28.8 C
Jakarta

Rembulan di Atas Bukit Pajangan (bagian ke- 72)

Baca Juga:

Hujan Deras Sore Itu

Oleh Ashari

Hujan bagai dimuntahkan dari langit sore itu. Sejak kemarin. Hingga menimbulkan puting beliung, karena disertai angin dan kilat yang saling bersahutan. Silih berganti. Baliho roboh. Genteng terbang melayang, pohon tumbang. Aku hanya bisa membaca istighfar banyak-banyaknya. Keinginan segera pulang dari kantor radio terhalang jarak pandang. Meski aku bawa mantol, dipastikan tembus air. Tapi pikiran lari ke rumah, sesekali ke pondok. Bagaimana kondisi Rohman? Apakah sama. Tanpa disuruh aku menoleh ke arah pondok, padahal jarak begitu jauh. Namun dari langit yang memayunginya, aku lihat Bantul, terlebih Pajangan tidak segelap Sleman. Artinya Pajangan hujan tidak deras. Itu pikirku. Itu doa dan pintaku.

Kuasa Allah memang tidak bisa ditandingi. Banyak ayat dalam Al-quran tentang kerusakan alam dunia jika Allah sudah menghendaki. Misalnya yang pernah aku baca QS. Al – Zalzalah (99). Bahkan gambarannya lebih dahsyat lagi. ketika bumi diguncangkan. Semua isi bumi dikeluarkan, karena tidak kuat menahan beban. Maka sesungguhnya hujan sore itu, belum seberapa jika dibandingkan dengan kisah-kisah yang digambarkan dalam Al-quran. Setelah menunggu beberapa saat ternyata hujan sudah mulai reda. Seolah tahu, kalau aku mau pulang. Aku khawatir Fauzan, adik Rohman yang luar biasa itu belum mandi. Padahal adzan Maghrib tinggal menghitung menit.

Aku seakan tidak mau membuang kesempatan. Saat hujan deras berubah menjadi rintik-rintik satu dua, aku segera berkemas.
“Aku pulang dulu, Fi,” aku pamit pulang mendahului kepada teman sekantor Lutfi.
Dia hanya mengangguk. Sambil menoleh. Karena dia juga sibuk dengan dirinya, untuk bisa segera pulang. Rumahnya di bilangan Magelang. Jauh.
Motor tua yang selalu setia menemani kemana saja aku pergi, aku lap. Dari ujung stang hingga ban. Basah kusup. Padahal sudah ada di parkiran. Tampias. Aku pakai mantol sekenanya. Setengah sempurna. Cukup bagian atasan. Bawahan (elana) tidak aku pakai. Pikirku tidak deras dan jarak rumah dari kantor tidak begitu jauh. Hanya selemparan batu gunung.

Namun ternyata sampai rumah, celanaku tetap juga basah. Tidak lebih banyak karena air hujan langsung, namun justru celana basah karena cipratan air hujan dari mobil boks, truk, bus yang lewat. Tepatnya menyalip. Tetapi aku terima dengan ikhlas. Karena marah sekalipun tidak akan menyelesaikan masalah. Satu tidak kenal, dua para sopir itu, tentu sudah pergi jauh, dan tidak akan hirau kepada itu.

Sampai rumah, benar. Fauzan masih duduk manis dekat jendela. Dengan mulut komat kamit. Tidak begitu jelas yang diucapkan. Namun aku sudah sangat hafal dengan sikap dan kebiasaannya. Ibunya sibuk di dapur. Buat ice juss. Bahan dari rumah yang kemarin bahan pokoknya sebagian aku didapat di kebun samping rumah.

Rohman segera aku tuntun ke kamar mandi. Meski sudah lulus SMA namun urusan mandi dan pakaian masih belum bisa mandiri. Masih denganku. Pernah aku coba lepaskan mandi sendiri. Dua kali kerja. Sabun dan shampoo belum dibilas, sudah buru-buru memakai baju. Akibatnya sabun dan shampoo masih melekat dibaju dan badan ( bersambung )

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!