30.2 C
Jakarta

Merdeka Belajar Episode Ke-26: Membuka Ruang Talenta Mahasiswa melalui Tugas Akhir Perkuliahan

Baca Juga:

JAKARTA, MENARA62.COM – Merdeka Belajar yang diinisiasi Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Anwar Makarim sejatinya telah memberikan keberanian bagi perguruan tinggi untuk merancang proses dan bentuk pembelajaran sesuai kebutuhan keilmuan dan perkembangan teknologi. Termasuk di antaranya menentukan jalur baru yang bisa ditempuh mahasiswa untuk menyelesaikan studinya di luar jalur skripsi.

Maka ketika Merdeka Belajar episode ke-26 diluncurkan, beberapa perguruan tinggi pun buka suara. Bahwa mereka telah membuka jalur non skripsi jauh sebelum peraturan tersebut diluncurkan. Sebut saja Universitas Budi Luhur (UBL). Kampus yang berlokasi di Jakarta Barat tersebut telah memberlakukan jalur non skripsi sebelum ada kebijakan Merdeka Belajar episode ke-26.

“Kami sebenarnya sudah membuka jalur non skripsi bagi mahasiswa untuk menyelesaikan studinya dalam beberapa semester terakhir ini,” kata Rektor UBL, Dr. Ir. Wendi Usino, MSc, MM, dijumpai pada momen wisuda semester genap di Jakarta Convention Center (JCC) pada Selasa (31/10/2023).

Kebijakan tersebut ditempuh setelah UBL melakukan survei internal terhadap para mahasiswanya pada 2021. Hasil survei tersebut menunjukkan bahwa 80 persen mahasiswa ingin bekerja, 19 persen mahasiswa ingin menjadi entrepreneur dan hanya 1 persen mahasiswa yang ingin menjadi dosen atau peneliti.

“Nah skripsi itu kan arahnya ke penelitian atau jadi dosen. Sehingga kami tidak bisa memaksa semua mahasiswa menempuh jalur skripsi,” katanya.

Pertimbangan lain bahwa tugas akhir yang dibuat oleh mahasiswa, alangkah baiknya dalam bentuk yang relevan dan bermanfaat baik bagi mahasiswa yang bersangkutan maupun masyarakat. Menyusun skripsi yang diberlakukan rata untuk semua mahasiswa dinilainya sudah tidak relevan lagi untuk zaman sekarang.

“Kita harus membuka ruang-ruang baru untuk menampung berbagai talenta mahasiswa dalam pembuatan karya tugas akhir. Ini saya pikir lebih relevan, lebih bermanfaat dan lebih fair,” kata Wendi beralasan.

Beberapa jalur non skripsi yang disediakan UBL untuk mahasiswa antara lain membuat project, melakukan penelitian, membuat karya desain. Atau bagi mahasiswa yang kreatif bisa membuat bisnis startup. “Jadi yang mau kerja harus siap terjun ke lapangan kerja dan yang tepat adalah menggarap project, karya dan program lainnya yang berkaitan dengan penerapan ilmu pengetahuannya di masyarakat maupun di perusahaan. Itu yang kami siapkan untuk membantu mahasiswa lebih mudah masuk dunia kerja,” tegasnya.

Bagi mereka yang ingin menjadi entrepreneur, kata Wendi, maka sejak mahasiswa harus mulai merintis bisnis ini. Jika mahasiswa mendirikan perusahaan selama masa studi, kemudian perusahaan tersebut memiliki customer, ada cashflow maka UBL akan membantu mengurus Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP) dan mendampingi mahasiswa membuat laporannya. “Nah perusahaan rintisan ini bisa jadi alternatif tugas akhir. Tentunya tidak sembarang bisnis, ada kriteria yang harus dipenuhi agar setara dengan membuat skripsi. Intinya harus ada karya, bukan berarti bisa lulus tanpa skripsi tapi tidak ada karya,” jelas Rektor Wendi.

Menurut Wendi, membuka syarat kelulusan non skripsi sejatinya membantu mahasiswa untuk merancang masa depannya lebih baik. Artinya bahwa tugas akhir yang dibuat mahasiswa harus mendukung pilihan pekerjaan yang diminati mahasiswa. “Misalnya tugas akhir berupa startup, kami berharap akan terus berlanjut dan menjadi mata pencaharian lulusan kami. Juga ketika mereka membuat project yang sesuai minat pekerjaan, semoga akan memudahkan mahasiswa memasuki dunia kerja,” tegasnya.

