25.4 C
Jakarta

Tarif 19% Itu Kemenangan Tersembunyi Indonesia

Baca Juga:

(Bagian-3 dari Seri “Diserang Tarif? Bersyukurlah)

Oleh: Budiawan, KAM Institute

JAKARTA, MENARA62.COM – “Kalau kita merasa kalah saat tarif kita 19%, lalu bagaimana dengan Vietnam yang dapat potongan lebih besar tapi kehilangan sebagian kedaulatan investasinya?”

Saat sebagian masyarakat Indonesia meributkan kesepakatan tarif 19% dengan Amerika Serikat, sebagian lainnya mulai bertanya: apakah ini benar-benar kerugian? Atau justru langkah taktis yang membuka peluang strategis?

Prof. Woo Wing Thye, pakar hubungan internasional dan perdagangan global, menyebut kesepakatan dagang ini sebagai win-win deal. Bahkan lebih dari itu—menurutnya, Trump yang mengalah lebih dulu.

Mengapa?
Di Balik Angka 19% Itu, Ada Tekanan Besar AS

Sebelum pertemuan, AS mengancam akan menaikkan tarif Indonesia menjadi 32%. Tapi setelah negosiasi, Indonesia berhasil menekan itu menjadi 19%, bahkan sambil menegosiasikan komitmen pembelian dari Indonesia.

Dan yang menarik: ini bukan hanya soal dagang. AS tengah putus asa mencari pijakan di Asia Tenggara, terutama untuk menahan ekspansi Tiongkok di Laut Cina Selatan. Indonesia, sebagai pemimpin ASEAN dan negara terbesar di kawasan, adalah kartu terpenting Washington.

Mengapa Trump Mau Mengalah Duluan?

Trump sedang butuh pencitraan sebagai “deal maker” dalam pemilu mendatang. Ia perlu menunjukkan bahwa Amerika bisa “menang” dalam perjanjian perdagangan. Indonesia membaca celah itu.

Profesor Woo mengatakan:
“Trump harus lapor bahwa ia sukses mengamankan kesepakatan dengan negara besar seperti Indonesia. Itu tekanan politik baginya.”

Artinya? Kita punya daya tawar. Bahkan setelah kesepakatan diteken, ruang negosiasi tetap terbuka. Kalau perlu, bisa dinegosiasi ulang.

Dibanding Vietnam, Indonesia Menang Bermartabat

Banyak orang Indonesia iri dengan Vietnam yang mendapat tarif lebih rendah. Tapi ada yang luput dari perhatian:

Untuk itu, Vietnam harus berkomitmen membatasi ekspor ulang produk China dan membatasi investasi Tiongkok.

Artinya? Vietnam mengorbankan sebagian kedaulatannya.

Indonesia tidak. Kita tetap bebas menjalin hubungan dagang dengan siapa saja. Kita tetap “bersahabat dengan semua orang”. Inilah strategi yang disebut Profesor Woo sebagai multi-alignment diplomacy.

Dan itulah kekuatan kita:
“Tidak tunduk pada satu blok. Tapi dihormati semua pihak.”

Pemenang dan Pecundang: Siapa Untung, Siapa Tersingkir?

Tak bisa dimungkiri, kesepakatan ini akan mengguncang sektor tertentu. Produk pangan murah dari AS seperti ayam, jagung, atau gandum bisa membanjiri pasar kita.

Yang tidak siap bersaing akan terpukul.

Tapi di sisi lain, peluang besar terbuka untuk sektor industri dan manufaktur Indonesia:
* Ekspor barang industri bernilai tambah
* Akses pasar AS untuk produk elektronik, tekstil, dan otomotif
* Kapasitas produksi dan ekspor meningkat

Kalau kita bijak, kerugian sebagian sektor bisa ditutupi oleh lonjakan di sektor lain—dengan catatan: negara hadir untuk memfasilitasi transisi dan melindungi yang rentan.

Indonesia, ASEAN, dan Masa Depan Perdagangan Global

Kesepakatan ini bukan cuma tentang Indonesia. Ini jadi preseden penting bagi ASEAN. Dunia melihat:
“Kalau Indonesia bisa membuat AS tunduk, kenapa negara ASEAN lain tidak?”

Indonesia kini berada di posisi istimewa untuk memimpin desain kebijakan eksternal ASEAN, terutama dalam melindungi sistem perdagangan bebas global yang adil.

Kita bukan lagi objek diplomasi dagang.
Kita jadi subjek. Kita mengatur permainan.

Fondasi untuk Pembangunan Jangka Panjang

Kesepakatan dagang ini bukan akhir.
Ini awal dari perjuangan panjang untuk transformasi ekonomi.

Kombinasi antara:
* Perjanjian dengan AS
* Keanggotaan BRICS
* Kerja sama dagang dengan Eropa

…semua itu meletakkan batu pertama untuk investasi besar-besaran:
* Dalam infrastruktur keras — jalan, pelabuhan, logistik
* Dalam infrastruktur lunak — SDM, universitas, gizi anak, teknologi pendidikan

Kalau kita bisa mengelola ini dengan baik, bukan tak mungkin Indonesia keluar dari middle-income trap dalam satu dekade ke depan.

Tarif 19% Itu Alarm, Bukan Ancaman

Tarif ini bukan cambuk hukuman. Ia seperti jam weker keras kepala yang membangunkan kita dari tidur panjang.

Kita terlalu lama nyaman jadi pasar.
Terlalu lama merasa aman dengan ekspor mentah.
Terlalu malas membangun pabrik, melatih insinyur, dan menciptakan brand sendiri.

Sekarang waktunya berubah.

Kalau Trump saja bisa “dipaksa mengalah”, berarti kita sudah berada di jalur yang benar.
Tinggal satu pertanyaannya:
Apakah kita siap memimpin permainan ini?
Atau tetap puas menjadi penonton yang sibuk mengeluh di pinggir lapangan?


Jakarta, 21 Juli 2025

Referensi:
Woo says: Prabowo played it right, https://youtu.be/wYTeO5wg-tc?si=H02qWYv5BSZ65ueW

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!