M.Rifqi Rosyidi, LC , M.Ag (Sahabat Misykat Indonesia)
“Setiap amal ibadah manusia (manfaatnya) kembali kepada pelakunya sendiri (baik dalam bentuk pahala dari Allah maupun berupa pujian dari manusia), kecuali ibadah puasa, karena sesunnguhnya (ibadah puasa itu) untuk-Ku dan Aku Sendiri yang akan memberikan balasan pahala puasanya tersebut”.
Syekh Ali Ahmad Al-Jurjawi di dalam bukunya Hikmah al-Tasyri’ wa Falsafatuhu menyatakan bahwa syariat puasa secara umum, terlebih khusus puasa Ramadhan merupakan proses panjang yang dijadikan Allah sebagai salah satu bentuk pembelajaran bagi umat Islam dalam rangka menumbuhkembangkan karakter amanah dalam kehidupannya. Hal ini dapat dilihat dari substansi puasa (shiyâm) yang secara terminologi memiliki arti menahan diri dari makan dan minum di siang hari, serta dari semua aktivitas yang dapat membatalkan puasa tersebut; Pada hakikatnya yang demikian ini merupakan sebuah amanah yang dititippercayakankan oleh Allah kepada manusia untuk ditunaikan dengan sempurna dan penuh tanggung jawab, oleh karena itu dibutuhkan tenaga ekstra dan perjuangan yang berkelanjutan dalam menjaga tumbuh kembangnya sikap amanah ini. Sebagai sebuah gambaran ilustratif dapat dikatakan bahwa seseorang yang sedang menyendiri di tempat yang sepi tanpa ada orang lain yang membersamainya ketika dalam kondisi lapar, haus dan kondisi tubuh yang lemas, maka bisa saja seseorang tertentu membatalkan puasanya dengan makan atau minum, meskipun demikian orang lain akan menganggapnya tetap dalam kondisi berpuasa karena tidak mengetahui kalau orang tersebut sudah melakukan hal-hal yang merusak keabsahan ibadahnya, hanya dia sebagai pelaku dan Allah yang mengetahuinya. Maka berusaha untuk tetap berpuasa dalam kesendirian dan di tengah keramaian merupakan substansi amanah yang harus dipertahankan dengan penuh tanggung jawab melalui proses pembiasaan dalam bentuk ibadah puasa, dan ketika amanah ini disia-siakan maka hakikatnya ia telah mengkhianati kepercayaan Allah yang telah diberikan kepadanya.
Secara literal, kata amānah yang dalam ungkapan sehari-hari diartikan sebagai sebuah sikap yang menampilkan integritas dirinya sebagai pribadi yang selalu dapat dipercaya, memiliki kesamaan akar kata dengan kata īmān dan mu’min. Hal semacam ini secara tidak langsung mengandung pesan teo-spiritual yang menampilkan keterpautan makna antara īmān dan amānah, sekaligus membangun sebuah paradigma bahwa orang-orang yang beriman harus menumbuhkembangkan sikap amānah di dalam kehidupannya, sehingga sikap amānah seharusnya menjadi icon penting dan identitas utama bagi setiap orang yang beriman (mu’min) dalam mengemban tugas-tugas kekhalifahannya di muka bumi ini. Faktnya kadar keimanan seseorang baik pada tataran kualitas maupun kuantitas sangta fluktuatif, selalu mengalami pasang dan surut; kodisinya tidak stabil kadang naik dan sering turun (al-īmān yazīd wa yanqush), bahkan sangat mungkin hilang tercerabut dari hati seorang hamba. Maka Allah Dzat Yang Maha Pengasih dan Penyayang memberikan keleluasaan bagi manusia untuk menjaga keberadaan iman dan mempertahankan kualitas dan kuantitasnya melalui ibadah-ibadah yang disyariatkan kepada manusia. Ibadah-ibadah dalam segala bentuknya sejatinya bukanlah sebuah beban hidup yang memberatkan, tetapi substansi ibadah adalah wujud pengejawantahan dari sifat kasih sayang Allah kepada hambaNya dalam rangka menjamin mutu keimanan dan keislaman seseorang untuk meringankan beban kehidupan akhirat.
