lajutan novelet :
Usai Dhuha kami antar Rohman ke pondok. Boncengan. Biasa melewati jalur berliku kanan kiri jalan ditumbuhi hutan jati. Sesekali aku bicara. Tapi karena diatas motor, maka suara lebih banyak terbawa angin. Maka biar dapat ngobrol lebih leluasa, Rohman aku ajak makan siang seadanya. Mie ayam, pinggir jalan. Dibawah pohon rindang. Bersama warga lainnya.
“Kok berhenti pak?'” tanya Rohman. Karena mmg sebelum nya tidak aku beri tahu.
“Maem dulu le, sambil istirahat. “;kataku pendek. Rohman tahu aku adalah penggemar berat mie ayam. Sambil menunggu agak lama. Antri. Aku sengaja ajak ngobrol lepas. Mumpung berdua.
“Pinjam HP nya pak, mumpung belum sampai pondok,” lagi HP yang diminta. Aku serahkan setengah hati.
Sambil HP nan. Aku ajak Rohman utk bicara dari hati ke hati.
” Selama di pondok. Apa yg kamu rasakan berat, le ?”
” Apa ya pak?”
Rohman balik bertanya.” Ya apa saja katakan sejujurnya, biar bpk tahu dan bisa merasakan,” kataku mencoba menenangkan.
Diam. Sunyi. Tidak ada kata-kata diantara kami berdua. Kecuali burung kenari milik penjual mie ayam yang sengaja dibawa si penjual. Beberapa menit kami lama sibuk dengan pikiran masing masing. Namun tidak lama kemudian suasana pecah..
“Kangen dengan bapak, ibu dan mas” kata Rohman matanya berkaca-kaca.
” Tapi kan setiap minggunya bisa phone call. Bahkan tidak jarang kami maen. di pondok. ” Jawabku coba menenangkan .
“Iya, tetap beda pak, Ketemu langsung dengan hanya VC, “ tandas Rohman.
Diam. Sunyi. Tidak ada kata-kata diantara kami berdua. Kecuali burung kenari milik penjual mie ayam yang sengaja dibawa si penjual. Beberapa menit kami lama sibuk dengan pikiran masing masing. Namun tidak lama kemudian suasana pecah..
“Kangen dengan bapak, ibu dan mas” kata Rohman matanya berkaca-kaca.
” Tapi kan setiap minggunya bisa phone call. Bahkan tidak jarang kami maen. di pondok. ” Jawabku coba menenangkm .
“Iya, tetap beda pak
Ketemu langsung dengan phone. Video call atau apapun namanya. Tetapi kalau dari sisi perasaan yang paling berat ada dua hari menjelang berangkat ke pondok dan seminggu awal di pondok. Rasanya didada ini nyesek banget pak. Tetapi setelah seminggu di lalui ya menjadi biasa’,” terangnya panjang kali lebar.
“Bukan soal makanan yang kurang,” selidikku. Sambil menyeruput teh hangat segelas berdua.
“Gak. Kalau makan yang kurang sesuai selera awal dulu memang sempat menjadi kendala. Tetapi lama kelamaan biasa saja. Toh makan fungsinya hanya untuk memperkuat kita untuk beribadah, selebihnya hanya sampah,” sambungnya bak ustadz muda. Dapat dari mana pengetahuan itu. Aku merasa belum pernah mengajarinya.
“Makanya besuk, setelah ini lanjutkan ke pondok ya le? ” Pinta ku penuh harap.
” Cukup 3 tahun di pondok pak,” jawabnya singkat tanpa ekspresi.
” Selebihnya menerapkan ilmunya dan aku ingin lebih banyak temani mas di rumah!”
Aku tercenung. Tak terasa mie ayam semangkok tandas. Tanpa rasa. Tidak seperti biasanya. Justru aku larut dalam percakapan tadi. Tidak mau lanjutkan ke pondok membuat aku berpikir keras. Bagaimana jika nanti Rohman byk waktu di rumah. Aku merasa kedodoran mengasuhnya. Aku bukan type bapak yang tegas semi galak. Tidak juga lembek. Mungkin lebih tepatnya moderat. Padahal anak usia sekolah SMP akhir perlu arahan yang kuat. Jika tidak bisa gagal di tengah jalan.
“Besok lanjutkan ke pondok pesantren yang lebih bagus”
” Gak mau,” jawab Rohman, kekeh. ^^