25.4 C
Jakarta

Payment ID Indonesia: Jembatan Baru Menuju Ekosistem Keuangan yang Lebih Cerdas, Tangguh, dan Transparan – Tapi Siapa yang Sebenarnya Diuntungkan?

Baca Juga:

Oleh: Budiawan, KAM Institute

JAKARTA, MENARA62.COM – Kadang, teknologi menyusup begitu halus ke dalam hidup kita. Tak terdengar langkahnya, tak terasa beratnya—tahu-tahu sudah duduk di ruang tengah, menata ulang cara kita bekerja, berbelanja, bahkan berpikir. Ia datang bukan dengan ancaman, tapi dengan janji: kemudahan, efisiensi, kecepatan. Dan kita pun, sebagai pengguna, jarang diberi waktu untuk bertanya: apa yang kita korbankan dalam prosesnya?

Tanggal 17 Agustus 2025, di tengah gegap gempita perayaan kemerdekaan, Bank Indonesia meluncurkan sistem Payment ID. Banyak orang mungkin tak terlalu peduli. Toh hanya sebatas kode identitas pembayaran, pikir sebagian besar. Tapi bila dilihat lebih dalam, sistem ini membawa kita pada titik balik penting: saat seluruh aktivitas finansial warga negara—dari saldo dompet digital, pinjaman online, transaksi bank, hingga cicilan kendaraan—disatukan dalam satu nomor, satu identitas, satu pintu data.

Sebuah transformasi besar sedang dipersiapkan di balik layar sistem keuangan nasional. Tepat pada Hari Kemerdekaan ke-80 Republik Indonesia, Bank Indonesia (BI) berencana meluncurkan Payment ID, sebuah inisiatif yang digadang-gadang bukan hanya akan merombak cara kita bertransaksi, tetapi juga membuka jalan menuju era baru integrasi data finansial yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Di balik jargon digitalisasi dan modernisasi sistem pembayaran, terdapat pertanyaan yang lebih mendalam dan sangat relevan untuk diajukan: sebenarnya, siapa yang akan paling diuntungkan dari semua ini—rakyat atau negara?

Payment ID: Membuka Seluruh Jejak Finansial Anda dalam Sekejap

Secara sederhana namun berdampak besar, Payment ID akan menyatukan seluruh aktivitas keuangan seseorang—baik yang tercermin melalui pendapatan rutin, transaksi harian, pembayaran pajak, hingga investasi pribadi—ke dalam satu sistem berbasis kode unik yang dikaitkan langsung dengan Nomor Induk Kependudukan (NIK). Dengan sistem ini, jejak digital finansial Anda tidak lagi berserakan di banyak platform, melainkan terkonsolidasi dalam satu wadah data terpadu.

Apakah ini sekadar alat pengawasan? Tidak sepenuhnya. Bank Indonesia meyakinkan bahwa masyarakat juga akan merasakan manfaat nyata dari sistem ini, terutama dalam konteks kemudahan akses layanan keuangan dan perlindungan dari kejahatan siber.

Apa yang Bisa Dinikmati Masyarakat Biasa?

Bayangkan Anda seorang wirausaha kecil yang ingin mengajukan pinjaman ke bank. Dulu, prosesnya bisa melelahkan: tumpukan dokumen, wawancara, dan proses verifikasi yang memakan waktu. Namun dengan Payment ID, cukup satu kali klik persetujuan di ponsel Anda—bank bisa langsung melihat keseluruhan profil keuangan Anda, dari gaji bulanan hingga transaksi dompet digital, semua tersaji rapi dan tervalidasi. Ini jelas memangkas waktu, energi, dan bahkan rasa frustrasi.

Lebih jauh lagi, sistem ini juga digadang-gadang mampu mendeteksi transaksi yang menyimpang dari pola normal, yang mungkin mengindikasikan adanya penipuan atau ancaman keamanan finansial. Ini berarti, secara tidak langsung, uang Anda lebih aman dari tangan-tangan jahil yang kerap mengincar celah digital.

Keuntungan Sistemik yang Nyaris Tak Tertandingi Bagi Negara

Namun, jika kita menilik lebih dalam, manfaat Payment ID bagi pemerintah—khususnya Bank Indonesia dan Kementerian Keuangan—tampaknya jauh lebih strategis, berdampak sistemik, dan bahkan bersifat jangka panjang.

Bagi Bank Indonesia:

BI akan punya kemampuan baru yang sangat presisi dalam memetakan kesehatan keuangan bukan hanya pada level individu, tetapi juga secara sektoral dan nasional. Misalnya, jika muncul gejala gelembung ekonomi di sektor tertentu, Payment ID memungkinkan deteksi dini sebelum krisis menyebar. Ini tak ubahnya seperti memiliki radar finansial yang mampu menangkap riak-riak kecil sebelum menjadi badai.

Dalam konteks Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme (APU PPT), sistem ini juga menjadi alat baru yang sangat mumpuni. Tidak ada lagi transaksi mencurigakan yang lolos hanya karena dilakukan lewat e-wallet kecil atau akun anonim—semuanya bisa dilacak ke satu identitas tunggal: Anda.

Dan tentu saja, data granular ini akan menjadi bahan bakar emas untuk menyusun kebijakan moneter. BI akan tahu persis bagaimana masyarakat membelanjakan uangnya, kapan mereka menabung, di sektor mana mereka berinvestasi, sehingga kebijakan suku bunga atau stimulus ekonomi bisa lebih tajam dan akurat sasaran.

