JAKARTA, MENARA62.COM – Pasokan masker di pasaran saat ini melimpah ruah. Bak kacang goreng, membeli masker bisa dilakukan di lapak kaki lima, tukang asongan, toko offline hingga market place dengan harga yang bervariasi. Mulai dari masker scuba, masker kain dua lapis, masker kain tiga lapis, masker medis hingga masker N95.
Kondisi tersebut berbeda jauh dibandingkan saat awal terjadi pandemi. Masyarakat begitu sulit mendapatkan masker. Kalau pun ada, harganya mahal. Bahkan Masker medis, harganya naik 4 hingga 5 kali lipat bahkan lebih, dari harga normal.
Tetapi di tengah makin mudahnya akses masyarakat untuk mendapatkan masker, angka penularan Covid-19 di tanah air ternyata tak kunjung mereda. Grafiknya naik turun dengan klaster penularan yang berbeda-beda. Kondisi tersebut tentu membuat khawatir banyak pihak mengingat dalam situasi pandemi Covid-19, banyak masyarakat dan tenaga medis bertaruh pada efektivitas penggunaan masker untuk mencegah penularan virus corona.
World Health Organization (WHO) dalam pernyataan resminya menyebutkan masker adalah salah satu cara terbaik untuk mencegah penyebaran Covid-19 melalui percikan dari mulut atau droplet. Masker yang baik kualitasnya akan melindungi dari microdroplet atau percikan yang sangat kecil yang dapat melayang di ruangan sempit berventilasi buruk atau penyebaran terbatas secara aerosol.
Dari sekian banyak jenis masker, memang masker medis dan masker N95 menjadi jenis masker yang paling ideal untuk melindungi seseorang dari penularan Covid-19. Tetapi sayangnya, jenis masker ini ketersediaannya terbatas dengan harga relatif lebih mahal. Belum lagi masa penggunaannya yang singkat dan tidak bisa didaur ulang sehinggapenggunaan masker medis yang tidak dikendalikan akan menghadapi isu lingkungan hidup berupa limbah medis.
Karena itulah, WHO kemudian merekomendasikan penggunaan masker kain bagi masyarakat umum. Masker kain selain harganya relatif murah, cara mendapatkan lebih mudah juga dapat dicuci ulang.
“Karena dapat dicuci ulang, penggunaan masker kain tidak menghadapi isu lingkungan hidup berupa limbah medis,” kata dr Reisa Broto Asmoro saat menjabat sebagai Jubir Gugus Tugas Covid-19 dalam satu kesempatan.
Meski terbuat dari material kain seluruhnya, masker ini lanjut dr Reisa, dapat secara efektif menahan 70 persen partikel droplet jika memenuhi standar WHO. Misalnya masker kain harus terbuat dari tiga lapis kain, menggunakan bahan yang bisa menyerap droplet, menggunakan bahan hidropobik yakni bahan yang mampu mencegaha masuknya droplet pada lapisan terluar masker.
Pemilihan bahan untuk masker kain lanjut dr Raisa juga perlu diperhatikan, karena filtrasi dan kemampuan bernafas bervariasi tergantung pada jenis bahan. Efisiensi filtrasi tergantung pada kerapatan kain, jenis serat dan anyaman. Filtrasi pada masker dari kain berdasarkan penelitian adalah antara 0,7 persen sampai dengan 60 persen. Semakin banyak lapisan maka akan semakin tinggi efisiensi filtrasi.
“Karena itu masker kain dapat digunakan bagi masyarakat umum yang tidak berhadapan langsung dengan pasien Covid-19 atau bekerja di tempat-tempat potensial penularan Covid-19,” katanya.
Beredar Masker Medis Palsu
Di tengah keterbatasan jumlah masker medis, publik diresahkan dengan munculnya kasus masker medis palsu. Masker medis palsu tersebut tidak hanya beredar di kalangan masyarakat awam. Awal 2021 misalnya, RSPI Sulianti Saroso di Jakarta Utara mendapatkan donasi 8 kardus masker respirator N95 merek 3M dari masyakarat yang ternyata merupakan masker medis palsu.
