28.2 C
Jakarta

Fajar di Sawah Merah (2)

Baca Juga:

Belum genap lima menit ia kembali mencangkul dengan semangat, tiba-tiba Raden Jaka berhenti lagi. Seperti sebelumnya, ia sedikit memiringkan kepala, mengarahkan telinganya ke arah jalan menuju rumah. Ada yang menarik perhatiannya.

Dari kejauhan, samar-samar terdengar suara tembang. Ya, suara orang menyanyi langgam Jawa. Senyum mengembang di wajahnya. Ia mengenali suara itu dengan baik—suara yang dulu selalu melantunkan nyanyian setiap malam, mengantarnya ke alam mimpi saat ia masih kecil.

Sekali lagi, Raden Jaka meletakkan cangkulnya. Wajahnya tampak berseri dihiasi senyum saat matanya mencari sumber suara. Sepagi ini, ibunya sudah mulai bernyanyi. Pangkur Palaran pula, pikirnya. Ia merasa bangga memiliki ibu seperti Mbok Lurah. Suara ibunya merdu dan penuh perasaan, bukan hal yang mengherankan karena sebelum menjadi Mbok Ranti, ia adalah seorang waranggono bernama Sekarndalu. Dahulu, di dusun Pungkruk, Sekarndalu dikenal sebagai penyanyi muda berbakat yang mulai menarik perhatian banyak orang. Lelaki dari berbagai usia berlomba-lomba mendapatkan hatinya, dengan cara yang baik maupun sebaliknya. Hampir saja Sekarndalu yang masih belia tergoda oleh rayuan yang dibumbui kemewahan dan perhiasan. Begitulah nasib para waranggono muda—banyak dari mereka yang akhirnya jatuh ke dalam perangkap bujuk rayu yang penuh tipu daya.

Namun, keberuntungan berpihak padanya. Di saat yang paling genting, seorang pemuda dari dusun Rejowinangun datang dan mengubah segalanya. Namanya Wiratmaja Jayanegara, seorang lelaki dengan sinar mata penuh ketulusan dan senyum yang mencerminkan kejujuran. Tidak seperti pria-pria lain yang hanya tergoda oleh kecantikannya, Wiratmaja benar-benar mencintai Sekarndalu.

Mereka pun menikah, dan Sekarndalu dibawa ke Rejowinangun, dusun kecil di kaki Gunung Lawu. Kehidupan mereka sebagai suami istri berjalan harmonis, penuh kerukunan dan kebahagiaan. Setahun setelah pernikahan mereka, lahirlah putra pertama mereka, Jaka, yang kini lebih dikenal sebagai Raden Jaka. Seiring waktu, nama Wiratmaja Jayanegara pun berubah mengikuti tradisi dusun. Kini, ia dikenal sebagai Ki Lurah Memed, dan istrinya sebagai Mbok Lurah. Saat Raden Jaka tumbuh menjadi pemuda, kedua orang tuanya tak lagi dipanggil dengan sebutan muda, melainkan Pak Ranti dan Mbok Ranti, sebagaimana lazimnya di desa.

Raden Jaka kembali menatap ibunya yang semakin mendekat. Ia merasa bangga. Ibunya adalah sosok yang patut dikagumi—cantik dan setia! Ya, Mbok Lurah memang cantik, begitu juga di masa mudanya. Ayahnya selalu mengatakan bahwa ia adalah kembang dusun Pungkruk. Bahkan hingga kini, pesonanya tetap terpancar. Dan yang lebih berharga lagi, kesetiaannya tak tergoyahkan oleh apapun.

Menurut kisah ayahnya, ibunya telah melewati ujian kesetiaan yang berat. Ketika masa penjajahan Jepang, Ki Lurah menjadi korban sistem kerja paksa romusha yang kala itu disebut sebagai “kerja bakti” untuk tanah air. Selama tiga tahun, Mbok Lurah harus menjalani hidup sendiri bersama Raden Jaka yang saat itu masih berusia tujuh tahun. Dalam masa sulit itu, banyak lelaki yang mencoba mendekatinya, menawarkan perlindungan dan kenyamanan dengan berbagai cara. Namun, Mbok Lurah tetap teguh pada kesetiaannya, layaknya Dewi Anggraini dalam kisah pewayangan—simbol istri yang setia hingga akhir hayatnya.