Bagi Kementerian Keuangan:

Bagi Kemenkeu, ini seperti diberi “mata ketiga” dalam melihat aktivitas ekonomi nasional. Bayangkan jika pemerintah tahu secara real-time siapa saja yang punya penghasilan namun belum terdaftar sebagai wajib pajak. Atau bagaimana pemerintah bisa menyalurkan subsidi secara lebih cermat karena datanya menunjukkan siapa yang betul-betul layak dibantu. Semua itu bukan lagi imajinasi, melainkan keniscayaan jika Payment ID benar-benar berjalan sesuai rencana.

Tak kalah penting, sistem ini juga membuka jalan untuk mempersempit ruang gerak sektor ekonomi informal atau shadow economy—praktik ekonomi yang sebelumnya luput dari pencatatan resmi kini bisa mulai dikenali dan dimasukkan dalam perencanaan fiskal.

Belajar dari Dunia: Payment ID Bukan Ide Baru, Tapi Eksekusinya yang Membuat Beda

Kalau Anda merasa pernah mendengar sistem seperti ini sebelumnya, Anda tidak salah. Beberapa negara telah lebih dulu mencicipi manis dan pahitnya sistem serupa.

India, misalnya, punya Aadhaar—sistem biometrik yang menjangkau hampir seluruh warganya. Dipadukan dengan UPI, mereka menciptakan jaringan pembayaran instan yang sangat efisien, bahkan untuk penduduk pedesaan. Di sana, pembukaan rekening atau pengajuan kredit bisa dilakukan hanya dengan sidik jari.

Singapura punya MyInfo, platform data pribadi yang bisa dibagikan dengan instansi swasta dengan persetujuan pemilik data. Proses pengajuan kredit atau pendaftaran layanan pun jadi jauh lebih cepat dan minim dokumen.

Tiongkok melangkah lebih jauh lewat Sistem Kredit Sosial yang mengumpulkan data dari berbagai aspek kehidupan. Di sini, finansial hanyalah satu bagian kecil dari penilaian perilaku sosial secara menyeluruh.

Indonesia tampaknya mengambil jalur tengah: tidak seekstrem Tiongkok dalam pengawasan sosial, tapi juga tidak seterbuka India dalam urusan akses data oleh pihak swasta. Payment ID berada di jalur pragmatis—mengintegrasikan data keuangan dengan kendali ketat terhadap persetujuan individu.

Siapa Diuntungkan? Mari Kita Bicara Persentase

Kalau harus membuat estimasi kasar, manfaat yang dipetik pemerintah dari sistem ini kemungkinan berada di kisaran 60-70 persen dalam jangka panjang. Pemerintah mendapat kontrol lebih besar atas sistem ekonomi nasional, akurasi kebijakan fiskal dan moneter yang jauh meningkat, serta efisiensi dalam pengumpulan pajak dan penyaluran bantuan.

Di sisi lain, masyarakat tetap mendapatkan manfaat yang tak bisa diabaikan—sekitar 30-40 persen, jika dikalkulasi dari segi kecepatan layanan, kenyamanan transaksi, keamanan dana, hingga potensi hadirnya produk-produk keuangan yang lebih personal dan relevan dengan kebutuhan mereka.

Apakah ini berarti masyarakat kalah untung? Tidak juga. Karena ketika negara bisa mengelola ekonomi dengan lebih efektif dan transparan, pada akhirnya efek positifnya akan kembali juga ke masyarakat dalam bentuk stabilitas, pelayanan publik yang lebih baik, serta pertumbuhan ekonomi yang lebih sehat.

Catatan Kritis: Jangan Lupa Soal Privasi

Namun, satu hal yang harus selalu jadi pengingat bersama adalah privasi dan keamanan data. Sebagus apa pun sistemnya, jika masyarakat tidak merasa aman dan percaya bahwa datanya dikelola dengan etis, transparan, dan bisa dikontrol penggunaannya, maka sistem ini bisa berbalik arah menjadi sumber keresahan.

Bank Indonesia sendiri telah menegaskan komitmen terhadap perlindungan data, termasuk pentingnya consent-based system, di mana pengguna selalu diberi pilihan untuk menyetujui atau menolak pembagian data mereka.

Payment ID adalah langkah besar—bukan hanya dari sisi teknologi, tapi juga dari segi filosofi negara dalam mengelola hubungan antara warga dan data mereka. Ini bisa menjadi alat emansipasi ekonomi, atau justru instrumen kontrol yang menakutkan—semua tergantung pada bagaimana sistem ini dijalankan. Satu hal yang pasti: kita sedang menuju era di mana data, sekali lagi, menjadi kekuatan paling menentukan dalam kehidupan finansial kita.

Penutup: Kita Berhak Punya Ruang Privat, Bahkan di Era Digital

Di tengah gempuran teknologi, ada satu hal yang tak boleh hilang dari warga negara: hak untuk menyimpan sebagian dari hidupnya sendiri, tanpa campur tangan negara atau korporasi.

Kemerdekaan sejati bukan hanya soal memilih pemimpin, atau bersuara di ruang publik. Tapi juga soal menentukan sendiri batas antara yang bisa dibagikan dan yang layak disimpan sendiri.

Payment ID, jika disalahkelola, akan membuat batas itu makin kabur. Maka, sebelum semuanya terlambat, kita harus bersuara: bukan untuk menolak kemajuan, tapi untuk memastikan bahwa kemajuan itu tidak mengorbankan hak paling mendasar kita sebagai manusia—hak untuk tidak selalu terlihat, hak untuk tidak selalu dibaca, hak untuk kadang-kadang… menjadi diam. (*)

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!