Ibadah puasa Ramadhan merupakan salah satu ibadah yang memiliki peran paling dominan dalam mengembangkan sikap amanah dan tanggung jawab tersebut, karena pada prinsipnya dapat dikatakan bahwa kepatuhan seorang hamba dalam menjalankan ibadah puasa merupakan indikator puncak keikhlasannya dalam beribadah dan menghamba kepada Allah, sehingga secara khusus Allah memberikan apresiasi yang luar biasa terhadap ibadah puasa ini sebagaimana termaktub di dalam hadits qudsi pada pembuka tulisan ini: fa innahū lī wa anā ajzī bihī; Sesungguhnya (puasa itu) milik-Ku dan Aku (Sendiri) yang akan memberikan balasan pahala puasanya tersebut. Lebih dari itu peran dominan puasa Ramadhan dalam menumbuhkan sikap amanah untuk menjadi identitas utama kepribadian seorang muslim disebabkan oleh karena Ramadhan mempertautkan semua jenis ibadah menjadi satu kesatuan yang tidak terpisah dengan ibadah puasa, sehingga kesempurnaan ibadah puasa di bulan Ramadhan ini sangat dipengaruhi oleh maksimalisasi ibadah-ibadah pendukung lainnya seperti shalat fardlu secara umum dan secara khusus melaksanakan qiyāmul lail yang menjadi satu paket yang tidak terpisah dalam pelaksanaan ibadah Ramadhan, di mana keduanya baik puasa maupun qiyām lail mengedepankan keikhlasan tingkat tinggi yang harusnya hanya diketahui oleh pelaku dan Allah saja. Oleh karena itu mayoritas riwayat hadits tentang shiyām dan qiyām ramadhān sangat identik dengan ungkapan īmānan wa ihtisāban. Demikian pula dengan tema ibadah sosial yang memiliki keterpautan dengan shiyām ramadhan baik dalam bentuk zakat, infaq dan shadaqah yang secara khusus menggunakan istilah ith`ām miskīn (memberi makan orang miskin) sebagai sasaran fidyah juga menuntut pelakunya mengedepankan nilai keikhlasan dalam menunaikannya di mana dalam beberapa riwayat hadits disebutkan bahwa ketika tangan kanan melaksanakan misi kebaikannya, tangan kirinya (sendiri) tidak harus mengetahuinya, apalagi “tangan” orang lain. Dengan demikian menggembirakan Ibadah-ibadah berparadigma filantropis semacam ini harus dibangun dengan menggunakan perspektif Q.S. al-Insan [76] ayat 9: “sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih”.
Al-Razi ketika di dalam buku tafsirnya Mafātīh al-Ghayb menjelaskan substansi amanah yang disebutkan di dalam ayat 72 surat al-Ahzab (33): “sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanah kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikulnya (amanat itu) dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh”, menyebutkan salah satu pandangan ulama bahwa amanat yang dimaksud oleh Allah di dalam ayat ini adalah taklīf dengan pengertian bahwa semua bentuk ketaatan dalam menjalan tuntutan dan tuntunan agama baik dalam hal kewajiban menjalankan perintah-Nya maupun kewajiban meninggalkan laranganNya adalah amanat, dan ibadah puasa dengan pendekatan ayat ini merupakan salah satu amanat yang wajib ditunaikan dengan sempurna oleh manusia. Pemilihan penggunaan ungkapan di dalam al-Quran pasti mengandung makna dan tujuan tertentu, maka di dalam ayat ini ketika Allah mengungkapkan beban kewajiban agama (takālīf syarī`ah) dengan istilah amanah harus juga dipahami bahwa semangat menjalankan kewajiban agaman harus mempengaruhi pelakunya menjadi sebuah pribadi yang memiliki karakter yang dapat dipercaya (al-amīn) dan selalu menampilkan kebenaran. Meskipun faktanya banyak yang telah melaksanakan perintah agama tidak mendapatkan ruh dan semangatnya sebagaimana yang ditekankan pada bagian akhir dari ayat tersebut di atas: “Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh”. Maka senada dengan ungkapan Qur`ānī ini yang secara khusus terkait dengan pengaruh ibadah puasa bagi pelakunya, rasulullah saw juga menyatakan bahwa banyak sekali orang-orang yang menjalankan ibadah puasa tetapi tidak mendapatkan pengaruh apa-apa kecuali hanya merasa lapar dan begitu halnya sengan orang yang menunaikan shalat malam dalam rangka menghidupkan malam ramadhan tetapi tidak dapat pengaruh apa-apa selain merasa capek. Dengan demikian kualitas pelaksanaan puasa dan shalat serta ibadah-ibadah ynag sangat mempengaruhi kualitas kepribadian seseorang, ketika target seseorang dalam melaksanakan shalat, puasa dan ibadah hanya sekedar menyelesaikan tugas dan terbebas dari tanggung jawab saja, maka dia tidak akan pernah bertranformasi menjadi pribadi yang berkarakter amanah, dan fenomena kelangkaan figur yang memegang nilai-nilai amanah inilah yang dikhawatirkan oleh nabi dalam sebuah hadits prediktif tentang masa depan umat Muhammad dari sahabat Hudzaifah r.a. yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari di bab raf`u al-amānah (Kitāab al-Riqāq): “…seseorang tidur lalu amanah di dalam hatinya diangkat, maka bekasnya masih ada seperti atsar al-wakti, lalu dia tertidur kemudian dicabut, maka bekasnya bagaikan lepuh seperti bara apai yang digelindingkan di kakimu, lalu ia (bara api itu) melukainya sehingga engkau melihatnya melepuh, (padahal) tidak ada apa-apa (sesuatu yang bermanfaat) di dalamnya. Lalu pagi harinya manusia melakukan jual beli, maka hampir saja salah seorang dari mereka tidak bida melaksanakan amanah, (dan) dikatakan: di bani fulan ada seorang lakai-laki yang amanah (terpercaya), dan dikatakan kepada seseorang: sungguh cerdas, sungguh cerdik, sungguh kuat, sementara di dalam hatinya tidak ada amanah seberat biji sawi pun…”. Maka dalam konteks ini tidurnya seseorang ketika diangkat amanah dari hatinya tidak boleh hanya dipahami dengan pengertian bahasa saja, tetapi orang-orang yang melaksanakan rutinitas ibadah dan tidak pernah mencoba menangkap pesan teo-spiritual dari ibadah tersebut adalah termasuk dalam kategori orang yang tertidur yang tidak pernah menyadari substansi dan hakikat apa yang dikerjakan.
