JAKARTA, MENARA62.COM – Aliansi Kebangsaan menyatakan keprihatinannya terkait fenomena kebangsaan yang mengindikasikan bahwa nalar bernegara dan rasa kebangsaan sedang bermasalah bahkan sudah jauh dari cita atau konsepsi negara Indonesia. Hal itu disampaikan Ketua Aliansi Kebangsaan Pontjo Sutowo pada Rapat Kerja untuk merumuskan Rencana Kerja Organisasi tahun 2025 bertema “Penguatan Nalar Bernegara dan Rasa Kebangsaan”.
Raker yang digelar 2-3 Februari 2025 tersebut dihadiri seluruh jajaran pengurus Aliansi Kebangsaan.
Dalam pengantarnya, Pontjo mengingatkan bahwa nalar bernegara dan rasa kebangsaan yaitu konstruksi berpikir bangsa Indonesia, seharusnya berdasarkan paradigma nasional yaitu Pancasila, UUD 45, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, dan Wawasan Nusantara. Ini adalah konsepsi yang dibangun oleh para pendiri bangsa.
Salah satu karakteristik Indonesia sebagai negara-bangsa adalah kebesaran, keluasan dan kemajemukannya. Di atas segala kebesaran, keluasan dan kemajemukan itulah, bangsa Indonesia merumuskan konsepsi tentang dasar negara yang dapat meletakkan segenap elemen bangsa di atas suatu landasan yang statis (“meja statis”), sekaligus dapat memberi tuntunan yang dinamis (bintang penuntun).
Menurut Pontjo, para pendiri bangsa telah berusaha menjawab tantangan tersebut dengan melahirkan konsepsi negara persatuan (kekeluargaan) yang berwatak gotong-royong, bukan negara perseorangan seperti dalam konsepsi liberalismekapitalisme atau negara golongan (kelas) seperti konsepsi komunisme. Dengan semangat kekeluargaan itu, konsepsi tentang dasar (filsafat) negara dirumuskan dengan merangkum lima prinsip utama sebagai “titik temu” (yang mempersatukan keragaman bangsa), “titik tumpu” (yang mendasari ideologi dan norma negara), serta “titik tuju” (yang memberi orientasi kenegaraan-kebangsaan) negarabangsa Indonesia. Kelima prinsip utama atau nilai dasar tersebut kemudian disebut dengan Pancasila.
“Namun sayangnya, Pancasila yang merupakan “konsensus moral” bangsa Indonesia dan kita yakini mampu berfungsi sebagai pemersatu, pembentuk identitas bangsa, tumpuan yang kokoh bagi bangunan ke-Indonesia-an, pemberi arah dan tuntunan, mengatasi berbagai konflik dan ketegangan sosial, serta penangkal segala macam bentuk ancaman, belum sepenuhnya menjadi rujukan utama dan menjelma ke dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara,” ujar Pontjo.
Pancasila juga belum sungguh-sungguh didalami dan dikembangkan menjadi “ideologi kerja (working ideology)” dalam praksis pembangunan yang memandu kebijakan pembangunan nasional di segala bidang kehidupan. Dengan kata lain, ideologi Pancasila itu belum dijadikan sebagai kerangka paradigmatik dalam pembangunan nasional.
“Karenanya, hari ini kita masih menghadapi berbagai problematik nalar bernegara dan rasa kebangsaan yang melemahkan ke-Indonesiaan kita,” jelasnya.
Problematik nalar bernegara merujuk pada situasi dimana logika di balik eksistensi, fungsi, dan penyelenggaraan negara kerapkali diabaikan. Sementara problematik rasa kebangsaan merujuk pada situasi semakin pudarnya kesadaran dan perasaan sebagai bagian dari suatu komunitas sosio-kultural dan sosio-politis bernama Indonesia.
Keputusan Penting Raker
Rapat Kerja Aliansi Kebangsaan tahun ini menghasilkan sejumlah keputusan penting, yakni pertama, Rencana Kerja Aliansi Kebangsaan yang berisikan berbagai program dan kegiatan yang akan dilaksanakan pada Tahun 2025 mencakup “Tiga Ranah Pembangunan Peradaban”, yaitu: Ranah Tata Nilai, Ranah Tata Kelola, dan Ranah Tata Sejahtera. Berbagai program dan kegiatan tersebut dirancang untuk mengembangkan, memperdalam, dan mensosialisasikan pemikiran, penalaran, pemahaman, serta gagasan tentang Pancasila sebagai ideologi kerja (working ideology) sebagai ikhtiar Aliansi Kebangsaan untuk ambil peran dalam menjawab berbagai problematik dan tantangan kebangsaan utamanya penguatan nalar bernegara dan rasa kebangsaan yang saat ini dirasakan sedang bermasalah.
Kedua, mendalami berbagai fenomena/isu strategis yang mengemuka dan berpotensi menyebabkan terjadinya problematika kebangsaan dan kenegaraan. Beberapa persoalan yang didalami ini antara lain:
- Hukum sebagai Alat Kekuasaan. Dalam penyelenggaraan berbangsa dan bernegara sudah seharusnya hukum ditujukan untuk melindungi hak-hak warga negara dan untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan. Hukum dilaksanakan dengan menjaga prinsip-prinsip hukum yang jelas dan transparan.
