31.2 C
Jakarta

Novel – Rembulan di Atas Bukit Khayangan –

Baca Juga:

90. #Bicara soal cita-cita

JIKA filsuf Kalil Gibran pernah berkata anak kita bukan anak kita. Sekarang mulai terbukti. Maksud Khalil Gibran bisa jadi adalah apa yang kita harapkan tidak selalu menjadi kenyataan. Termasuk dalam hal cita-cita. Tidak musti sama. Ini juga menjadi ujian bagi hampir semua orang tua yang mempunyai anak. Kenyataan di lapangan sering kita lihat anak kyai/ustadz justru menjadi pencuri. Anak pencuri jadi kyai. Inilah kehidupan. Maka bisanya orang tua hanyalah mengarahkan. Tidak bisa memaksakan.
“Pingin jadi apa le, kalau sudah besar nanti,” tanyaku satu saat, ketika sore-sore di ruang tamu kami yang kecil.
“Ahli IT, pak,” jawabnya.
“Bagus itu le, tetapi ngajinya gak boleh dilupakan. Harus menjadi modal,” kataku lagi.
“Iyalah. Aku ingin jadi hacker pak,”katanya lagi. Tanpa melihatku, Dia masih sibuk dengan HP yang biasa aku pakai. Aku agak kaget kenapa ingin jadi hacker, padahal setahuku pekerjaan hacker adalah merusak jaringan orang lain.
” Itu pekerjaan yang merugikan orang lain le. Merusak kenyamanan orang. Tidak banyak gunanya bagi dirimu. Apa tidak sebaiknya kamu jadi guru, seperti bapak le, sambil kamu terus dan tetap mengaji. Kan ada hubungannya dengan ngajimu sekarang ini” pintaku.
“Tapi aku senang IT pak. ”
“Makanya dilanjutkan, ngajinya,”
“Apa nggak boleh menekuni IT, pak?”
“Boleh saja. Orang Islam memang harus cerdas,”
“Itulah makanya aku ingin belajar IT tapi yang hafal quran pak,”
“Baguslah. Tapi aku tetap khawatir kalau kamu makin sibuk dengan IT. yang itu tentu berhubungan dengan internet. Padahal di Internet semuanya ada. Yang baik, yang buruk. Aku khawatir kamu belum bisa memisahkan,”
“Gaklah pak. Gak usah khawatir,”
Itulah percakapan ringan kami sore itu. Yang hingga kini kadang masih membuat  pening. Meski sering tidak beralasan. Mungkin terlalu berlebihan kekhawatiran ini. Untuk menutup kegelisahan maka kadang-kadang aku ceritakan orang-orang berhasil di lingkungan keluarga, agar menjadi cermin Rohman. Meski secara tidak langsung tidak ingin membelokkan keinginannya untuk menekuni IT menjadi hacker.

Akhirnya aku ingat bahwa hati adalah milik Allah. Allah-lah yang membolak-balikkan hati. Hati siapa saja. Doaku agar selalu diteguhkan di jalan yang lurus. Termasuk soal  cita-cita.
       “Gak pingin jadi guru agama saja le. Ilmu yang didapat di pondok bisa ditularkan. Di lanjutkan. Pahalanya terus mengalir,” pintaku.

“Saat ini belum pak. Inginnya misalnya guru yang berhubungan dengan IT. Islam kan agama yang terus berkembang tho pak, tidak melulu agama saja,” jawabnya.
“Iya sih, Cuma kalau mengajarkan agama, kebaikan, kamu dapat dobel. Ya di dunia dan akhirat.”
“Memangnya kalau menjadi guru IT tidak mendapatkan pahala dobel. Dapatlah pak,” jawabnya sengit.
Makanya selepas mondok nanti, Rohman sudah minta dicarikan sekolah yang berbasis IT. Misalnya ada pondokpun, pondok yang berbasis IT. Tidak melulu mengaji kitab. Aku menelan ludah. Dalam-dalam. Memahami tidak selalu keinginan orang tua gayung bersambut dengan keinginan anak. Bahkan tidak sedikit yang bertentangan. Kasus cita-cita dengan Rohman, aku pahami beda tipis. Sama-sama ingin jadi guru. Cuma aku pinginnya jadi guru agama, Rohman guru IT.
Dalam hati, satu saat mau aku ajak ke Sragen Jateng. Aku dengar ada sekolah saintek setingkat SMA/K yang bagus. Tapi kenapa harus jauh-jauh ke sana. Bukankah sekolah tetangga kampung juga ada. Masih berdiri. Bahkan kadang kurang siswa. Kalau tidak kita sendiri siapa lagi yang akan mengisi dan membesarkan. Lagi-lagi ini pekerjaan rumah jangka menengah untuk ngobrol dengan Rohman dan ibunya. Soal melanjutkan sekolah dimana. Toh masih 1-2 tahun lagi. Mengapa mikirnya sudah dari sekarang.* ( bersambung )

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!