Sikap amanah yang berusaha dibangun melalui pelaksaan ibadah puasa secara leksikal juga mengandung makna al-shidqu; jujur dan benar. Orang yang jujur dan selalu berkata benar adalah orang yang selalu menampilkan kepribadian dirinya sesuai dengan apa adanya tidak menampilkan kepribadian orang lain dan ketika berbicara selalu menyampikannya sesuai dengan kondisi sebenarnya tanpa menambah, mengurangi atapun menutupi. Kalau kita memahami paradigma al-shidqu ini dalam perspektif sifat wajib bagi nabi dan rasul, maka dapat dikatakan bahwa semua sifat wajib itu muaranya kembali kepada satu sifat yaitu al-shidqu; Kejujuran (al-shidqu) akan mendorong tumbuh kembangyna sifat tablīgh; menyampaikan semua apa adanya; dan dengan dengan kejujuran akan melahirkan sifat al-amānah; bertanggung jawab dan bisa dipercaya. Dalam perspektif sosio-politik kekinian dan keindonesiaan dua sifat yang dilahirkan dari sifat jujur (al-shidqu) itu kita kenal dengan istilah transparansi dan akuntabiliti, di mana mayoritas politikus menampilkan wajah yang berbeda; sangat fasih berbicara tentang terma-terma syariah tersebut ketika menawarkan dirinya sebagai figur yang layak dipilih menjadi wakil rakyat dan pejabat publik meskipun faktanya kepribadian yang sebenarnya bertolak belakang dengan tampilan lahiriyahnya. Fenomena semacam ini sesuai dengan prediksi profetik yang secara illustratif namun tegas dinyatakan di dalam hadits Bukhari dari sahabat Hudzaifah di atas. Kecenderungan berlaku tidak jujur dan tidak berani mengambil resiko dalam menampilkan peran kebenaran ternyata sudah menjadi kultur mayoritas, baik pada tataran keberagamaan maupun kebangsaan. Dan dalam konteks kualitas keberagamaan umat Islam di bulan Ramadhan, Indonesia memiliki contoh menarik yang merepresentasikan budaya pembohongan publik atas nama toleransi beragama menjadi pemandangan biasa, di mana warung-warung menampilkan wajah tertutup di siang hari sebagai bentuk menghargai orang yang sedang berpuasa, sementara di balik tampilan tertutup sebuah warung tetap memberikan pelayanan plus, karena bukan hanya melayani kebutuhan makan dan minum yang menjadi larangan dalam berpuasa tetapi privasi orang yang tidak melaksanakan puasa juga terjaga. Fenomena ini menarik karena Indonesia merupakan negara dengan umat islam sebagai penduduk mayoritas, dan dapat dipastikan bahwa mayoritas pengelola warung-warung tersebut adalah orang Islam, dan mayoritas penikmat layanan warung-warung tersebut juga umat Islam, dan yang lebih menarik lagi fenomena ini terjadi di bulan Ramadhan di mana nilai-nilai kejujuran dan amanah menjadi target utama yang akan diproyeksikan menjadi karakter sosial.
Sebenarnya terbentuknya kepribadian yang memegang teguh nilai-nilai amanah yang ditanamkan melalui pelaksanaan puasa ramadhan dan ibadah-ibadah yang terkait sebagaimana yang sudah tersaji pada pembahasan di atas merupakan langkah awal untuk menaikkan level ketakwaannya menuju sebuah kedudukan (maqām) yang dikenal dengan istilah murāqabatullāh; di mana seorang hamba selalu mengedepankan kewaspadaannya dalam setiap langkah agar senantiasa berada pada titian yang lurus karena di dalam hatinya sudah terbangun sebuah sikap merasa selalu diawasi oleh Allah swt. Rasulullah saw juga menganjurkan sahabat-sahabatnya secara khusus dan umat islam secara umum untuk menumbuhkembangkankan karakter murāqabatullāh ini dalam sebuah ungkapan hadits: ittaqillāha haytsumā kunta (bertakwalah kamu di manapun kamu berada). Dengan demikian takwa yang disebutkan pada bagian akhir ayat 183 dari surat al-Baqarah [2] sebagai target pencapaian ibadah puasa (la`allakum tattaqūn) ketika dipahami dengan pendekatan yang holistik bukanlah sebuah gelar yang disematkan kepada setiap orang yang telah melaksanakan tugas ibadahnya, tetapi takwa merupakan sebuah karakter dan kekuatan yang mengendalikan semua potensi di dalam hati untuk menampilkan kebaikan-kebaikan yang melampaui, dan takwa merupakan pengejawantahan dari sikap amanah yang kepekaannya diasah melalui ibadah puasa Ramadhan.