25 C
Jakarta

Dilema Menjadi Guru Kelas Lima

Baca Juga:

Oleh: Nur Laili, S.Pd*)

SUKOHARJO, MENARA62.COMBeing a teacher is a gift, jika banyak yang berpendapat we give knowledge, padahal sebenarnya kami hanya mentransfernya. Muridlah guru yang sebenarnya, karena setiap saat kami belajar how to control them, how to make them understand, atau bagaimana membuat mereka nyaman dengan segala hal yang ada di sekolah, apapun itu, gurunya, temannya, kelasnya, lingkungan sekolahnya atau bahkan mungkin the toilet.

Setiap level kelas memiliki tantangan berbeda, karena karakteristiknya pun berbeda. Kelas satu dan dua mungkin terlihat serumpun, tapi kenyataannya tetap ada hal hal tertentu yang membuat kami harus bisa memberikan treatment yang berbeda.

Demikian juga kelas lima. Level kelas yang menurut saya pribadi is so amazing.
Tumpukan materi yang banyak, sifat individual dan egois yang mulai terbentuk, kecenderungan untuk berkumpul dengan circle yang membuat mereka nyaman, dan mulai timbul rasa suka terhadap lawan jenis.
Anak- anak ini mulai berada di fase ini,
Apakah semua ?
Oh tentu tidak
Just in case … hanya beberapa,
Yang masih imut like a child juga banyak,
Yang masih suka bermain dan berlarian juga banyak,
Hanya saja … trendingnya kok semakin naik ya.

Izin ke kamar mandi atau cuci tangan, untuk curi pandang seseorang.
Beli jajan lalu dimakan bersama-sama dengan circle nya sambil melirik si dia.
Atau selembar surat yang tertinggal di laci dan ditemukan gurunya.

They think we don’t know it
Come on…kesayanganku … we know it
Kami orang tuamu di sekolah, bahkan hanya dari cara kalian memandang dan melirik, kami bisa menerjemahkan itu.

Apakah itu salah ?
Big no… tentu tidak.
Itu alamiah sebenarnya, daripada tidak dengan lawan jenis … malah ngeri kan.

Di sinilah dilema kami, at the same time, kami harus bisa menjadi sahabat mereka.
To be honest.
Guru seharusnya senang saat ada anak yang mau jujur dan bilang, “Bu, aku suka dia.”
Hmm… berarti anak ini nyaman kan dengan gurunya, hingga mau terbuka tentang how they feel.

Di sinilah peran guru sebagai sahabat dibutuhkan.
Jangan patahkan perasaan mereka. Tapi teach them how to control and manage it.
Ajari mereka untuk mengontrol dan mengelola perasaan mereka. In their language lho ya, dalam bahasa mereka.
Bukan bahasa yang terlalu tinggi dan retoris. Tapi bahasa yang sederhana yang mudah mereka pahami.

Dan yang terpenting adalah setiap mereka ingin bercerita, kami harus selalu siap mendengarkan dengan penuh antusias. Karena sekali saja kami patahkan semangat itu, mereka akan merasa kapok tidak mau bercerita, dan yang kami takutkan adalah mereka bercerita di tempat yang kurang tepat. Hmm…bisa scary kan ??

Its a pleasure menjadi guru kelas lima, seperti berpetualang karena selalu menemukan sesuatu hal yang baru dan tentunya banyak hal yang menyenangkan.

*)Wali Kelas 5 C SD Muhammadiyah Palur

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!