- Lemahnya Etika Penyelenggara Negara. Persoalan etika dalam penyelenggaraan bernegara sedang berada pada titik nadir. Apabila masalah etika tidak segera direspons dengan baik dan bijak, maka dampaknya akan merambat ke semua aspek di berbagai bidang, seperti terjadinya penyalahgunaan kekuasaan; semakin mewabahnya korupsi; dan semakin pudarnya kepercayaan (trust) rakyat kepada penyelenggara negara.
- Politik Luar Negeri tidak Mengutamakan Kepentingan Nasional dan Menjauh dari Doktrin Politik Luar Negeri Bebas Aktif. Dalam menghadapi perkembangan geopolitik global yang kompleks, Indonesia perlu mengutamakan kepentingan nasional dengan tetap berpegang pada politik luar negeri yang bebas dan aktif, sejalan dengan amanat Pembukaan UUD 1945.
- Penaklukan Dunia Akademis dan Merosotnya sikap Kritis Masyarakat Ilmiah. Dalam beberapa tahun terakhir, kita telah menyaksikan bagaimana dunia akademis telah ditaklukkan oleh berbagai kepentingan yang tidak selalu sejalan dengan sikap profesionalisme dalam menjaga nilai-nilai ilmiah akademis dan bahkan tidak sejalan dengan kepentingan nasional.
- Keserakahan dan Kerakusan melaahirkan kesenjangan dan merusak simpul-simpul pengikat Kebangsaan Indonesia. Keserakahan dan kerakusan telah menimbulkan berbagai implikasi yang luas. Keserakahan dan kerakusan mendorong terjadinya ekonomi biaya tinggi baik yang disebabkan karena adanya kegiatan pemburu rente, penggelembungan biaya, penyelewengan anggaran, korupsi, maupun malpraktik pembangunan lainnya. Keserakahan dan kerakusan juga memantik terjadinya penyalahgunaan kekuasaan.
- Merosotnya Wibawa Aparatur Negara di bawah kendali oligarki. Kendali oligarki terhadap aparatur negara merupakan hal yang memprihatinkan dan menyebabkan malpraktik pembangunan.
- Melemahnya Kewaspadaan Nasional Berkembangnya sikap abai (ignorance), ketidakpedulian, bahkan apatis di sebagian besar masyarakat kita terhadap perkembangan lingkungan strategis yang terjadi, mengindikasikan menurunnya kesadaran kolektif bangsa Indonesia akan pentingnya “Kewaspadaan Nasional” yaitu kualitas kesiapsiagaan yang dimiliki oleh bangsa Indonesia untuk mendeteksi, mengantisipasi sejak dini dan melakukan aksi pencegahan terhadap berbagai bentuk dan sifat potensi ancaman terhadap NKRI.
- Kedelapan, Pelanggaran Serius Kaidah Agraria dalam Kasus Pemagaran Laut. Kasus pemagaran laut yang kini sedang marak diperdebatkan secara luas merupakan isu penting yang harus direspons secara serius oleh pemerintah. Kasus ini menunjukkan adanya pelanggaran serius terhadap kaidah agraria yang menempatkan laut itu sebagai domain publik kemudian dirubah menjadi domain privat dengan memberikan hak-hak khusus kepada individu ataupun korporasi tertentu.
- Problem Etik dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara Akhir-akhir ini persolaan etik muncul kembali menjadi perdebatan publik karena ditengarai bahwa etika kehidupan berbangsa dan bernegara dewasa ini mengalami kemunduran yang turut menyebabkan terjadinya berbagai krisis. Oleh karena itu berbagai upaya untuk penguatan etik kehidupan berbangsa dan bernegara sangat diperlukan.
Mencermati berbagai fenomena dan persoalan-persoalan serius di atas, Aliansi Kebangsaan berpendapat bahwa:
Pertama, berbagai fenomena tersebut, bukan hanya mencerminkan kegagalan perseorangan, akan tetapi kegagalan sistemik utamanya terkait dengan nalar bernegara dan rasa kebangsaan. Kegagalan sistemik yang terjadi sudah jauh dari “cita (konsepsi) Negara Indonesia” berdasarkan Pancasila yang hendak dibangun oleh para pendiri bangsa. Oleh karena itulah, Aliansi Kebangsaan menawarkan untuk “Kembali kepada Fitrah Cita Negara Pancasila”.
Kedua, perlu segera dilakukan langkah-langkah perbaikan sistemik untuk mengatasi problematik nalar bernegara dan rasa kebangsaan yang berkembang saat ini.
Ketiga, Indonesia berada di “Pusat Gravitasi dan Kawasan Masa Depan Dunia”, di mana pertumbuhan dunia, permasalahan dunia, bahkan kejahatan dunia, akan pindah ke ka wasan ini. Satu fakta lainnya yang tidak bisa dihindari, bahwa Indonesia berada dalam kawasan yang menjadi ajang kontestasi dominasi (hegemoni) dua kekuatan besar dunia yaitu Amerika Serikat dan China. Mereka terus berusaha meningkatkan hegemoninya di kawasan Indo-Pasifik yang dipandang sebagai pusat pertumbuhan dunia.
Keempat, Sistem Pendidikan Nasional kita saat ini berdasarkan Undang-Undang Nomor: 20 Tahun 2003 lebih menekankan pada kompetensi global, namun sangat lemah dalam pendidikan karakter sosial budaya dan karakter Kebangsaan. Oleh karena itu, mendesak kebutuhan akan revisi undang-undang Sisdiknas kita sehingga memungkinkan penekanan pendidikan karakter dan pendidikan kebangsaan dimulai sejak Paud sampai SMA.