Diluncurkannya kebijakan Merdeka Belajar episode ke-26 bertajuk Transformasi Standar Nasional dan Akreditasi Pendidikan Tinggi diakui Wendi menjadi payung hukum bagi perguruan tinggi untuk memberlakukan kebijakan yang sama dalam hal syarat kelulusan mahasiswa.

Selain UBL, beberapa perguruan tinggi juga telah menerapkan kebijakan non skripsi. Sebut saja Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) yang membebaskan kewajiban skripsi bagi mahasiswanya bernama Athi’ Nur Auliati Rahmah setelah memenangkan Lomba Inovasi Digital Mahasiswa (LIDM) tahun 2021. Mahasiswa Prodi Fisika tersebut diwisuda pada Februari 2022 setelah prestasi nasionalnya tersebut dikonversi oleh UNY dalam bentuk Rekognisi Pembelajaran Lampau (RPL)

“Alhamdulillah saya berhasil meraih medali emas pada Lomba Inovasi Digital Mahasiswa divisi poster digital yang diselenggarakan oleh Pusat Prestasi Nasional (Puspresnas) Kemdikbudristek RI,” kata Athi mengutip website UNY.

Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) juga memberlakukan aturan yang sama.Dalam website resmi UMM, menyebutkan bahwa tiga mahasiswanya yakni Chu Livia Christine Wijaya, Muhammad Ammar Nashshar Yusuf, dan Kiki Rahma Ardiansyah berhasil menyelesaikan studi dan lulus tanpa skripsi pada Agustus 2023 setelah produksi film berjudul “Tidak Mati, Aku Tetap Menjadi Milikku Selalu” yang meraih penghargaan Honorable Mention dalam ajang Student World Impact Film Festival (SWIFF) 2023 di Amerika Serikat.

Lalu Universitas Muhammadiyah Prof DR HAMKA (Uhamka) juga telah meluluskan 6 mahasiswanya tanpa membuat skripsi. Ke-6 mahasiswa yakni Lissa Nur Hasanah, Shafira Eltasari, Annisa Salsabila, Selvi Diah Ratnasari, Apiah Agustiani, dan, Nabila Tri Ambarrani telah melakukan penelitian dan membuat laporannya berupa artikel ilmiah yang diterbitkan pada jurnal internasional bereputasi.

Sekadar Syarat Kelulusan

Sejatinya skripsi telah mendapatkan label sekadar memenuhi syarat kelulusan, seperti diakui oleh sejumlah pimpinan perguruan tinggi. Rektor Universitas Papua, Dr Meky Sagrim, SP, MSi, misalnya mengatakan bahwa banyak mahasiswa yang sebenarnya tidak memiliki kompetensi, passion dan minat untuk menulis, harus terbebani dengan tugas skripsi. “Mahasiswa tidak punya pilihan, karena memang aturannya begitu kalau mau lulus dan dapat gelar sarjana,” ungkapnya di sela kegiatan Grand Launching Program Dana Padanan Kedaireka 2024 di Jakarta, Selasa (17/10/2023).

Rektor Universitas Papua, Dr Meky Sagrim, SP, MSi

Memaksa setiap mahasiswa menyusun skripsi menurut Meky memiliki 3 kemungkinan yang tidak menguntungkan. Pertama waktu kuliah menjadi molor. Mahasiswa tak kunjung lulus, karena menghadapi kesulitan dalam penyusunan skripsi. Bisa jadi secara teori sudah lulus pada tahun ke-4, tetapi karena wajib skripsi, sehingga mahasiswa tidak kunjung lulus. “Ini tentu sangat merugikan mahasiswa. Ia tidak memiliki pilihan lain. Suka tidak suka harus menulis skripsi,” kata Meky.

Kemungkinan kedua adalah menulis skripsi ala kadarnya. Mahasiswa yang bersangkutan tidak berpikir apakah skripsi tersebut bakal memberikan manfaat atau tidak bagi kebanyakan orang. “Targetnya skripsi selesai dan lulus. Sudah begitu saja. Jangankan berpikir tentang manfaat, ketika si mahasiswa melanjutkan program magister atau doktornya saja, mungkin itu skripsi tidak layak untuk dilanjutkan penelitiannya,” tambah Rektor.

