JAKARTA, MENARA62.COM – Perempuan dan anak menjadi kelompok masyarakat yang paling rentan terhadap dampak perubahan iklim. Mulai dari krisis pangan, kesehatan dan sanitasi, air bersih, bencana alam hingga migrasi dan konflik sosial. Karena itu dibutuhkan gerakan bersama yang melibatkan semua komponen masyarakat untuk mengatasi dampak perubahan iklim tersebut.
Itulah benang merah yang dapat disimpulkan dari kegiatan Seminar Dampak Perubahan Iklim Terhadap Kesehatan Ibu dan Anak yang digelar oleh Pita Putih Indonesia pada Selasa (10/12/2024). Seminar yang dihadiri oleh Ketua Umum Pita Putih Indonesia Dr Ir Giwo Rubianto Wiyogo tersebut menampilkan narasumber antara lain dr. M. Baharuddin SpOG, MARS, dari Lembaga Kesehatan Budi Kemuliaan, Siswanto, Peneliti Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Pusat Layanan Informasi Iklim Terapan, Nizar Manarul dari BMKG dan Ketua Pelaksana Harian PPI dr. Heru Kasidi.
Dalam sambutannya, Giwo mengatakan banyak program yang telah dan sedang dilakukan oleh banyak negara dan organisasi non pemerintah untuk mengatasi dampak dari perubahan iklim ini. Namun program apapun tidak akan berdampak signifikan jika tidak ada keterlibatan semua pihak.
“Dengan menjadikan upaya pencegahan dampak perubahan iklim sebagai gerakan maka semua komponen masyarakat akan terlibat untuk bersama-sama mengatasi dampak perubahan iklim dan melakukan aksi nyata untuk menekan perubahan iklim,” kata Giwo.
Menurutnya, gerakan ini juga memungkinkan masyarakat lebih teredukasi mengenai bahaya perubahan iklim, memitigasi dampak perubahan iklim beserta risikonya. Dengan memahami dampak perubahan iklim, maka diharapkan masyarakat akan mengadopsi kebiasaan-kebiasaan yang dapat menekan laju perubahan iklim dalam aktivitas kesehariannya.
Giwo mengingatkan bahwa dampak perubahan iklim secara global dapat meningkatkan risiko kematian hingga 14 kali lipat, di mana perempuan dan anak menjadi kelompok paling rentan terhadap kematian tersebut. Risiko tersebut juga berlaku bagi perempuan dan anak Indonesia, mengingat Indonesia menjadi satu dari 50 negara di dunia yang rentan terpapar risiko perubahan iklim.
Mengutip pernyataan Badan Kesehatan Dunia (WHO) Giwo mengatakan perubahan iklim diperkirakan akan menyebabkan sekitar 250.000 kematian tambahan per tahun pada tahun 2030–2050. Kematian ini terutama disebabkan oleh mal nutrisi (kekurangan gizi), malaria, diare, stress, peningkatan suhu dan lainnya.
“Padahal tahun 2045 kita mencanangkan Indonesia Emas. Itu sebab kita harus mengantisipasi sedini mungkin dampak dari perubahan iklim tersebut,” lanjut Giwo.
Karena itu Giwo mengajak pemerintah dan seluruh stakeholder untuk bergerak memuliakan perempuan dan anak, terutama dalam menghadapi dampak perubahan iklim yang semakin nyata.
“Kami mengajak pemerintah, masyarakat, jurnalis, media, dan legislatif untuk melihat langsung ke lapangan dan menyaksikan dampak perubahan iklim, khususnya di daerah pesisir,” kata Giwo.
PPI lanjut Giwo berkomitmen untuk melakukan tindakan nyata di lapangan yang dapat memberikan dampak nyata bagi perempuan dan anak. Gerakan ini bertujuan untuk menciptakan karya nyata yang dapat memberikan multiplier effect, mengurangi dampak penyakit terhadap perempuan dan anak, serta mendukung tumbuh kembang anak. “Kami berharap upaya ini dapat berkontribusi dalam menciptakan anak-anak yang berkualitas untuk menghadapi Indonesia emas 2045,” ujar Giwo.
Pada kesempatan yang sama, Ketua Pelaksana Harian PPI, dr. Heru Kasidi mengatakan berdasarkan laporan Intergovernment Panel on Climate Change (IPCC) yang diterbitkan pada 2022, kenaikan suhu telah berpengaruh pada endokrin, yakni sistem kelenjar yang memproduksi dan melepaskan hormon ke dalam aliran darah untuk mengontrol berbagai fungsi tubuh.
Tak hanya itu, kenaikan suhu juga memengaruhi siklus organ ovarium. Dari penelitian IPCC di beberapa negara seperti Tiongkok, Amerika Serikat, beberapa negara di Eropa dan di Amerika Selatan, perubahan iklim juga telah meningkatkan tingkat bayi lahir prematur.
Khusus dampak kenaikan suhu, di Tiongkok terjadi peningkatan kasus pneumonia pada anak sebesar 77 persen, di AS, Afrika Selatan, dan Israel terjadi kenaikan kasus pre-eklamsia hingga 50 persen. Dampak perubahan iklim juga mengakibatkan banyaknya kebakaran lahan. Di AS dan Brazil, dampak kebakaran lahan telah menyebabkan penurunan bayi baru lahir terjadi sebesar 50 persen hingga 80 persen dan peningkatan cacat lahir hingga 28 persen.