Terungkapnya kasus masker medis palsu di RSPI Sulianti Sarono bermula ketika masker medis donasi tersebut dibuka, ternyata bagian ke mulut sudah rontok semua. Lalu Komite Pencegahan dan Pengendalian Infeksi RSPI Sulianti Saroso pun mengecek nomor seri produk yang ternyata ada ketidakcocokan.
Dalam pernyataan resminya seperti dilansir dari laman sehatnegeriku, Plt Dirjen Farmalkes Kementerian Kesehatan, drg. Arianti Anaya, MKM mengakui banyaknya masker medis palsu beredar di pasaran di tengah keinginan masyarakat menggunakan masker yang ideal dan memenuhi standar kesehatan. “Ada oknum yang memanfaatkan situasi ini untuk cari keuntungan,” katanya.
Kondisi tersebut lanjut Arianti, sangat berbahaya mengingat penggunaan masker medis palsu dikhawatirkan membuat seseorang lebih rentan tertular virus SARS-CoV-2.
“Karena itu kami mengimbau masyarakat lebih cermat memilih masker untuk menjaga diri dari penularan Covid-19. Jangan memaksa diri menggunakan masker medis jika memang tidak urgent,” katanya.
Kemenkes lanjut Arianti sebenarnya telah melakukan berbagai upaya untuk menjamin ketersediaan masker medis sejak terjadi kelangkaan masker medis pada awal pandemi. Menggandeng sejumlah pihak, saat ini ada 996 industri masker medis yang sudah memiliki nomor izin edar dari Kementerian Kesehatan. Mengantongi izin edar Kemenkes berarti bahwa produk masker bedah atau masker N95 dikategorikan sebagai alat kesehatan.
“Izin edar diberikan Kementerian Kesehatan setelah produsen memenuhi persyaratan mutu keamanan dan manfaat, antara lain telah lulus uji Bacterial Filtration Efficiency (BFE), Partie Filtration Efficiency (PFE), dan Breathing Resistence sebagai syarat untuk mencegah masuknya dan mencegah penularan virus serta bakteri,” lanjut Arianti.
Jenis masker medis itu sendiri ada dua yakni masker bedah dan masker respirator. Masker bedah berbahan material berupa non – woven spunbond, meltblown, spunbond (SMS) dan spunbond, meltblown, meltblown, spunbond (SMMS). Masker tersebut digunakan sekali pakai dengan tiga lapisan. Penggunaannya menutupi mulut dan hidung.
Lain halnya dengan masker respirator atau biasa disebut N95 atau KN95. Biasanya masker respirator ini menggunakan lapisan lebih tebal berupa polypropylene, lapisan tengah berupa elektrete/charge polypropylene. Masker jenis ini memiliki kemampuan filtrasi yang lebih baik dibandingkan dengan masker bedah. Biasanya masker respirator ini digunakan oleh pasien yang kontak langsung dengan pasien Covid-19 dan juga selalu digunakan untuk perlindungan tenaga kesehatan.
“Masker medis harus mempunyai efisiensi penyaringan bakteri minimal 95%,” tutur Arianti.
Sementara itu, Dekan Fakultas Kesehatan Universitas Indonesia Prof. Dr. Ari Fahrial Syam mengingatkan prinsip menggunakan masker adalah untuk menghindari penularan virus dari seseorang ke orang lain jika positif Covid-19. Penggunaan masker medis palsu justeru akan meningkatkan kerentanan seseorang terhadap penularan Covid-19. Risiko tersebut tidak hanya dihadapi oleh tenaga medis, tetapi juga oleh masyarakat secara luas karena masker medis kini banyak digunakan secara umum.
“Di lapangan banyak masyarakat yang juga menggunakan surgical mask ini, entah palsu entah asli. Karena memang sulit untuk membedakan keduanya,” kata Prof. Ari.