Apalagi saat ini ada banyak teknologi kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) yang bisa digunakan mahasiswa dalam penyusunan skripsi. Misalnya saja website Chatgpt untuk bantuan menulis paraphrase dan mencari ide, website Perplexity untuk bantuan menulis dan mencari referensinnya, website Elicit AI untuk riset jurnal/paper berbagai jurusan, website Writefull untuk bantuan menulis abstrak baik dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris. “Jadi yang penting cepat dan segera dapat memenuhi syarat kelulusan,” tegasnya.

Kemungkinan ketiga adalah muncul ide untuk melakukan plagiat. Tindak kejahatan akademis ini, bukan sekali dua kali terungkap di permukaan. Jalan pintas seperti ini ditempuh oleh mahasiswa ketika mereka benar-benar merasa terbebani dengan tugas melakukan penelitian dan menyusunnya dalam bentuk skripsi. “Jalan pintas pun dilakukan dan ini yang tidak kami inginkan,” katanya.

Dengan berbagai sisi negatif skripsi tersebut, Meky menilai kebijakan Merdeka Belajar episode ke-26 adalah solusi yang paling tepat dan ditunggu-tunggu oleh mahasiswa. Meski sampai saat ini petunjuk teknisnya belum ada, namun banyak mahasiswa termasuk dosen yang menyambut gembiara kebijakan Menteri Nadiem melalui Merdeka Belajar episode ke-26 tersebut.

“Alangkah bagusnya jika mahasiswa memiliki pilihan lain untuk menyelesaikan kuliahnya. Disesuaikan dengan passion dan azas kebermanfaatan,” tegasnya.

Ia mengakui bahwa selama ini banyak skripsi yang ditulis mahasiswa hanya menjadi penghuni rak perpustakaan kampus. Artinya kebermanfaatan baik bagi masyarakat maupun bagi mahasiswa yang bersangkutan benar-benar tidak ada. “Hanya sebagai syarat lulus, soal kebermanfaatan saya pikir nomor sekian,” katanya.

Senada juga disampaikan Rektor Universitas Pattimura Prof. Dr. Marthinus Johanes Saptenno, SH, M.Hum. Dijumpai pada kesempatan yang sama, Marthinus mengatakan bahwa kebijakan Standar Nasional Pendidikan Tinggi dalam Merdeka Belajar episode ke-26 telah mengubah sesuatu yang sifatnya konservatif menuju dunia yang penuh perubahan. “Saya melihat ini merupakan bentuk adaptasi dunia pendidikan terhadap perkembangan zaman, bahwa sesuatu yang konservatif harus kita ubah,” jelasnya.

Rektor Universitas Pattimura Prof. Dr. Marthinus Johanes Saptenno, SH, M.Hum.

Kebijakan yang lebih fleksibel dalam hal syarat kelulusan sarjana, lanjut Marthinus, sebenarnya sudah diterapkan di Korea Selatan. Negara tersebut sudah lama meniadakan kewajiban penyusunan skripsi bagi sarjana bahkan juga nilai. “Perguruan Tinggi di Korea Selatan lebih fokus ada produk inovasi mahasiswa,” jelasnya.

Belajar dari Korea Selatan, menurutnya mahasiswa di Indonesia juga harus memiliki keleluasaan memilih jalan untuk lulus sesuai kemampuan dan talenta yang dimiliki. Tidak harus dengan menulis skripsi, tetapi bisa dalam bentuk karya-karya lain yang lebih inovatif. Tugas perguruan tinggi adalah membuka jalur tugas akhir di luar skripsi. Perguruan tinggi juga harus mampu melatih cara berpikir mahasiswa untuk mendapatkan ide-ide yang positif dalam rangka mengembangkan sumber daya manusia.

Perkembangan teknologi yang sangat pesat diakui Rektor Marthinus, menjadi tantangan bagi perguruan tinggi untuk mengubah standar dan syarat kelulusan dari hal-hal yang bersifat konservatif kepada sesuatu yang inovatif dan adaptif, dari sekadar membuat skripsi kepada karya-karya yang lebih bemanfaat bagi mahasiswa maupun masyarakat.

“Melamar kerja kan tidak ditanya skripsi, tetapi kemampuan. Apa kemampuan kita untuk memberikan hal terbaik pada pekerjaan,” tambahnya.

