28 C
Jakarta

Honneth, Memoles Gagasan ‘Sang Guru’ Melalui Teori Rekognisi

Baca Juga:

Oleh: Sabena )*

AXEL Honneth merupakan seorang teoretisi kontemporer yang dikenal sebagai tokoh Teori Kritis (Mazhab Frankfurt) generasi ketiga. Lahir di Essen, Jerman Barat pada 19 Juli 1949, Honneth yang kini menjabat sebagai Direktur Lembaga Riset Sosial Frankurt, mengawali studinya di Universitas Bonn dan Bohum. Lalu studi doktoralnya diselesaikan di Universitas Berlin. Tesis Honneth yang sangat terkenal, yakni theory of recognition (teori pengakuan atau politik pengakuan). Tesis inilah yang kemudian menjadi awal perjalanan Honneth bertemu dengan filsuf kenamaan Prof Dr Jurgen Habermes.

Pertemuannya tersebut bermula ketika Honneth melakukan riset bersama Habermes di Max Planck Institute for Social Sciences di Stanberg pada 1982-1983. Kerjasama tersebut berlanjut saat Honneth menjabat sebagai asisten keilmuan Habermas di Universitas Geothe Franfurt kurun 1983 sampai 1989. Lalu ketika Habermas memasuki masa pensiun, Honneth menggantikan kedudukan sang guru sebagai Direktur Lembaga Riset Sosial Frankurt.

Berguru pada Habermas selama lebih dari 8 tahun tidak menjadikan Honneth sungkan untuk mengkritik karya aliran kritis Habermes. Ia justru berhasil membangun pendirian teoritis berdasarkan kritik terhadap gagasan Habermas dengan teorinya yang kemudian dikenal dengan teori Rekognisi. Dalam teori ini, Honneth berusaha mengembangkan lebih jauh teori kritis dan sekaligus mengkaji ulang bagaimana struktur dan lembaga saling terkait.

Honneth dalam hal ini menemukan fakta mengenai gagasan Habermas bahwa perkembangan manusia hanya dapat dicapai melalui proses intersubjektivitas (subjek-subjek). Teori Habernas ini kemudian diperluas oleh Honneth dengan menambahkan peran sentral rekognisi dan penghargaan (respect) dalam proses tersebut. Honneth perpandangan bahwa rasa hormat merupakan inti dari teori Habermas mengenai tindakan komunikatif (communicative action). Sedang distorsi dalam komunikasi merupakan bentuk-bentuk pelecehan (disrespect). Bagi Honneth, rekognisi merupakan prasyarat komunikasi intersubjektif tersebut.

Meski mengkritisi, Honneth melihat bahwa teori komunikasi Habermas sebagai suatu langkah maju karena memberi kita suatu cara menangani, dan menjangkau dunia kehidupan sehari-hari.

Menurutnya, rekognisi merupakan prakondisi bagi aktualisasi diri. Honneth membagikan rekognisi dalam tiga wilayah pengakuan yakni self-confidence, self-respect, self-esteem. Ketiga hal ini merupakan hal pokok yang mesti berkembang baik agar seseorang berkembang dalam masyarakat dan bagi pembentukan identitasnya sebagai individu. Perhatian utama Honneth dalam menggagas teori rekognisi ialah segala macam bentuk penindasan terhadap subjek dalam relasi.

Sebagaimana Heggel, Honneth melihat individu tidak secara atomis, saling terkait, atau tidak berdiri sendiri. Individu selalu berada dalam relasi dialektis dengan lingkungan sosial di mana ia hidup. Bahkan menurut Honneth, lingkungan sosial turut berpengaruh terhadap pembentukan identitas individu. Dengan begitu, setiap individu merasa membutuhkan orang lain dan oleh karena itu juga menghargai orang lain sebagai rekan.

Selain itu, Honneth juga merupakan filsuf yang menekankan unsur moralitas dalam bangunan filasafatnya. Ia menekankan soal penghargaan terhadap manusia baik pada tingkat kognitif, afektif maupun sosial relasional.

)*Sabena (2020630017) adalah Mahasiswa Program Doktoral Universitas Sahid (Usahid)- Jakarta. Tulisan ini dalam rangka menyelesaikan tugas mata kuliah Review Tokoh Kritis dengan dosen pengampu Dr Fahruddin Faiz

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!