Oleh karena itu untuk menghindari kesalahan pemilihan masker medis maka tenaga kesehatan dan masyarakat diimbau membeli masker medis yang sudah memiliki izin edar alat kesehatan dari Kemenkes yang tercantum pada kemasan. “Sebaiknya belilah masker medis di tempat-tempat yang dapat dipertanggungjawabkan seperti apotek atau drug store terpercaya dan toko yang menjual perlengkapan kesehatan,” saran Prof. Ari.
BSN Terbitkan SNI Masker Kain
Untuk memudahkan masyarakat mendapatkan masker kain yang bermutu dan terjamin keamanannya, Badan Standardisasi Nasional (BSN), lembaga yang berwenang menyusun standar kualitas produk, memiliki peran strategis dalam hal penyediaan masker yang sesuai standar WHO ini. Karena itu pada 16 September 2020, BSN telah menetapkan Standar Nasional Indonesia (SNI) 8914:2020 Tekstil – Masker dari kain melalui Keputusan Kepala BSN Nomor 407/KEP/BSN/9/2020.
Dalam SNI tersebut BSN menetapkan persyaratan mutu masker yang terbuat dari kain tenun dan/atau kain rajut dari berbagai jenis serat, minimal terdiri dari dua lapis kain dan dapat dicuci beberapa kali (washable). SNI masker kain menjadi penting masker menjadi salah satu senjata utama dalam memerangi penularan Covid-19 di ruang publik saat ini.
Kepala BSN Kukuh S. Achmad mengatakan dengan diterbitkannya SNI masker kain, masyarakat tidak perlu lagi berebut menggunakan masker medis yang memang lebih diutamakan bagi tenaga medis dan pasien Covid-19. Masyarakat umum bisa memanfaatkan masker kain ber-SNI untuk mendapatkan perlindungan yang optimal dari penularan Covid-19.
“Mengantongi sertifikasi SNI menjadi penegasan kepada publik bahwa syarat mutu dari produksi masker kain itu sudah terpenuhi. Sebab untuk mendapatkan sertifikasi SNI, masker kain harus melalui berbagai tahapan mulai dari uji laboratorium hingga konsistensi kualitas produksinya yang menjamin masker yang diproduksi hari ini, besok dan lusa,” jelas Kukuh.
Tak hanya itu, sertifikasi SNI membuat suatu produk bisa diterima di negara lain. Tanpa standarisasi, peluang keraguan masyarakat menggunakan produk masker kain juga semakin besar. Ini ditambah dengan kasus-kasus seperti terungkapnya peredaran masker medis palsu karena faktor material yang digunakan tak memiliki izin edar dan penjualannya di tempat tak resmi.
Deputi Bidang Pengembangan Standar BSN Nasrudin Irawan menyebutkan SNI 8914:2020 Tekstil – Masker dari kain merupakan SNI baru yang disusun oleh Komite Teknis 59-01 Tekstil dan Produk Tekstil dalam rangka mendukung pencegahan penyebaran pandemi Covid-19 melalui penggunaan masker kain. Penyusunan dokumen standar tehnis masker kain ber-SNI tersebut melibatkan perwakilan dari produsen, konsumen, regulator, akademisi, praktisi, hingga asosiasi dan pakar kesehatan dalam satu wadah Komite Teknis.
“SNI masker kain ini menjadi panduan bagi produsen masker untuk memproduksi masker kain sesuai standar yang berlaku. SNI juga bisa membantu industri atau pelaku usaha untuk meyakinkan masyarakat tentang kualitas produknya. Intinya, bisnis akan berjalan aman jika berpedoman pada aturan dan ketentuan pemerintah,” tukas Nasrudin.
Meski demikian ia mengingatkan bahwa penggunaan SNI dalam masker kain tidak dimaksudkan untuk mengatasi semua masalah yang terkait dengan keselamatan dan kesehatan penggunanya. Penggunaan masker kain ber-SNI tetap harus didukung oleh perilaku lain seperti jaga jarak aman dan menjaga kebersihan diri.
Nasrudin menjelaskan dalam SNI 8914:2020 masker kain dibagi ke dalam tiga tipe, yaitu tipe A masker kain untuk penggunaan umum, tipe B untuk penggunaan filtrasi bakteri, dan tipe C untuk filtrasi partikel.
