29.4 C
Jakarta

Menteri Terlibat Bisnis Tes PCR, Partai Ummat Desak Jokowi Pertimbangkan Mundur

Baca Juga:

 

JAKARTA, MENARA62.COM – Partai Ummat mengecam pejabat yang disebut terlibat dalam bisnis tes PCR di masa pandemi karena telah melanggar etika, kepatutan, dan keadaban publik yang seharusnya dijunjung tinggi dalam sebuah negara demokrasi modern yang beradab.

“Kapitalisasi bencana di masa pandemi sungguh tak bisa diterima oleh akal sehat dan adab kita sebagai sebuah bangsa. Pertama, karena ini mengandung unsur kezaliman di dalamnya. Kedua, lebih-lebih bila dilakukan oleh pejabat publik, jelas ini berlipat kali dosanya,“ Ketua Umum Partai Ummat Ridho Rahmadi menegaskan.

Ridho mengatakan terdapat konflik kepentingan yang besar bila para pejabat publik ikut berbisnis tes PCR karena mereka adalah pembuat regulasi sekaligus. Itu sebabnya, tambah Ridho, kecurigaan publik bahwa peraturan yang dibuat tujuannya untuk mengeruk keuntungan bagi perusahaan mereka menjadi masuk akal dan mendapatkan pembenaran.

Dua menteri dalam kabinet Jokowi dan beberapa tokoh yang dekat dengan kekuasaan disebut media terlibat dalam bisnis tes PCR melalui perusahaan yang mereka dirikan baik secara langsung ataupun tidak.

Di antaranya adalah Menkomarves Luhut Pandjaitan, Menteri BUMN Erick Thohir, mantan Menperindag Enggartiasto Lukita, Ketua Kadin Arsjad Rasjid, dan sejumlah nama lainnya yang dicurigai publik bagian dari oligarki yang selama ini mendapatkan keistimewaan dari penguasa.

“Meskipun kewajiban tes PCR untuk naik pesawat di Pulau Jawa dan Bali telah dihapus dan digantikan dengan tes antigen sejak Senin, 1 November 2021, tapi ini tidak menghilangkan pelanggaran sangat serius oleh pejabat publik yang menyalahgunakan kekuasaannya tersebut,” kata Ridho.

Indikasi konflik kepentingan dan penyalahgunaan kekuasaan yang potensial dilakukan oleh kedua menteri, lanjut Ridho, adalah dengan munculnya kebijakan mengenai penanganan pandemi, khususnya tes PCR, yang terus berubah, inkonsisten, dan dibuat asal-asalan.

“Penentuan harga tes PCR terus berubah yang semula sangat mahal, tetapi karena besarnya kritik publik lalu harga diturunkan. Dan sekarang kita dikejutkan lagi ternyata tes PCR naik pesawat di Pulau Jawa dan Bali tidak diwajibkan, cukup pakai tes antigen. Kebijakan ini sangat berbau kepentingan oligarki,“ kata Ridho.

Partai Ummat menemukan harga tes PCR sebelumnya sangat besar, mulai dari harga tidak resmi mencapai Rp 2.000.000,00.

Pada 5 Oktober 2020 Surat Edaran Direktorat Jenderal Pelayanan Kesehatan Nomor HK.02.02/I/3713/2020 mematok harga tes PCR sebesar Rp 900.000,00.

Pada 16 Agustus 2021 harga turun menjadi Rp 495.000,00 (Pulau Jawa dan Bali) dan Rp 525.000,00 (luar Pulau Jawa dan Bali) yang tertuang dalam Surat Edaran Direktorat Jenderal Pelayanan Kesehatan Nomor HK.02.02/1/2845/2021.

Terakhir, pada 27 Oktober 2021 harga kembali turun menjadi Rp 275.000,00 (Pulau Jawa dan Bali) dan Rp 300.000,00 (luar Pulau Jawa dan Bali) yang termuat dalam Surat Edaran Direktorat Jenderal Pelayanan Kesehatan Nomor HK.02.02/1/3843/2021.

Dengan biaya tes PCR sebesar Rp 1.500.000,00 pada awal pandemi, keuntungan diperkirakan bisa mencapai Rp 900.000,00 per tes. Sekarang setelah diturunkan menjadi Rp 275.000,00 untuk Pulau Jawa dan Bali, perkiraan keuntungan mencapi Rp 60.000,00 per tes.

“Bisnis tes PCR ini bisnis yang keuntungannya sangat fantastis. Indonesia Corruption Watch (ICW) memperkirakan keuntungan penyedia jasa tes PCR sejak Oktober 2020 hingga Agustus 2021 mencapai Rp 10,46 triliun,“ Ridho menjelaskan.

