Sebagai benteng terakhir pertahanan negara, TNI harus hadir manakala Indonesia berada dalam ancaman. Khususnya jelang Pemilu 2024, ancaman keutuhan bangsa dan negara begitu kentara. Pertikaian antarpendukung capres/cawapres mengarah pada disintegrasi bangsa. Mantan Panglima TNI Jenderal (Purn) Gatot Nurmantyo pernah menggagas politik negara, yakni konsepsi politik yang memang mengutamakan kepentingan negara dibandingkan kepentingan partai atau kelompok. Gagasan ini relevan ketika negara merencanakan revisi UU TNI.
Politik negara adalah nilai patriotisme dan militansi untuk mempertahankan NKRI melalui sistem perpolitikan di tanah air. Oleh sebab itu, rakyat harus bahu membahu untuk merebut kembali kepemimpinan politik yang saat ini dikuasai sekelompok Machiavellian. Sekelompok serigala yang saling terkam untuk mempertahankan kepentingan atas nama partai politik. Tentunya, itu menjadi perjuangan yang lebih berat dibandingkan ketika menghadapi penjajahan Belanda dan Jepang. Sekaligus, itu menjadi suatu kebanggaan akan kebenaran cita-cita, yaitu kemerdekaan, kedaulatan, keadilan, kedamaian dan kesejahteraan yang hakiki.
Menurut Jun Honna dalam bukunya “Military Politics and Democratization”, TNI masih tetap memiliki peran strategis dalam agenda reformasi di Indonesia. Redefinisi peran dan keterlibatan TNI dalam konteks reformasi menuju demokrasi di Indonesia sampai sekarang masih menyisakan banyak persoalan. Pengalaman demokratisasi di Amerika Latin dan Eropa Selatan menunjukkan proses transisi tidak mampu menciptakan konsolidasi politik nasional. Di Indonesia pun demikian, berbagai pertikaian, adu domba, fitnah, labeling menjadi persoalan politik nasional.
Politik niretika di kalangan sipil Indonesia membuat kondisi negara seperti api dalam sekam. Jika tidak diantisipasi sejak dini, dia akan berubah menjadi api dahsyat yang berkobar tidak menyisakan apa-apa kecuali abu dan arang. Oleh sebab itu, politik negara TNI yang pernah digaungkan Gatot Nurmantyo perlu dikaji ulang. Kita membutuhkan pengelolaan dan perencanaan yang sistematis, terencana hingga kajian mendalam agar TNI bisa menyelamatkan Indonesia dari ancaman disintegrasi bangsa.
Politik negara sejatinya tidak lepas dari perjuangan dan pengorbanan rakyat Indonesia. Mempertahankan kehormatan bangsa yang berlangsung begitu lama, telah melahirkan nilai-nilai perjuangan bangsa. Kehormatan ini yang tidak boleh dilupakan dan harus senantiasa melekat dalam perilaku kehidupan berbangsa dan bernegara. TNI Kuat Bersama Rakyat adalah implementasi dari sejarah perjuangan bangsa Indonesia bagaimana kekuatan pertahanan negara ini tidak bisa dikalahkan dengan mudah. Dia harus terus menerus diperjuangkan, tidak boleh dibiarkan hilang dari identitas rakyat Indonesia.
Apakah artinya kita akan kembali di era militer berkuasa? Tentu tidak demikian. Gagasan politik negara Jenderal Nurmantyo sejatinya adalah gagasan ideal yang lahir dari cendekiawan filsafat sosial politik yang masuk ranah sipil. Sebut saja John Locke (1632-1704) seorang tokoh aliran filsafat idealisme yang mengajarkan negara sebagai penjabaran ide yang objektif dalam masyarakat dan mampu menjamin keharmonisan kehidupan bermasyarakat, yang kemudian termanifestasikan dalam bentuk negara. Nilai keharmonisan itu mengacu pada sistem politik yang lahir dari kesepakatan tiap individu yang memang bertujuan untuk membawa masyarakat pada kehidupan yang bermartabat, sejahtera, adil dan melindungi hak-hak individu dalam masyarakat.