Adapun jenis pengujian yang dilakukan terhadap masker kain diantaranya uji daya tembus udara dilakukan sesuai SNI 7648, uji daya serap dilakukan sesuai SNI 0279, uji tahan luntur warna terhadap pencucian, keringat, dan ludah, pengujian zat warna azo karsinogen serta aktivitas antibakteri. SNI ini juga mengharuskan semua masker dari kain dikemas per satuan dengan cara dilipat dan/atau dibungkus dengan plastik disertai label, logo SNI dan petunjuk pemakaian/pencucian.
“Meski bisa dicuci dan dipakai kembali, masker kain sebaiknya tidak dipakai lebih dari empat jam, karena masker kain tidak seefektif masker medis dalam menyaring partikel, virus dan bakteri,” tutur Nasrudin.
SNI jelas Nasrudin memiliki banyak manfaat. Dari sisi pemerintah, SNI melindungi produk dalam negeri dari produk-produk luar yang tak berstandar, dan membangun keunggulan kompetitif produk lokal.
Sementara itu, bagi produsen, SNI bisa memberikan kejelasan target kualitas produk yang harus dihasilkan. Dan yang terpenting bagi konsumen, SNI salah satu pegangan saat membeli barang, tak kecuali saat belanja konvensional atau online.
Dengan ditetapkan SNI masker kain, Nasrudin berharap dapat mengurangi penyebaran virus Covid-19 serta diikuti dengan tindakan tetap mengikuti protokol kesehatan, yakni menjaga jarak dan mencuci tangan dengan menggunakan sabun dan air yang mengalir.
UMKM Dukung Masker Kain Ber-SNI
SNI sejatinya tak sekedar memberikan jaminan keamanan bagi konsumen. SNI sekaligus memberi nilai tambah bagi produsen akan kualitas produk yang dihasilkan sehingga lebih mudah meyakinkan konsumen.
Karena itu meski SNI masker kain masih bersifat sukarela, Irma Ratnandalas, pemilik usaha Baby fynnsass rela untuk mengurus SNI bagi produk masker kainnya. Padahal untuk mengurus SNI bukan masalah sederhana. Proses yang harus dilalui cukup panjang dan rumit, juga membutuhkan biaya yang tak sedikit.
“Saya ingin masker kain ini jadi pilihan masyarakat untuk menekan penularan Covid-19,” katanya saat dihubungi Menara62.com.
UMKM yang beralamat di Antapani, Bandung, Jawa Barat tersebut sebelumnya dikenal sebagai produsen pakaian bayi dengan merek Baby fynnsass. Tetapi akibat pandemi Covid-19, bisnis pakaian bayi yang sudah digeluti Irma sejak 2016 mengalami guncangan hebat. Harga bahan baku naik hingga 10 kali lipat dibanding sebelumnya. “Ada satu bahan yang biasanya kami beli dengan harga 350 ribu rupiah satu bal, pada saat pandemi harganya meroket jadi 3,5 juta,” katanya.
Situasi tersebut dibarengi dengan menurunnya daya beli masyarakat yang berimbas pada penurunan penjualan produk baju bayi akibat sulitnya ekonomi. Karena itu sejak April 2020, Baby fynnsass mencoba merambah bisnis masker kain. Ternyata sambutan pasar luar biasa. Pesanan baik yang datang dari instansi, lembaga, organisasi, komunitas, ritel maupun perorangan terus berdatangan.
“Kami sempat kewalahan saking banyaknya pesanan dan itu berlangsung begitu cepat,” jelas Irma.
Membanjirnya pesanan masker kain memaksa Irma harus menambah mitra penjahit dari yang semula hanya 6 orang penjahit, bertambah terus hingga akhirnya tercatat 185 orang penjahit. Ia juga melibatkan 35 orang ibu-ibu di sekitar toko yang sebagian besar korban PHK, dalam proses quality check dan packing masker. Hingga kini lebih dari 5 juta potong masker kain berhasil dijual ke pasar
Untuk memberikan perlindungan yang lebih baik bagi pengguna masker produksinya, Irma lantas berinisiatif memproduksi masker kain yang memenuhi standar kesehatan. Gayung pun bersambut ketika BSN menawarkan pendampingan untuk membuat masker kain ber-SNI.
