MESIR, MENARA62.COM – Di Mesir tradisi Maidah ar Rahman ini memiliki sejarah panjang. Tercatat Al Laits Bin Sa’ad yang memulainya. Ia seorang ahli fikih sekaligus hartawan. Menu favorit yang disajikan kala itu adalah bubur. Hingga terkenal dengan sebutan “bubur al-Laits”.
Pada masa Dinasti Thulun (868 M-967 M), Ahmad Ibn Thulun biasa mengundang para jenderal, saudagar, dan tokoh-tokoh penting dalam jamuan pada hari pertama puasa di Masjid Amru Bin ‘Ash. Selama Ramadhan, ia mengeluarkan tak kurang dari 1.100 jenis makanan.
Jamuan buka puasa gratis itu berlanjut hingga kini. Meski jenis makanannya tak sefantastis masa itu lagi. Diberi nama “Maidah ar-Rahman” yang secara bahasa artinya “hidangan Tuhan” atau “meja makan yang disajikan Tuhan”.
Para dermawan mendirikan tenda-tenda seukuran 10×25 m yang boleh dimasuki siapa saja untuk berbuka puasa. Tenda ini didirikan di mana saja. Di ujung jalan, di dekat pasar atau di dekat kampus yang biasanya menjadi tujuan mahasiswa berbuka puasa gratis. Mau setiap hari datang, tidak masalah. Semua akan disambut hangat dan dilayani dengan baik.
Sekalipun jenis makanan yang dihidangkan tak sebanyak dulu lagi, namun tak jarang satu tenda menyembelih 1 ekor sapi setiap hari. Sehingga total dalam sebulan ada 30 ekor sapi yang disedekahkan untuk berbuka bersama. Itu belum termasuk makanan lainnya, yang biasanya berupa roti, sup dan salad.
Apa Kata Masisir?
Dilansir dari akhbarelyom.com, sebagaimana tahun lalu, Ramadhan tahun ini penduduk Mesir belum bisa menikmati “hidangan yang disajikan Tuhan” atau maidaturahman. Tersebab pandemi, aktivitas yang melibatkan berkumpulnya warga dalam jumlah banyak masih dibatasi. Apa kata Masisir (Mahasiswa Indonesia di Mesir)?
Belum diperbolehkannya maidaturahman mendapat beragam tanggapan dari mahasiswa Indonesia di Mesir (Masisir). “Ramadhan di Mesir tanpa maidaturahman terasa sedih, sebab tidak ada tradisi spesial yang selalu kita rindukan. Selain itu, setiap hari kita juga harus berpikir mau makan sahur dan buka apa? Tentu ini menghabiskan waktu dan biaya,” jelas Sabilul Ihsan, Mahasiswa Fakultas Dakwah Islamiyyah, Universitas Al Azhar, Kairo.
Meski demikian ada juga yang merasa biasa saja. “Tidak masalah Ramadhan tanpa maidaturahman, karena kita sudah terbiasa puasa sunah yang harus menyiapkan sahur dan buka sendiri,” tanggap Syahdan Mubarak, Mahasiswa Fakultas Ushuluddin, Universitas Al Azhar, Kairo.
Kalaupun ada yang dirasa hilang adalah suasana khas maidaturahman yang tidak ditemui di Indonesia. Kemeriahan saat orang-orang duduk dengan rapi menunggu adzan Maghrib dikumandangkan, ajang bagi Masisir untuk bercengkrama dengan orang Mesir. “Izayyak,“ bahasa pergaulan untuk bertanya kabar dan mengawali perbincangan.
Dari bertanya kabar, mengalirlah cerita tentang Ramadhan di Indonesia. Biasanya perbincangan dilanjutkan dengan kisah Soekarno, sosok yang sangat dihormati masyarakat Mesir.
Menu maidaturrohman yang sangat khas mesir adalah nasi minyak dengan ayam atau daging serta kuah kacang, ditambah roti eisy dan manisan. Hhmm!
Bagi Masisir yang rumahnya dekat, hanya perlu 15 menit sebelum azdan maghrib menuju lokasi maidaturahman. Sedangkan yang jauh, 30 menit sebelum azdan sudah harus keluar rumah, supaya tidak terlambat. Begitu banyak lokasi yang bisa didatangi untuk menikmati jamuan iftar, namun biasanya dipilih yang terdekat dari rumah, untuk memudahkan dan tidak membuang waktu.
Tanpa buka puasa gratis, berapa biaya yang harus dikeluarkan Masisir untuk sahur dan berbuka? “Untuk sahur dan buka setidaknya perlu 40 pound Mesir kalau membeli makanan matang. Sedang kalau masak sendiri hanya separuhnya, 20 pound Mesir,” lanjut Sabilul Ihsan.
Rata-rata Masisir tidak masalah kalau harus memasak sendiri untuk sahur dan berbuka, karena telah terbiasa. Setiap pekan berbelanja ke pasar untuk memenuhi kebutuhan harian. Setelah itu makanan akan disiapkan oleh petugas piket yang telah diatur bersama.
Semoga pandemi segera berlalu dan tahun depan “hidangan yang disajikan Tuhan” kembali bisa terhidang. (Tim Lentera 2021 PCIM-PCIA Mesir)