27.4 C
Jakarta

Dekan Fakultas Kedokteran UMS Bahas Kerusakan Otak di Era Digital

Baca Juga:

SOLO, MENARA62.COM – Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), Dr. dr. Flora Ramona Sigit Prakoeswa, M.Kes, Sp.D.V.E., Dipl.STD-HIV/AIDS, FINSDV, FAADV., memberikan tanggapannya terkait ‘Brain Rot’ yang akhir-akhir ini ramai diperbincangkan.

Dekan FK UMS itu membahas makna dari Brain Rot (kerusakan otak) atau istilah medisnya merujuk pada Cerebral Necrosis, adalah kondisi serius di mana jaringan otak mengalami kerusakan. Penyebabnya bisa bervariasi, mulai dari infeksi, penyakit neurodegeneratif, trauma berat pada kepala, dan kecanduan gadget.

“Mudahnya, brain rot adalah kondisi kerusakan otak akibat paparan berlebihan terhadap gadget. Ini biasanya merujuk pada penurunan fungsi kognitif, seperti kesulitan berkonsentrasi, gangguan ingatan, dan penurunan kemampuan berpikir kritis, yang bisa terjadi karena terlalu lama menggunakan perangkat digital tanpa jeda,” ungkapnya saat ditemui di Ruang Dekan FK UMS Kampus IV Rabu (18/12/2024).

Gejala penyakit ini, lanjutnya, bisa bermacam-macam tergantung pada area otak yang terdampak. Namun, secara umum, bisa meliputi: (1) Gangguan memori atau kebingungan yang progresif, (2) Kejang atau kehilangan kesadaran, (3) Perubahan perilaku atau suasana hati yang drastis, (4) Gangguan fungsi motorik, seperti kesulitan berjalan atau bergerak, dan (5) Dalam kasus berat, koma bisa terjadi.

Diagnosis Brain Rot biasanya memerlukan kombinasi pendekatan, seperti: (1) Pemeriksaan klinis: dokter akan mengevaluasi gejala dan riwayat kesehatan pasien, (2) Pencitraan otak: seperti CT scan atau MRI, untuk melihat apakah ada kerusakan jaringan otak, (3) Tes laboratorium: darah atau cairan serebrospinal diambil untuk mendeteksi infeksi atau penyebab lain, dan (4) Biopsi otak: dilakukan pada kasus tertentu untuk memastikan diagnosis.

Dekan FK UMS itu juga menjelaskan beberapa langkah yang bisa diambil untuk mencegah Brain Rot: (1) Batasi waktu layar: Maksimal 1–2 jam sehari untuk anak-anak, dan usahakan ada jeda setiap 30–60 menit penggunaan gadget, (2) Gunakan gadget dengan tujuan: Hindari penggunaan gadget hanya untuk membuang waktu, (3) Promosikan aktivitas fisik: Berikan waktu untuk bermain di luar ruangan atau melakukan aktivitas lain tanpa gadget, (4) Kurangi paparan cahaya biru: Gunakan night mode atau kacamata anti-blue light, terutama di malam hari, dan terakhir dengan meningkatkan interaksi langsung: Dorong anak-anak dan remaja untuk lebih sering berkomunikasi dan bersosialisasi secara tatap muka.

“Pengobatannya tergantung pada penyebabnya: Jika disebabkan oleh infeksi, antibiotik atau antivirus akan diberikan. Kemudian untuk kasus autoimun, steroid atau imunoterapi mungkin dibutuhkan dan jika ada trauma atau tekanan di otak, pembedahan mungkin diperlukan,” tegasnya.

Menurutnya, penting untuk diingat bahwa kerusakan otak yang sudah terjadi sering kali tidak bisa dipulihkan sepenuhnya. Oleh karena itu, fokus pengobatan biasanya adalah memperlambat perkembangan penyakit dan meningkatkan kualitas hidup pasien.

“Untuk orang yang sudah kecanduan, diperlukan pendekatan yang lebih terstruktur, seperti: (1) Detoksifikasi digital: Mengurangi secara bertahap penggunaan gadget dan menggantinya dengan aktivitas produktif, (2) Konseling psikologis: terutama jika sudah muncul gejala seperti kecemasan atau depresi, (3) Terapi perilaku kognitif (CBT): untuk membantu mengatasi pola pikir dan perilaku yang mendukung kecanduan gadget, (4) Dukungan keluarga: keluarga perlu terlibat aktif dalam membantu seseorang mengelola waktu layar mereka,” paparnya.

Flora menegaskan bahwa masyarakat perlu tahu pentingnya menjaga kesehatan otak, mulai dari gaya hidup sehat hingga mengenali gejala awal gangguan neurologis. Selain itu, jangan ragu untuk memeriksakan diri ke dokter jika ada gejala mencurigakan.

“Semakin dini diketahui, semakin baik peluang pengobatannya. Ingat, menjaga otak tetap sehat adalah investasi untuk masa depan kita,” pungkasnya. (*)

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!