“Prosesnya dimulai Juni-Juli tahun 2020, saat BSN mengundang berbagai pihak untuk menyusun parameter SNI masker kain. Saya terlibat waktu itu, dimintai masukan,” kata Irma.
Diakui Irma untuk mengurus SNI masker kain bukan hal mudah. Dibutuhkan kesabaran untuk melalui proses uji yang berulang dan cukup panjang. Untuk uji laboratorium saja, Irma harus mengirim sampel masker kain sebanyak 30 potong per satu warna dasar. Dengan 9 jenis warna dasar, itu artinya Irma harus mengirim 270 potong masker kain.
“Alhamdulillah, berkat pendampingan dan bimbingan tim dari BSN, akhirnya November proses uji lab masker kain Baby fynnsass dan bulan Desember lolos sertifikasi,” tambahnya.
Saat ini Irma mengakui telah ada beberapa instansi, lembaga dan organisasi yang memesan masker kain ber-SNI. Bahkan beberapa sekolah mulai dari SD, SMP dan SMA di kota Medan sudah memesan masker kain ber-SNI produk dari Baby Fynnsass. “Untuk retail, kami ada pesanan 2000 potong. Mudah-mudahan nanti untuk pengadaan masker di instansi, Pemda mewajibkan adanya sertifikat SNI,” katanya.
Irma berharap dengan mengantongi sertifikat SNI, masker kain Baby fynnsass akan dapat memberikan perlindungan lebih baik terhadap masyarakat dari penularan Covid-19. Sehingga klaster-klaster penularan Covid-19 di tengah masyarakat bisa diminimalisir.
Hal serupa juga dikemukakan Rina Kartina, Founder PT. Tatuis Cahya Internasional. Melalui masker kain bermerek Tatuis yang kini telah mengantongi sertifikat SNI, Rina berharap dapat lebih aktif mendukung program pemerintah dalam memutus mata rantai penyebaran Covid-19 di tanah air.
Dengan dukungan 100 mitra penjahit, Rina yang sebelumnya lebih fokus pada produk mukena, mengaku siap memproduksi masker kain ber-SNI berskala besar baik untuk kebutuhan masyarakat umum maupun instansi dan lembaga.
“Kemarin-kemarin kami masih memproduksi masker kain biasa. Tetapi setelah dapat sertifikat SNI, kami akan memproduksi masker kain sesuai standar SNI,” kata Rina.
Baik Irma maupun Rina yakin bahwa masker kain akan terus dibutuhkan oleh masyarakat untuk memenuhi kebutuhan harian guna mencegah penularan Covid-19. Terlebih sebentar lagi pemerintah akan membuka kembali pembelajaran tatap muka. Tercatat 68 juta siswa akan kembali ke sekolah dan mereka tentu membutuhkan perlindungan yang lebih personal melalui penggunaan masker kain yang memenuhi standar kesehatan.
Masker akan menjadi bagian dari gaya hidup normal baru yang perlu dirintis dan dibentuk sejak awal. Tanpa upaya nyata perubahan di setiap sendi kehidupan untuk hijrah menuju normal baru, pandemi Covid-19 dan semua dampaknya akan sulit diatasi sekeras apapun itu usahanya. “Mari cegah penularan Covid-19 dengan masker kain ber-SNI,” tandas Irma.
SNI Masker Kain Bersifat Sukarela
Deputi Bidang Penerapan Standar dan Penilaian Kesesuaian BSN, Zakiyah mengatakan UMKM Baby fynnsass dan Tatuis merupakan dua dari 4 produsen masker kain yang telah mengantongi SNI. Keberhasilan mereka mendapatkan sertiifikat SNI patut diapresiasi mengingat upaya penerapan standar sampai mendapatkan sertifikat harus melalui proses yang tidak mudah, melalui tahapan pemahaman dan kesadaran, kebijakan pimpinan yang kuat, komitmen seluruh personel dari semua level, penyiapan sistem dan prosedur yang relevan sesuai dengan kebutuhan, serta implementasi standar yang konsisten.