Ada pula F.W.J Schelling (1775-1854) yang mengungkapkan nilai kesejahteraan manusia berdasarkan pada identitas Tuhan yang mutlak. Menurutnya, dari Tuhan semua berawal. Kemudian dari-Nya lah muncul alam dalam bentuk yang semakin tinggi derajatnya. Dia melahirkan gerak hidup, susunan dunia dan manusia. Begitu banyak manusia dengan identitas dan ciri berbeda, lalu muncul budi yang di dalamnya ada ilmu, moral seni, sejarah dan akhirnya terbentuk lah apa yang disebut negara.
Dua tokoh filsafat di atas menempatkan idealisme sebagai kebenaran dan keadilan tertinggi. Ini tentunya dibutuhkan untuk melahirkan sebuah negara yang berdasarkan sistem ideal dalam melaksanakan politik. Sebagai instrumen penyelenggaraan negara, politik tidak bisa dilepaskan dari nilai-nilai kebajikan. Ini menjadi spirit politik negara yang disampaikan Jenderal TNI Gatot Nurmantyo. Bukan politik praktis yang menghalalkan segala cara untuk mendapatkan keuntungan pribadi dan kelompoknya, namun merugikan bangsa dan negara.
Politik sejatinya adalah sarana untuk membawa Indonesia menjadi negara yang kuat, sejahtera, makmur dan penuh keadilan. Bisa jadi, politik negara yang digagas Jenderal Nurmantyo membawa Indonesia baru yang lebih membangun masyarakat sipil atau madani (civil society). Masyarakat yang lebih berdaya dan diberdayakan agar bisa mengatur kehidupannya sendiri. Dengan masyarakat madani yang makin kuat, tentu akan membawa konsekuensi peran Pemerintah dalam membangun negara semakin mudah. Politik negara yang santun dan baik akan melahirkan masyarakat madani yang kerap digambarkan sebagai masyarakat yang relijius, bermoral, demokratis, tertib, partisipatif dan modern. Dan, pastinya politik negara ini tidak mendikotomi sipil-militer yang sejatinya hanya jargon yang penuh dengan agenda terselubung.
Politik negara Jenderal Nurmantyo berangkat dari sikap menjunjung tinggi demokrasi dan kedaulatan rakyat. Demokrasi yang tidak berdasarkan pada individualisme konsepsi Rousseau, tetapi berdasarkan suatu semangat persatuan sebagai bangsa. Demokrasi yang berdasarkan kebersamaan (kolektiviteit), bukan demokrasi liberal berdasarkan individualisme ala Barat.
Politik negara berangkat dari demokrasi Pancasila, yang secara substansif merepresentasikan paham sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi, mengakomodasi multietnisitas dan multikulturalisme Indonesia. Itu pula sebabnya demokrasi di Indonesia mengutamakan musyawarah untuk mencapai konsensus. Sejatinya, ini yang hilang saat ini ketika keputusan politik diambil dengan cara koruptif, dan akhirnya merugikan bangsa dan negara.
Di dalam politik negara, terdapat makna esensial yakni demokrasi yang partisipatif dan emansipatif. Perlu ditegaskan bahwa tidak akan terjadi partisipasi rakyat yang genuine tanpa disertai emansipasi. Begitu pula, demokrasi politik saja tidak cukup mewakili rakyat yang berdaulat. Demokrasi politik harus dilengkapi dengan demokrasi ekonomi. Tanpanya, maka akan terjadi konsentrasi kekuatan ekonomi pada satu atau beberapa kelompok, yang kemudian akan membentukkan kekuasan ekonomi yang bisa “membeli” dan “mengatur” kekuasaan politik.
Hal ini dibutuhkan di tengah ketimpangan ekonomi yang semakin nyata, di tengah tuntutan akan semakin perlunya merealisasikan demokratisasi ekonomi untuk menangkal konglomerasi dan konsentrasi kekuasaan ekonomi. Kita tidak rela masyarakat menjadi korban mengganasnya cengkeraman elit politik busuk yang menguasai hajat hidup orang banyak di era globalisasi predatorik saat ini. (*)