BANDUNG, MENARA62.COM – Nasyi’atul ‘Aisyiyah, organisasi otonom Muhammadiyah yang fokus berdakwah di kalangan perempuan muda, turut berduka atas tragedi Kanjuruhan. Terlebih dengan banyaknya korban dari kalangan ibu-ibu dan anak-anak. Mereka menjadi korban saat menonton langsung di stadion, ada pula yang menjadi korban kerusuhan tanpa tahu penyebabnya. Hal ini disampaikan Dewi Mulyani, Ketua Nasyi’atul ‘Aisyiyah Jawa Barat di kantor PWNA Jawa Barat, Selasa (4/10).
Menurut Dewi, kini banyak pula kaum hawa yang tertarik untuk menonton pertandingan sepakbola langsung ke stadion. Sebagian dari kaum perempuan tersebut merupakan kaum ibu yang membawa anak-anak. Di satu sisi ini keberhasilan promosi sepakbola sebagai olahraga yang diminati banyak kalangan termasuk perempuan pula. Karena selama ini stigma sepakbola sebagai olahraga kaum Adam. Di sisi lain, keselamatan dan kenyamanan menonton belum sepenuhnya dirasakan. Terbukti dengan adanya korban dari kaum perempuan di tragedi Kanjuruhan.
Atas tragedi yang terjadi di Kanjuruhan, menurut Dewi, alangkah baiknya bila stadion menyediakan secara khusus tribun untuk perempuan dengan memiliki jalur gerbang khusus perempuan. Dengan fasilitas yang ramah perempuan dan anak, pertandingan sepakbola akan semakin diminati perempuan. Menurut dosen Universitas Islam Bandung ini, manfaat tribun khusus perempuan ini antara lain, pertama, menghindarkan perempuan dari pelecehan seksual yang kerap terjadi. Kedua, memberikan kenyamanan bagi perempuan terlebih yang membawa anak kecil. Ketiga, bila terjadi kerusuhan petugas bisa melindungi secara cepat.
Bercermin pada bus khusus perempuan, tribun khusus perempuan ini, menurut Dewi, mudah diterapkan. Tinggal kebijakan dari setiap klub untuk mewujudkannya. “Tribun dengan akses pintu khusus perempuan sebagai pertanda kepedulian klub terhadap keamanan dan kenyamanan fansnya,” ujar Dewi Mulyani.
Lebih jauh lagi, tribun khusus perempuan ini bisa diterapkan pula pada cabang olahraga lain. Terlebih pada olahraga yang diminati banyak kalangan, baik laki-laki dan perempuan. “Tujuannya bukan memisahkan, tapi melindungi,” pungkas Dewi Mulyani. (*)