JAKARTA, MENARA62.COM – Pandemi Covid-19 yang berimbas pada keterpurukan ekonomi masyarakat, dapat memicu peningkatan kasus stunting di Indonesia. Karena itu, Ketua Umum Kongres Wanita Indonesia (Kowani) Dr. Ir. Giwo Rubianto .mengajak seluruh pihak untuk berama-sama melakukan berbagai upaya guna mencegah stunting.
“Tidak hanya pemerintah, masyarakat termasuk pihak swasta harus bersama-sama berupaya melakukan pencegahan stunting terutama pada anak,” kata Giwo dalam Webinar Hari Keluarga Nasional ke-28 bertema ‘Ayo Cegah Stunting, Bukan Diobati, Menuju Indonesia Maju’ yang digelar kerjasama Kowani dengan BKKBN, Kamis (24/6/2021).
Webinar menghadirkan pembicara Kepala BKKBN Dr Hasto Wardoyo, Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat UI Prof dr Endang L Achadi dan selebritis Ayu Dyah Pasha.
Stunting adalah adalah masalah kurang gizi kronis yang disebabkan oleh kurangnya asupan gizi dalam waktu yang cukup lama, sehingga mengakibatkan gangguan pertumbuhan pada anak yakni tinggi badan anak lebih rendah atau pendek (kerdil) dari standar usianya. Selain bertubuh lebih pendek, pada anak stunting juga ditemukan gangguan seperti proporsi tubuh cenderung normal tetapi anak tampak lebih muda/kecil untuk usianya serta berat badan rendah untuk anak seusianya dan pertumbuhan tulang tertunda.
Saat ini lanjut Giwo, Indonesia menempati urutan ke-4 dunia dan urutan ke-2 Asia Tenggara dengan kasus stunting tertinggi. Situasi tersebut dapat semakin buruk jika upaya-upaya pencegahan stunting tidak dilakukan lebih massif di tengah pandemi Covid-19.
Indonesia lanjut Giwo sebenarnya dalam beberapa tahun sebelum pandemi sudah mampu menurunkan angka stunting. Data survey kesehatan dasar (Riskesdas) 2019 menyebutkan terdapat penurunan angka stunting menjadi 27,6 persen dibanding tahun 2013 yang mencapai 30,8 persen. Tetapi angka tersebut masih jauh dari standar toleransi yang ditetapkan oleh organisasi kesehatan dunia (WHO) yakni dibawah 20 persen.
Menurut Giwo, untuk mencegah stunting, perlu melibatkan semua pihak. Advokasi dan edukasi serta pemberian pengetahuan yang esensial tentang gizi juga kesehatan perlu terus dilakukan dengan target yang kelompok yang lebih luas. Terutama kepada kaum remaja yang akan menjadi calon ibu.
“Perluasan wawasan dan best practice yang dapat diimplementasikan dalam keseharian perlu terus digaungkan sehingga masyarakat dapat perperan aktif mencegah stunting,” tambah Giwo.
Ia mengingatkan bahwa stunting bukan persoalan sederhana mengenai anak dengan tumbuh pendek. Stunting adalah masalah serius yang dapat mempengaruhi mutu dan kualitas sumber daya manusia (SDM) sebagai pelaku utama pembangunan bangsa. Sebab stunting dapat mempengaruhi tingkat kecerdasan anak, kualitas kesehatan anak di masa dewasanya dan kemampuan bersosialisasi dengan lingkungannya.
Menurut Giwo, pencegahan stunting sangat efektif jika dilakukan mulai dari keluarga. Karena itu sebagai organisasi yang memiliki anggota lebih dari 87 juta jiwa dan menyebar hingga akar rumput, Kowani berkomitmen membantu pemerintah untuk melakukan berbagai upaya guna mencegah stunting.
“Keluarga adalah kelompok terkecil yang efektif untuk mencegah stunting ini. pada keluarga terdapat anak, ayah ibu, juga kakek nenek yang semuanya memiliki peranan yang sama,” tegas Giwo.
Sementara itu Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat UI Prof dr Endang L Achadi dalam paparannya mengingatkan untuk mencegah stunting, 1000 hari pertama kehidupan (HPK) harus mendapatkan perhatian serius. Masa tersebut adalah 9 bulan atau 270 hari dalam kandungan ditambah 2 tahun atau 730 hari pertama kehidupannya.
“Karena itu kita harus bisa memastikan bahwa periode 1000 HPK harus bisa dilalui dengan baik,” kata Prof Endang.
Karena jika periode ini tidak dilalui dengan baik, maka akan memberikan dampak yang bersifat permanen yaitu rendahnya kecerdasan (kemampuan kognitif), meningkatnya risiko penyakit tidak menular dan tumbuh pendek pada usia dewasa.
Menurut Prof Endang, pengaruh genetika dalam kasus stunting tidak besar hanya kurang dari 25 persen. Justeru yang paling banyak berpengaruh adalah lingkungan, yang terdiri atas asupan makanan dan penyakit infeksi. Dan kasus-kasus ini sebagian besar berawal pada periode 1000 HPK.
Selain 1000 HPK, untuk mencegah stunting juga perlu memperhatikan status kesehatan dan gizi ibu hamil, dimulai sejak sebelum kehamilan. Perbaikan status kesehatan dan gizi ibu hamil dan pra hamil merupakan program strategis dalam meningkatkan kualitas SDM bangsa 3 generasi ke depan.
Diakui Prof Endang, pandemi meningkatkan tantangan tambahan yang cukup besar yang membutuhkan perhatian semua pihak untuk bersama-sama mencegah stunting ini.
Senada juga disampaikan Kepala BKKBN Dr Hasto Wardoyo. Diakui pandemi Covid-19 dapat memperburuk prevalensi stunting di Indonesia. Data dari Survei Status Gizi Balita pada 2019 menunjukkan angka 27,6 persen dan diperkirakan naik hingga 32,5 persen pada 2021.
Hasto menyebut, berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar tahun 2018 terdapat 11,7 persen angka bayi dengan berat badan lahir kurang, 22 persen bayi lahir dengan panjang kurang dari 48 cm dan 29,5 persen bayi lahir prematur kurang dari 37 minggu kehamilan. Kondisi bayi lahir dengan berat badan kurang dan prematur tersebut dapat menjadi pemicu munculnya stunting.
Pemerintah dalam hal ini BKKBN diakui Hasto sudah melakukan berbagai program guna mencegah stunting tersebut. Diantaranya meminta agar pengantin menunda melahirkan sebelum kondisi gizi calon ibu baik, menjaga jarak aman melahirkan dan berbagai program lainnya. “Kami perlu masukan dari berbagai pihak untuk mengatasi masalah ini termasuk dari ahli gizi, apa saja gizi yang penting bagi ibu hamil,” tegasnya.
Sebelumnya, Ketua Yayasan Kesejahteraan Anak dan Remaja Kowani Yulia Himawati dalam sambutannya mengatakan memahami dan mengetahi faktor-faktor yang dapat memicu munculnya stunting penting untuk diketahui oleh remaja, calon ibu dan anggota keluarga lainnya. Dengan memahami masalah stunting, faktor risiko dan cara pencegahannya, diharapkan prevalensi stunting di Indonesia dapat diturunkan lebih rendah lagi.