“Apalagi sertifikat SNI untuk masker kain ini masih bersifat sukarela. Tentu dibutuhkan kesadaran dari pelaku usaha untuk mengurus SNI,” jelas Zakiyah.
Bagi Zakiyah, sertifikasi SNI untuk masker kain tak sekadar memberikan jaminan keamanan bagi pemakainya, tetapi sekaligus dapat meningkatkan daya saing, nilai tambah produk, serta memperluas pasar. Karena itu, Zakiyah berharap, capaian Baby fynnsass dan Tatuis memperoleh SNI, dapat memberikan teladan dan menjadi inspirasi bagi pelaku usaha masker kain yang lain untuk menerapkan SNI 8914:2020.
Sementara itu Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki pada Talkshow daring bertema ‘Sukses Bisnis UMKM Melalui Penerapan SNI’ yang digelar pada Rabu (16/12/2021) mengemukakan urgensi dari SNI bagi kalangan pelaku UMKM adalah untuk peningkatan daya saing UMKM di tingkat nasional dan global.
“Dalam situasi pandemi seperti sekarang ini, SNI masker kain juga diharapkan dapat mendongkrak omset industri masker kain terutama UMKM,” katanya.
Meski begitu, Teten mengakui masih terdapat beberapa tantangan dalam penerapan SNI, khususnya bagi UMKM. Di antaranya, kualitas produk yang belum konsisten, pembiayaan terkait dengan biaya pendaftaran, uji laboratorium, biaya tarif pengujian, dan persyaratan sertifikat oleh negara lain.
Senada juga dikemukakan Kepala Sub Bidang Fasilitasi Pelaku Usaha BSN, Nur Hidayati. Menurutnya salah satu tantangan dalam mengajak industri kecil untuk menerapkan SNI adalah biaya yang mahal. Biaya tersebut dibutuhkan baik untuk untuk pengajuan sertifikasi maupun pengadaan alat infrastruktur produksi agar sesuai standar yang diberlakukan.
“Namun, sebenarnya dengan produk yang telah memiliki SNI efisiensi pada masa depan juga akan terjaga dan terjamin. Bahkan, jika produk wajib SNI dan belum terbukti memiliki sertifikat maka biaya denda akan lebih mahal dibanding pengajuan,” katanya.
Oleh karena itu, masyarakat dituntut untuk semakin cerdas mengolah informasi yang didapatkan sehingga tidak terjebak untuk percaya pada kabar bohong terkait produk yang digunakan. “Pastikan semuanya memiliki logo SNI, karena SNI adalah satu hal yang amat penting untuk jaminan mendapatkan produk terbaik di masa pandemi,” tutup Nur Hidayati.
SNI masker kain itu sendiri merupakan 1 dari 70 SNI yang dikembangkan BSN dalam usaha penanganan dan pencegahan penyebaran Covid-19 sepanjang tahun 2020 melalui kerja beberapa Komite Teknis (Komtek) Perumusan SNI, baik yang sekretariatnya berada di BSN maupun di Kementerian/Lembaga. Sebagian besar SNI tersebut dikembangkan berdasarkan keperluan mendesak dengan waktu kurang dari 4 bulan dengan mengadopsi secara identik standar internasional (ISO, EN dan ASTM) dan melalui pengembangan sendiri.
Adapun 70 SNI tersebut terdiri atas 2 SNI respirator, 3 SNI pelindung mata/face shield, 10 SNI sarung tangan medis dan pelindung, 17 SNI pakaian pelindung, 2 SNI masker medis dan kain, 13 SNI ventilator, 14 SNI disinfektan dan antiseptic (hand sanitizer), 1 SNI panduan umum, 1 SNI manajemen laboratorium, 7 SNI Biological Safety Cabinet (BSC) dan bioteknologi, dan 1 pedoman. (m kurniawati)