“Dampak perubahan iklim yang menyebabkan bencana banjir juga menyebabkan berat badan lahir rendah di AS, Thailand, dan Polandia hingga 38 persen,” ucapnya.
Dampak pada Kesehatan Reproduksi
Senada juga disampaikan dr Baharuddin SpOG. Menurutnya perubahan iklim dapat berdampak serius pada kesehatan reproduksi, mulai komplikasi kehamilan mulai dari hipertensi, preeklampsia, hingga kelahiran prematur. Bisa juga berdampak pada gangguan endokrin mulai dari penurunan fungsi ovarium, infertilitas, hingga menopause dini akibat paparan zat kimia seperti bisphenol A dan F, dioxin, pestisida hingga antioksidan dan steroid serta obat-obatan yang dapat mengganggu aktivitas endokrin.
“Kesehatan reproduksi adalah seluruh daur kehidupan manusia, menyangkut kesejahteraan fisik, mental, dan sosial yang utuh sepanjang hidup manusia, mulai dari lahir hingga meninggal yang mencakup segala aspek yang berkaitan dengan sistem, fungsi, dan proses reproduksi,” jelas dr Baharuddin.
Selain itu, perubahan iklim juga menimbulkan tantangan serius pada fertilitas. Tantangan pengganggu endokrin tersebut berupa agen exogen yang mengganggu sintesa, sekresi, transportasi, metabolisme, pengikatan dan eliminasi hormon yang terdapat pada darah dan dapat mengganggu homeostasis, reproduksi dan proses perkembangan.
Adapun penyakit yang dapat terjadi akibat dampak perubahan iklim bisa berupa kanker prostat, kanker payudara, endrometriosis, infertilitas , diabetes, sindromovarium polikistik (SOPK) , pubertas dini dan obesitas.
Melihat dampak yang demikian besar terhadap kesehatan reproduksi, menurut dr Baharuddin perubahan iklim merupakan tantangan serius yang membutuhkan tindakan global dan pendidikan lingkungan memainkan peranan penting dalam meningkatkan kesadaran dan membentuk perilaku berkelanjutan. Dalam hal ini kaum muda bisa bersiap untuk menjadi agen perubahan proaktif dalam melindungi lingkungan.
“Melalui upaya kolektif, kita dapat mengurangi dampak perubahan iklim dan menciptakan masa depan yang lebih berkelanjutan untuk generasi mendatang,” katanya.
Sementara itu, peneliti BMKG dari Pusat Layanan Informasi Iklim Terapan, Siswanto dalam paparannya mengatakan bahwa aktivitas manusia dalam 100 tahun terakhir ini telah memberikan dampak besar pada perubahan iklim secara global. Beberapa dampak dari perubahan iklim ini diantaranya adalah suhu yang meningkat, badai yang semakin parah, ancaman kekeringan, kenaikan suhu dan permukaan laut, hingga risiko kesehatan.
“Peningkatan suhu bumi misalnya, telah memicu fenomena gelombang panas di sejumlah negara di Kawasan Asia dan Amerika Serikat termasuk Arab Saudi,” katanya.
Kenaikan suhu global memang akan tetap terjadi, namun mestinya hanya mencapai 1,5 derajat celcius pada 2035. Sayangnya pada 2024 kenaikan suhu global sudah mencapai 1,4 derajat celcius. “Artinya tinggal 0,1 derajat celcius laku kenaikan suhu global yang harus kita kendalikan sampai 2035,” kata Siswanto.
Di Indonesia sendiri, dampak perubahan iklim semakin nyata terlihat. Dari pengamatan 116 stasiun BMKG tahun 2023 diketahui bahwa di sejumlah wilayah di Indonesia telah terjadi kenaikan suhu yang cukup ekstrem menjadi 35 derajat celcius pada bulan-bulan tertentu. Padahal suhu rata-rata di Indonesia adalah 27,2 derajat celcius. “Suhu udara tahun 2023 ini tertinggi kedua setelah tahun 2016,” jelasnya.
Diakui Siswanto, tahun 2023 dan 2024 menjadi tahun-tahun terpanas sepanjang sejarah. Diprediksi tahun depan suhu Indonesia dan negara-negara di sekitar ekuator lainnya juga akan lebih panas dibandingkan dengan 2023 dan 2024.
Fakta lainnya, konsentrasi karbon Indonesia di bawah rata-rata (GAW Kototabang), meningkat dengan laju 2 ppm/tahun. Rekor tertinggi konsentrasi karbon dunia terjadi pada Mei 2020 (417,1 ppm), pada waktu emisi turun akibat pandemi Covid-19. “Dan perubahan iklim ini tidak pada posisi berhenti atau jeda dalam bentuk apapun,” tegas Siswanto.
Ia mengingatkan perubahan iklim ini berisiko meningkatkan bencana hidrometeorologis di mana kerugian akibat bencana jenis ini jauh lebih besar dibanding jenis bencana lainnya.