinya yang ditulis tahun 2015-2016, berisi 58, lambang usianya saat itu. Rangkaian geguritan yang dimulai dari basmallah dan ditutup dengan hamdallah, masing-masing geguritan dengan nomor 1-58, bukan judul seperti biasanya. Dan setiap geguritan yang tipografi rata tengah (centring) di dalamnya terdapat satu kata ditulis dengan huruf tebal, dalam posisi tegak lurus yang di Atas.
Selain itu, tidak semua kata yang ia pakai mengutarakan ungkapan jiwanya, tidak semuanya sudah memiliki makna yang pasti. Bahkan dalam kamus Bahasa Jawa belum ada. Misalnya blaidhu, kim kim alaikim, slaimu, laindhu, masru, dhukiram, ilu, kumasir, daiasir, daikum. Ini menunjukkan ia tidak mau di zoman aman dan nyaman.
“Sepengetahuan saya, dalam sastra Jawa gagrak anyar (modern), geguritan seperti karangan Dik Yusuf ini belum ada. Sehingga nalar dan rasa pembaca ditantang untuk bisa memburu imajinasi sang pengarang,” tutur Hoery, sesepuh komunitas Sastra Jawa Bojonegoro (PSJB) yang pengabdian dan bukunya sudah banyak mendapat penghargaan.

Keluar dari Pakem
Dibanding Dhanu dan Hoery, Staf Pengajar FBS Unnes Ucik Fuadiyah yang menempatkan diri sebagai pembaca mempunyai pandangan berbeda. Sebagai pembaca dan penikmat geguritan, katanya, membaca geguritan dalam Serat Plerok merupakan kejengkelan sekaligus kenikmatan tersendiri. Tak bisa seperti membaca gurit-gurit pengarang lain ataupun karya YSH (panggilan akrab Yusuf-red) sebelumnya (Ombak Wengi) yang dari sisi bahasa relatif mudah ditangkap baik untuk keperluan pembacaan panggung maupun pemahaman isi. Berbeda dengan gurit-gurit dalam Serat Plerok. “Hampir seluruh gurit saya anggap cukup rumit dan ruwet. Saya katakan rumit sebab gurit-gurit yang ada di dalamnya mengangkat persoalan kehidupan manusia yang sungguh kompleks, beraneka, berliku, jempalikan, tetapi sesungguhnya bermuara pada satu. Sesuatu, Bisa jadi sesuatu itu adalah Sang Pencipta. Betapapun rumit persoalan hidup manusia pada akhirnya akan berpasrah dan menuju pada Sang Pencipta,” tandasnya.

Ruwet dimaksud dari segi bahasa dan diksi. Tentu saja semua diksi yang lahir dalam karya tak dapat dipungkiri memiliki tujuan estetika. “Sejujurnya, untuk membaca geguritan ini saya perlu berualang-ulang kata, baris, dan baitnya agar mendapat bunyi-bunyi yang indah, selaras dengan ekspresi, dan juga isi maksud setiap guritnya. Kosakata bahkan kata yang dihadirkan seringkali tak lazim secara konteks sintaksis kebahasaan, hal ini menjadi tantangan tersendiri. Pembaca justru memiliki kesempatan untuk mengeksplorasi bunyi dan bermain-main dengan diksi-diksi di dalamnya.”

Ucik pun sampai pada kesadaran bahwa, ya, gurit rumit dan ruwet tapi begitu padat dan sarat makna. Seperti ciri khas karya YSH yang selalu menulis sesuatu yang revolusioner, visioner, dan kontemporer. “Boleh dikatakan, bagi saya gurit-gurit YSH dalam Serat Plerok ini nyebal saka pakem, nanging ora nyebeli (keluar dari pakem, tapi tidak menyebalkan).”

Pilihan Hidup
Sejak 1980-an, Yusuf sudah memilih jalan hidup di dunia seni-budaya dan pers. Dengan meninggalkan profesinya sebagai guru (pegawai negeri) hampir 10 tahun. Di Bojonegoro, kota kelahirannya, ia mengelola Sanggar Art Bipa (1980-1986), dan 1982 bersama seniornya mendirikan dan memimpin komunitas sastra Pamarsudi Sastra Jawi Bojonegoro (PSJB) (1982-186). Kemudian kemudi PSJB dipegang JFX Hoery sampai sekarang. Tahun 1984 bersama Suparto Brata dan JFX Hoery menggelar sarasehan nasional “Jati Diri Sastra Daerah”, yang dihadiri George Quinn, Australia. Lalu 1986, hijrah ke Jakarta sebagai wartawan seni Surabaya Post (1986-2000). Setelah SP tutup, ia bergabung ke berbagai media, tetap di seni budaya. Sebelum kini mengelola Majalah Galeri, ia pernah menjadi mengelola Visual Art, Dewan Redaksi Majalah Warisan Indonesia, dan Majalah /online Kabare.

Sejak 2008 sampai sekarang menjadi Pengurus PWI Pusat. Mengurus seni budaya. Antara lain Sekolah Jurnalisme Kebudayaan (SJK-PWI), Temu Redaktur Kebudayaan se Indonesia (2011-2015), Anugerah Kebudayaan PWI Pusat untuk Bupati /Walikota pada HPN 2016, 2020. Pemegang Kartu Pers Nomor Satu (Press Card Number One), memperoleh sertifikat Wartawan Utama dari Dewan Pers. Pernah aktif di Yayasan Seni Rupa Indonesia (YSRI) dan Asosiasi Tradisi Lisan (ATL) Pusat.

Selain Serat Plerok, buku-buku nya antara lain antologi puisi Ombak Wengi, meraih Hadiah Sastra Jawa Rancage (2012), Aku memilih Jadi Cahaya (antologi puisi, 2015), Menangkap Momen,Memaknai Esensi / Moment and Essence (buku kumpulan sketsa pilihan tahun 1982-2013 terbitan Kemendikbud , 2013) mengiringi pameran keliling tiga kota: Jakarta, Bojonegoro, Surabaya, Orang-orang Cacat ( buku cerita anak-anak, terbitan Balai Pustaka,1984), Mengawal Hak Seni Budaya (2015) kumpulan tulisan di media massa dan orasi.

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!