Data sekunder yang didapatkan Partai Ummat menyebutkan bahwa nilai pasar tes Covid-19 selama pandemi telah mencapai 15 triliun rupiah, dan angka ini diperkirakan akan terus naik bila keputusan wajib tes PCR diberlakukan di Pulau Jawa dan Bali.

Impor alat tes PCR menurut data Direktorat Bea dan Cukai Kementerian Keuangan (Kemenkeu) hingga 23 Oktober 2021 mencapai Rp 2,27 triliun. Nilai ini hampir empat kali jumlah impor pada bulan Juni yang mencapai Rp 523 miliar.

“Bila kita lihat lonjakan jumlah impor alat tes PCR ini yang hampir mencapai empat kali dari bulan Juni ke Oktober, kita bisa berspekulasi bahwa para importir ini sudah tahu pemerintah akan mewajibkan tes PCR. Seolah ada main mata antara pemerintah dengan importir. Tetapi Alhamdulillah, setelah mendapatkan tekanan publik akhirnya keputusan wajib tes PCR yang tidak masuk akal ini dibatalkan,” kata Ridho.

Data BPS menyebutkan bahwa impor terbesar alat tes PCR selama kurun waktu Januari-Agustus 2021 berasal dari Cina dan Korea Selatan, masing-masing senilai 174 juta dolar AS dan 181 juta dolar AS, lalu disusul oleh AS sebesar 45 juta dolar AS, dan Jerman 33 juta dolar AS.

Di dalam negeri, perusahaan-perusahaan importir adalah pihak yang paling diuntungkan atas impor alat tes PCR karena menguasai 88,16 persen dari keseluruhan impor, lalu disusul oleh LSM sejumlah 6,04 persen, dan pemerintah sejumlah 5,81 persen.

“Dari angka ini kita bisa simpulkan bahwa pemerintah bukanlah pemain utama dalam kebijakan impor alat tes PCR. Pemerintah memberikan kepada swasta untuk menjadi pemain utama. Bagaimana mungkin urusan yang menyangkut hajat hidup orang banyak diberikan ke swasta?” tanya Ridho.

Itulah sebabnya, kata Ridho, berdasarkan fakta-fakta ini Partai Ummat sejalan dengan kecurigaan banyak pihak bahwa keputusan rezim Jokowi untuk mewajibkan tes PCR lebih banyak unsur bisnisnya daripada unsur kesehatan dan kemaslahatan publiknya.

“Partai Ummat mengapresiasi apa yang telah dilakukan oleh sahabat-sahabat dari kalangan LSM, khususnya Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), yang telah mengawal kebijakan yang sangat tidak masuk akal dan merugikan konsumen ini,” kata Ridho.

Kecurigaan YLKI bahwa kebijakan mewajibkan tes PCR diambil untuk menghabiskan stok alat tes PCR menjadi sangat masuk akal, kata Ridho. “Di mana letak urgensisnya? Kan sekarang kurva kasus Covid-19 sedang melandai.“

Puncak Gunung Es

Ridho Rahmadi mengatakan potensi konflik kepentingan dan penyalahgunaan kekuasaan dalam kebijakan tes PCR yang merugikan publik ini hanyalah puncak dari gunung es yang sudah berlangsung tujuh tahun selama rezim Jokowi berkuasa.

“Kita harus bisa menangkap gambar besarnya, yaitu keadaan politik dan demokrasi kita selama tujuh tahun ini mengalami kemunduran yang besar. Kasus alat tes PCR ini hanya satu saja dari banyaknya kasus sebagai bukti salah kelola dan kemunduran demokrasi kita,“ jelas Ridho.

Yang lebih mengkhawatirkan, kata Ridho, adalah kemunduran demokrasi ini ditandai dengan terancamnya pemilu yang jujur dan adil, intensifnya pemberangusan kebebasan berkumpul dan berpendapat, pembunuhan KPK untuk melindungi korupsi oligarki, dan meningkatnya jabatan sipil yang dipegang oleh Polri dan TNI.

Ridho mengutip hasil temuan kajian sejumlah peneliti dan lembaga baik dari dalam maupun luar negeri yang menyebutkan bahwa Indonesia mengalami kemunduran demokrasi akibat salah kelola dan ketidakmampuan Presiden Jokowi dalam mengurus negara.

Laporan The Economist Intelligence Unit (EIU) menunjukkan skor indeks demokrasi Indonesia menurun di era pemerintahan Presiden Jokowi. Skor indeks demokrasi Indonesia mencapai 6,3 pada 2020, terendah dalam satu dekade terakhir.

