Jakarta, Menara62.com – Indonesia memiliki peran yang aktif dan konstruktif dalam menangani isu-isu global termasuk masalah yang terjadi di Afghanistan. Ini mengingat Indonesia merupakan negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia yang berwibawa, netral dan tidak memiliki kepentingan langsung politik dan ekonomi di Afghanistan.
Hal itu dijelaskan secara konkret dalam ‘Islam Wasathiyah: Solusi Indonesia untuk Perdamaian Afghanistan’ yang ditulis oleh Amirsyah Tambunan yang menjabat sebagai sekretaris jenderal Majelis Ulama Indonesia (MUI) saat ini dan M Ghozali Moenawar.
Asap mengepul dari bangunan akibat dampak dari pertempuran militan taliban dengan pasukan keamanan Afghanistan di Kota Kunduz, Afghanistan Utara.
Cara yang dilakukan yaitu melalui program pendalaman agama Islam di Indonesia bagi masyarakat Afghanistan. Lembaga pendidikan punya peran yang sangat tepat bagi para pemudaAfghanistan untuk mempelajari Islam wasathiyahyang moderat, toleran dan inklusif sehingga tercipta toleransi baik antarumat Islam maupun antara umat Islam dengan pemeluk agama lainnya di Indonesia.
Untuk itu, pesantren ditunjuk sebagai penyelenggara karena merupakan lembaga pendidikan Islam yang indigenous Indonesia yang selama berabad-abad telah berkontribusi dalam pengembangan dakwah dan pendidikan di Indonesia.
Peran lembaga pendidikan selama ini dipandang baru sebatas merubah tataran kognitif. Perubahan kognitif ini belum diikuti kecerdasan lain untuk mengimbanginya seperti kecerdasan emosi dan kecerdasan relijius. Karena itu, upaya pendalaman agama sebagai solusi untuk tercapainya hidup damai lazim dilakukan di tengah situasi konflik yang melanda.
Amirsyah dan Ghozali, mengutip pandangan Ahmad Nurcholish, menyampaikan bahwa kurikulum pendidikan untuk perdamaian meliputi subjek seperti toleransi, tema-tema tentang perbedaan ethno-kultural dan agama, bahaya diskriminasi, penyelesaian konflik dan mediasi, Hak Asasi Manusia, demokrasi, pemahaman atas kemajemukan, kemanusiaan universal, dan subjek-subjek lain yang relevan dengan kebutuhan peserta didik.
Salah satu cara agar kurikulum tersebut dapat berjalan efektif, terutama dalam hal pendidikan perdamaian, harus bisa menunjang proses belajar peserta didik supaya menjadi manusia yang demokratis dan pluralis. Dengan demikian, peserta didik bisa menerima dan mau mengembangkan semangat hidup bersama dalam kemajemukan yang dilandasi oleh kesadaran diri.
Menurut Amirsyah, peran MUI bersama pemerintah Indonesia dalam mewujudkan perdamaian telah dilakukan dengan jelas dan langkah-langkah yang konkret. Peran tersebut ialah melalui pendidikan berupa pemberian beasiswa dan pelatihan singkat kepada 80 pelajar asal Afganistan untuk mendalami ilmu agama Islam di pesantren Indonesia.
“Ini merupakan bahan belajar bagi pelajar Afghanistan selama empat bulan di Pesantren Daarul Ulum di Lido, Bogor, Pesantren Tazakka di Batang, dan Darul Amanah Kendal, Jawa Tengah,” kata dia.
Materi yang diberikan fokus pada pendalaman praktik ajaran Islam di Indonesia yang masyarakatnya beragam dalam agama, suku, budaya dan ras. Melalui program tersebut, para pelajar dari Afghanistan ditekankan agar bisa mengikuti pelajaran dari nilai-nilai perdamaian dalam kearifan lokal di Indonesia. “Para peserta dapat melihat dari dekat secara langsung bagaimana pemahamanan keagamanan yang diajarkan di Indonesia,” tuturnya.