JAKARTA, MENARA62.COM– Perkawinan satu kantor kini tengah mendapat sorotan publik setelah delapan karyawan swasta mengajukan permohonan kepada Mahkamah Konstitusi. Para pemohon yang terdiri atas Jhoni Boetja, Edy Supriyanto Saputro, Airtas Asnawi, Syaiful, Amidi Susanto, Taufan, Muhammad Yunus, dan Yekti Kurniasih tersebut, mempermasalahkan Pasal 153 Ayat 1 huruf f UU Ketenagakerjaan yang mengatur soal larangan pengusaha melakukan pemutusan hubungan kerja dengan alasan tertentu.
Dalam UU Ketenagakerjaan,ada pasal yang dianggap janggal oleh para penggugat. Yakni pasal 153 Ayat 1 huruf f UU Ketenagakerjaan. Dalam pasal tersebut, jika dibaca secara keseluruhan, perkawinan bisa menjadi hal yang terlarang.
Pasal itu berbunyi:
Pengusaha dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja dengan alasan pekerja/buruh mempunyai pertalian darah dan/atau ikatan perkawinan dengan pekerja/buruh lainnya di dalam satu perusahaan, kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahan, atau perjanjian kerja bersama.
Dalam huruf f diatur “Pengusaha dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja dengan alasan pekerja/buruh mempunyai pertalian darah dan/atau ikatan perkawinan dengan pekerja/buruh lainnya di dalam satu perusahaan, kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahan, atau perjanjian kerja bersama.”
Frasa “kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahan, atau perjanjian kerja bersama” menurut para penggugat menjadi celah bagi perusahaan untuk melarang pegawainya menikah dengan kawan sekantornya.
Pasal itu sendiri saat ini telah memakan banyak ‘korban’. Mereka yang jatuh cinta lalu menemukan jodohnya dalam satu kantor yang sama, telah dipaksa oleh perusahaan untuk keluar salah satunya.
Juru bicara MK, Fajar Laksono seperti dikutip dari Kompas.com menjelaskan, pemohon dalam permohonannya merasa keberatan dengan adanya aturan tersebut. Karena aturan tersebut dinilai bertentangan dengan Pasal 27 Ayat 2, Pasal 28 Ayat 1, Pasal 28C Ayat 1, Pasal 28D Ayat 2 UUD 1945.
Oleh karena itu, pemohon meminta MK agar frasa “kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahan, atau perjanjian kerja bersama” dihapuskan.
“Pemohon ingin agar pengusaha dilarang mem-PHK karena pekerja atau buruh punya pertalian darah atau ikatan perkawinan dengan pekerja atau buruh lainnya dalam satu perusahaan,” kata Fajar.
Gugatan pemohon tersebut diakui Fajar telah teregistrasi di MK dengan nomor perkara 13/PUU-XV/2017.
Dikutip dari website MK, para Pemohon menjelaskan alasannya mengajukan gugatan tersebut ke MK. Mewakili Pemohon, Jhoni mengatakan, menikah adalah melaksanakan perintah agama.
“Jodoh dalam perkawinan tidak bisa ditentang disebabkan ikatan perkawinan antara seorang pria dan seorang wanita yang memiliki rasa saling mencintai sulit untuk ditolak,” kata Jhoni.
Sidang pleno atas gugatan tersebut baru berlangsung sekali dengan agenda mendengarkan jawaban pemerintah dan pihak terkait yaitu Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo). Rencananya, sidang akan digelar lagi pada awal Juni 2017 dengan mendengarkan pihak terkait lainnya.
Menanggapi gugatan larangan perkawinan satu kantor, Majelis Ulama Indonesia pun angkat bicara. Dalam keterangan tertulisnya, Zainut Tauhid Sa’adi, Wakil Ketua Umum MUI mengatakan bahwa ketentuan yang diatur dalam Pasal 153 ayat 1 huruf f UU Ketenagakerjaan ini merupakan pasal karet yang semangatnya tidak memberikan perlindungan kepada pekerja/buruh tapi lebih berpihak kepada pemilik perusahaan.
Karena di dalam pengaturan pasal tersebut seolah-olah memberikan perlindungan terhadap pekerja/buruh yang memiliki pertalian darah dan/atau ikatan perkawinan dengan pekerja/buruh lainnya di dalam satu perusahaan.
“Tetapi semua itu dimentahkan kembali dengan adanya ketentuan pengecualian melalui perjanjian kerja atau kontrak kerja yang dituangkan dalam peraturan perusahaan, maka ketentuan dalam pasal 153 tersebut di atas menjadi batal,” jelasnya.
Jadi perjanjian kerja atau kontrak kerja lah yang pada akhirnya menentukan boleh atau tidaknya seorang pekerja/buruh yang memiliki ikatan pernikahan dengan teman sekantornya itu bekerja dalam satu tempat pekerjaan.
Ia menjelaskan kalau dari segi agama tidak ada larangan menikah dengan teman sekantor sepanjang syarat dan rukun pernikahannya terpenuhi dan keduanya tidak ada hubungan nasab yang mengharamkan atau melarangnya.
Sebenarnya kalau mau diteliti lebih jauh pengaturan dalam UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan khusus Pasal 153 ayat 1 huruf f itu sebenarnya bukan mengatur larangan pada aspek pernikahannya tetapi lebih pada hubungan kerjanya.
“Jadi mohon kepada masyarakat untuk bisa mendudukkan permasalahan biar tidak ada kesalahpahaman,” lanjut Zainut.
Meskipun demikian MUI menilai bahwa UU ini berpotensi untuk digugat di Mahkamah Konstitusi karena diduga bertentangan dengan Konstitusi yaitu terkait dengan Pasal 27 dan Pasal 28 UUD NRI Tahun 1945 yaitu hak untuk mendapatkan pekerjaan yang layak bagi kemanusiaan dan hak untuk melangsungkan pernikahan.
Untuk hal tersebut MUI mempersilakan kepada kelompok masyarakat untuk mengajukan uji materi (Judicial Review) ke MK sebagai wujud kepeduliannya terhadap nasib para pekerja/buruh dan sekaligus sebagai bentuk kesadarannya terhadap hukum.