Di Asia Tenggara, kata Ridho, Indonesia menempati peringkat keempat di bawah Malaysia, Timor Leste, dan Filipina. “Ini jelas memalukan. Masa negara kita kalah oleh Timor Leste yang pernah menjadi provinsi ke-27 Indonesia?”

Malaysia tercatat memiliki skor indeks demokrasi sebesar 7,19 pada 2020, menjadi yang tertinggi di kawasan. Setelahnya ada Timor Leste dengan skor indeks demokrasi sebesar 7,06. Posisinya disusul oleh Filipina dengan skor indeks demokrasi mencapai 6,56.

Laporan Indeks Demokrasi Indonesia memperlihatkan turunnya skor indeks kebebasan berpendapat yang semula 66,17 di tahun 2018 menjadi 64,29 di tahun 2019.

EIU menggarisbawahi menurunnya kebebasan berkumpul dan berpendapat sebagai pangkal utama dari penurunan kualitas demokrasi Indonesia. Rezim Jokowi memberlakukan pendekatan represif kepada kelompok yang berbeda pandangan politik.

Ridho Rahmadi menyebut sejumlah contoh mencolok bagaimana Jokowi menggunakan tangan besi dalam memberangus perbedaan politik.

“Di antaranya adalah pembubaran HTI tanpa putusan pengadilan, pembubaran FPI tanpa proses pengadilan, dihentikannya penayangan ILC di TV One, kriminalisasi aktivis Muslim dan ulama, penangkapan dan pemenjaraan aktivis KAMI, dan yang paling brutal, pembunuhan enam laskar FPI secara biadab di Kilometer 50,” kata Ridho.

Tidak cuma itu, kata Ridho, pemberangusan kebebasan bicara juga sudah masuk kampus dengan meluasnya intimidasi terhadap para mahasiswa yang berani memberikan kritik dan melakukan demonstrasi.

“Partai Ummat sangat prihatin dengan kemunduran ini. Sejumlah mahasiswa bahkan kena skorsing di kampusnya,“ kata Ridho. Dia menambahkan keadaan ini tidak terjadi pada pemerintahan sebelumnya.

Rezim Jokowi melakukan pembungkaman kebebasan berkumpul dan berpendapat, kata Ridho, tujuannya agar kekuasaan dapat dijalankan tanpa pengawalan.

“Dalam kondisi ini terjadi kolaborasi antara para oligark politik dan oligark ekonomi tanpa perlawanan sama sekali sehingga mereka leluasa dapat merumuskan berbagai kebijakan ekonomi yang pro korporasi dan kebijakan politik yang pro status quo,” demikian Ridho Rahmadi.

Sekarang, kata Ridho, jalan menuju negara otoriter sedang dipersiapkan rezim Jokowi setelah berhasil mengkooptasi, mengangkangi dan melumpuhkan semua lembaga yang seharusnya berfungsi sebagai checks and balances.

“Kita lihat sekarang bangsa ini menuju kehancuran. DPR, media, sebagian besar LSM hampir semuanya mendukung rezim. Mereka yang takut terpaksa tiarap. Mereka yang masih berani melakukan kritik akan diberi label kadrun, radikal, anti NKRI, anti Pancasila, dan sejenisnya,“ pungkas Ridho.

Opsi Mundur Jokowi

“Berdasarkan fakta-fakta di atas, dan dalam rangka melawan kezaliman dan menegakkan keadilan, Partai Ummat mendesak agar Presiden Jokowi berpikir keras dan bersungguh-sungguh untuk memikirkan opsi mengundurkan diri karena telah gagal mengurus kepentingan publik yang vital di masa pandemi,“ kata Ridho.

Ridho menambahkan memberhentikan kedua menteri ini saja tidak cukup. Lanjutnya, kedua menteri yang berada di bawah pengawasan dan koordinasi langsung dengan Presiden Jokowi telah melanggar kepatutan dan sumpah sebagai pejabat publik yang seharusnya mengutamakan kepentingan rakyat.

Sekali lagi, kata Ridho, sejalan dengan tuntutan para mahasiswa dalam demonstrasi terakhir, Partai Ummat mendesak agar Presiden Jokowi mempertimbangkan opsi pengunduran diri demi penyelamatan bangsa dan negara yang sudah dicengkram oleh kaum oligark.

“Apalagi demokrasi kita sudah semakin terbenam dalam rawa-rawa nihilisme dan anarkisme. Ini adalah pilihan terbaik di tengah salah kelola negara ini,“ pungkas Ridho.(*)

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!