Mengukur Kompetensi Mahasiswa

Di tempat terpisah, Plt Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi (Ditjen Diktiristek), Tjitjik Srie Tjahjandarie menegaskan bahwa idealnya tugas akhir (TA) mahasiswa harus mampu mengukur tingkat kompetensi mahasiswa sesuai dengan bidang keilmuan yang dipelajari. Itu sebab, perguruan tinggi diberikan keleluasaan menentukan bentuk tugas akhir di luar jalur skripsi bisa dalam bentuk membuat prototype, proyek atau entitas bisnis. Intinya tugas akhir harus bisa mengukur dan mempresentasikan standar kelulusan setiap mahasiswa.

“Misalnya untuk prodi kimia, mungkin skripsi masih bisa diberlakukan. Tetapi untuk prodi bisnis, apakah skripsi itu satu-satunya bentuk yang fit? Atau pada prodi kriya, apakah menulis skripsi bisa benar-benar mengukur dan merepresentasikan standar kompetensi lulusannya? Bukannya misalnya membuat kriya atau karya tertentu sesuai dengan standar kompetensi lulusan yang ditetapkan itu menjadi lebih fit?” papar Tjitjik.

Plt Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi (Ditjen Diktiristek), Tjitjik Srie Tjahjandarie (is/humasdikti)

Ia juga memastikan bahwa bentuk tugas akhir apapun sifatnya setara. Bukan berarti skripsi berstatus lebih tinggi dari bentuk tugas akhir yang lain. “Tidak ada satu karya tugas akhir yang kedudukannya lebih rendah atau lebih tinggi,” tegas Tjitjik.

Mendikbudristek Nadiem Makarim pada peluncuran Merdeka Belajar episode ke-26 (29/8/2023) mengatakan Merdeka Belajar Episode Ke-26 diluncurkan dengan tujuan memberikan kemudahan bagi perguruan tinggi untuk lebih fokus dalam meningkatkan mutu Tridharma Perguruan Tinggi, yakni pendidikan dan pengajaran, penelitian dan pengembangan, serta pengabdian masyarakat. Ini penting mengingat pendidikan tinggi berperan sebagai pendorong pertumbuhan yang berkelanjutan, persiapan SDM unggul, dan sebagai tulang punggung inovasi.

“Selain itu, pendidikan tinggi adalah jenjang yang paling dekat dengan dunia kerja dan masyarakat. Lulusan perguruan tinggi dituntut untuk dapat berkontribusi dengan baik. Itu mengapa kami meletakkan titik berat pada transformasi jenjang pendidikan tinggi,” jelas Mendikbudristek.

Merdeka Belajar episode ke-26 yang mengacu pada Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi, memiliki dua hal yang fundamental dari kebijakan yang memungkinkan transformasi pendidikan tinggi melaju lebih cepat lagi. Pertama, Standar Nasional Pendidikan Tinggi yang lebih memerdekakan, di mana Standar Nasional kini berfungsi sebagai pengaturan framework dan tidak lagi bersifat preskriptif dan detail, diantaranya terkait pengaturan tugas akhir mahasiswa. Kedua, sistem akreditasi pendidikan tinggi yang meringankan beban administrasi dan finansial perguruan tinggi.

“Sebelumnya, Standar Nasional Pendidikan Tinggi bersifat kaku dan rinci sehingga perguruan tinggi kurang leluasa merancang proses dan bentuk pembelajaran sesuai kebutuhan keilmuan dan perkembangan teknologi. Misalnya saja, syarat kelulusan yang tidak relevan dengan zaman dan alokasi waktu yang diatur sampai per menit per minggu dalam satu satuan kredit semester,” kata Nadiem.

Beberapa transformasi terkait Standar Nasional Pendidikan Tinggi yang lebih memerdekakan adalah penyederhanaan lingkup standar penelitian dan standar pengabdian kepada masyarakat dari delapan standar menjadi tiga standar; penyederhanaan pada standar kompetensi lulusan; dan penyederhanaan pada standar proses pembelajaran dan penilaian.

Dalam Sistem Akreditasi Pendidikan Tinggi, beberapa pokok perubahan adalah status akreditasi yang disederhanakan; biaya akreditasi wajib sekarang ditanggung pemerintah; dan proses akreditasi dapat dilakukan pada tingkat unit pengelola program studi.

Mendikbudristek mengajak semua pihak untuk bergotong royong dan berkolaborasi untuk melakukan transformasi pendidikan tinggi. “Perubahan tidak dapat dilakukan tanpa kolaborasi seluruh pihak, Kemendikbudristek bersinergi dengan seluruh pemangku kepentingan untuk mewujudkan transformasi pendidikan tinggi yang menyeluruh dan berdampak positif,” tutup Mendikbudristek. (inung m kurniawati)

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!