Oleh: Wahidin Hasan *)
SEMARANG, MENARA62.COM – Kata qurban (قربان) berasal dari kata qaruba (قَرُبَ) yang berarti mendekat. Qurban berarti sesuatu yang digunakan untuk mendekatkan diri kepada Allah.
Kurban adalah ibadah menyembelih hewan ternak (kambing, sapi, unta) pada hari Iduladha (10 Dzulhijjah) dan hari-hari Tasyriq (11–13 Dzulhijjah) sebagai upaya taqarrub (pendekatan diri) kepada Allah.
Imam Al-Razi dalam Tafsir al-Kabir menjelaskan, kurban sebagai simbolisasi ketaatan total manusia, dan perintah Allah kepada Nabi Ibrahim hanyalah sarana “uji keimanan” tertinggi.
Maka,Iduladha bukan sekadar tentang daging dan darah hewan sembelihan. Ia adalah panggilan spiritual, pengingat abadi akan pengorbanan Nabi Ibrahim dan putranya Ismail — sebuah kisah yang tak lekang oleh waktu, tentang tunduknya kehendak manusia di hadapan kehendak Tuhan.
Allah berfirman dalam Surah Al-Hajj ayat 37:
لَنْ يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلَا دِمَاؤُهَا وَلَٰكِنْ يَنَالُهُ ٱلتَّقْوَىٰ مِنكُمْ
“Daging-daging dan darahnya itu tidak akan sampai kepada Allah, tetapi yang sampai kepada-Nya adalah ketakwaan kalian…”
Dalam tafsir Ibn Katsir, dijelaskan bahwa kurban bukan tentang materi. Allah tidak menginginkan daging itu untuk diri-Nya. Yang Dia kehendaki adalah ketundukan, ketulusan, dan keikhlasan.
Sebab itulah, setiap hewan yang disembelih adalah simbol dari ego yang harus ditaklukkan, cinta dunia yang harus ditinggalkan, dan keengganan untuk berbagi yang harus disembelih dari dalam hati manusia.
Meneladani Ibrahim: Menyembelih Dunia, Mendirikan Ketaatan
Ibadah kurban merupakan jejak spiritual dari keluarga Nabi Ibrahim. Ketika perintah menyembelih putra kesayangannya datang, Ibrahim tidak bertanya “mengapa?”, tapi ia bertanya “bagaimana pendapatmu wahai anakku?” (QS. Ash-Shaffat: 102).
Ismail pun menjawab dengan penuh iman:
يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ ۖ سَتَجِدُنِيٓ إِن شَآءَ ٱللَّهُ مِنَ ٱلصَّـٰبِرِينَ
“Wahai Ayah, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.”
Ibrahim dan Ismail, adalah sebuah potret keluarga tauhid: Ibrahim sebagai ayah yang patuh, Ismail sebagai anak yang sabar, dan Hajar sebagai ibu yang ikhlas. Allah lalu mengganti Ismail dengan sembelihan agung:
وَفَدَيْنَاهُ بِذِبْحٍ عَظِيم
“Dan Kami tebus (Ismail) dengan sembelihan yang agung.” (QS. Ash-Shaffat: 107)
Ibn al-Qayyim dalam Zād al-Maʿād menulis:
وَلَمْ يُشْرَعِ الْأُضْحِيَّةُ إِلَّا تَذْكِرَةً لِفِدَاءِ إِسْمَاعِيلَ وَاقْتِفَاءً لِآثَارِ الْإِيمَانِ
“Kurban disyariatkan sebagai pengingat tebusan Ismail dan peneladanan terhadap jejak iman yang nyata dalam rumah tangga Ibrahim.”
Ritual atau Revolusi Diri?
Setiap tahun kita menyembelih hewan kurban, tapi sudahkah kita menyembelih “sifat kebinatangan” dalam diri? berupa ego yang tak mau kalah, sifat tamak yang enggan berbagi, atau cinta terhadapsesuatu yang menyenangkan (hedonisme) dunia yang membuat kita lupa akhirat.
Kesejatian kurban: menyembelih apa yang menghalangi kita dari Allah.
Kurban bukanlah seremoni tahunan. Ia adalah latihan spiritual. Jika dikerjakan dengan kesadaran penuh, kurban akan menjadi jembatan menuju takwa, menuju jiwa yang bersih dari penyakit duniawi.
Kehidupan yang materialistik, hedonistik, menjadikan manusia bangga dengan pencapaian duniawi. Kurban hadir untuk menampar kesombongan itu. Ia berkata, “sejauh mana kamu mampu memberi?” bukan “sejauh mana kamu mampu membeli.”
Menyembelih Nafsu, Menegakkan Tauhid
Allah memerintahkan kita bukan sekadar untuk menyembelih hewan, tetapi juga untuk mendirikan shalat dan berkurban sebagai simbol ketundukan:
فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَٱنْحَرْ
“Maka dirikanlah salat karena Tuhanmu dan berkurbanlah.” (QS. Al-Kautsar: 2)
Antara shalat dan kurban, ada benang merah: totalitas penghambaan. Shalat menundukkan hati, kurban menundukkan jiwa dan dunia.
Jika shalat adalah dialog vertikal dengan Allah, maka kurban adalah ekspresi horizontal kepada sesama: berbagi, memberi, dan peduli.
Kurban Adalah Jalan Menuju Keseimbangan
Kurban mengajarkan bahwa kesalehan itu harus menyentuh dua ranah: spiritual dan sosial. Ibadah ini bukan hanya tentang meneteskan darah di bumi, tapi mengangkat derajat kemanusiaan.
Daging dibagikan, bukan disimpan. Artinya, iman bukan hanya untuk diri sendiri, tapi harus menebar manfaat bagi orang lain.
Maka lazim, Iduladha mejadi momentum titik balik. Sembelihlah segala kesombongan, kerakusan, kemalasan, dan ketidakpedulian. Gantikan dengan tauhid, ketulusan, kerja keras, dan kasih sayang.
Kurban bukan tentang seberapa besar kambing atau sapi yang di sembelih, tetapi seberapa besar pengorbanan untuk Allah dan kemanusiaan semesta.
Dalam al-Muwāfaqāt, Imam al-Shāṭibī menyatakan bahwa ibadah kurban adalah bagian dari maqāṣid al-syarī‘ah (tujuan syariat) yaitu:
Tazkiyat al-nafs (penyucian jiwa dari cinta dunia), Taqarrub ilallāh (pendekatan diri kepada Allah), Taqwiyah al-ta’āwun (penguatan solidaritas sosial).
Pesan aktual kurban bukan sekadar ritual, tapi etika sosial, kurban tak cukup hanya menyembelih hewan. Dalam konteks kekinian, kurban juga berarti: menyembelih ego pribadi demi kebaikan bersama,mengorbankan kenyamanan pribadi demi membantu sesama, dan menanggalkan kerakusan harta untuk membangun solidaritas sosial.
Semoga Allah menerima kurban kita, bukan karena bentuknya, tetapi karena ketakwaan yang menyertainya.
وَبَشِّرِ ٱلْمُحْسِنِينَ
“Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-Hajj: 37). ***
*)Penulis,wartawan senior, ringkasan materi ini disarikan dari khutbah Iduladha penulis di Perumahan Kradenan Kompleks Dosen Unnes Semarang