Raden Jaka menatap ibunya yang kini sudah dekat. Dalam sinar mentari pagi yang lembut, sosoknya tampak seperti Sang Dewi Fajar yang berjalan perlahan, membawa keranjang gantung di tangan kirinya. Matahari yang mulai menyembul dari balik puncak gunung menyinari tubuhnya dengan cahaya kuning kemerahan, menciptakan bayangan yang memukau. Lagu Pangkur telah selesai ia nyanyikan. Mbok Lurah menurunkan keranjangnya di tepi sawah dan menatap putranya dengan senyum penuh kasih.

“Cepat sekali engkau sudah di sini, Mbok,” ucap Raden Jaka. Kata-kata itu adalah salam pagi baginya, karena di desa mereka, orang tidak terbiasa mengucapkan salam seperti “selamat pagi” atau sejenisnya.

“Dan engkau, sudah banyak benar mencangkul sepagi ini, Jaka,” balas ibunya. Dalam kehidupan desa, sapaan seperti ini lebih menyenangkan dibandingkan salam formal.

“Di mana bapak, Mbok?”

“Ah, seperti biasa. Burung perkutut itu lagi, pasti!” jawabnya tanpa perlu menoleh.

Mbok Lurah memandang ke arah kebun kelapa dan menghela napas panjang. “Burung itu benar-benar mempermainkan bapakmu,” katanya, lalu berjalan pergi untuk menyusul Ki Lurah.

Jaka melangkah mendekati keranjang gantung dan duduk di atas tanggul sawah, tempat tanah telah mengering menjadi putih, seperti lazimnya lumpur yang kehilangan kelembapan. Dengan perlahan, ia mengeluarkan seluruh isi keranjang. Ada dua cangkir tua yang telah menguning karena usia, serta sebuah cerek berisi teh panas, bagian bawahnya menghitam karena setiap hari terkena jilatan api di atas tungku.

Teh terasa hangat dan menenangkan, pikirnya, menikmati aroma teh yang menguar tajam ke hidungnya. Ia meniup-niup permukaan teh dalam cangkir untuk mengurangi panasnya, sesekali menyeruputnya dengan hati-hati.

Ibunya memang seorang istri sejati. Mencintai suami sepenuh hati. Dan lebih dari itu, ia juga seorang ibu yang luar biasa. Cintanya kepada anaknya, bahkan melebihi cintanya kepada bapak, pikir Jaka sambil meneguk tehnya sekali lagi. Ia masih mengingat betul bagaimana ibunya selalu membelanya saat bapaknya marah dan hendak menghukumnya. Seperti Sang Dewi Arimbi yang melindungi Raden Gatutkaca, ibunya tak gentar membela.

“Seorang anak harus menghormati orang tua karena kasih sayang! Kepatuhan lahir dari cinta, bukan dari rasa takut akan hukuman!” Begitulah ibunya selalu berusaha menenangkan ayahnya.

Dan biasanya, saat ibunya memandang bapaknya dengan mata berkaca-kaca, dada bergemuruh menahan amarah, tetapi tanpa ada kebencian di dalamnya, saat itu pula hati Ki Lurah melembut. Ia takluk tanpa perlawanan. Jika isterinya sudah demikian, diam-diam ia menyadari keistimewaan wanita yang telah mendampinginya itu.

Memang, Mbok Lurah lebih terpelajar dibandingkan Ki Lurah. “Lebih banyak ‘makan sekolahan’,” begitu istilahnya. Jika sedang berdebat, ibunya selalu bisa menjelaskan segala sesuatu dengan bijak, membuat ayahnya tak mampu membantah. Dan jika sudah demikian, Ki Lurah Memed pun biasanya memilih pergi, memanggul cangkulnya, menuju kebun dengan wajah muram.

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!