JAKARTA, MENARA62.COM– Proses pencalonan hakim konstitusi di DPR untuk menggantikan Prof. Arief Hidayat yang akan memasuki masa pensiun menuai kritik tajam. Pasalnya, pencalonan yang mengusung nama tunggal Inosentius Samsul dinilai tidak memenuhi prinsip transparansi dan partisipasi publik sebagaimana diamanatkan undang-undang.
Tahapan fit and proper test telah berlangsung sejak 20 Agustus 2025. Namun, publik mempertanyakan keterbukaan proses sebelumnya, mulai dari pendaftaran, seleksi administrasi, hingga penetapan calon. Kritik ini salah satunya disampaikan Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Esa Unggul, Prof. Juanda.
“Pasal 19 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dengan jelas mengamanatkan pencalonan hakim konstitusi dilakukan secara transparan dan partisipatif. Artinya, nama calon harus dipublikasikan di media massa agar masyarakat dapat memberi masukan,” ujar Juanda.
Lebih lanjut, ia menekankan ketentuan Pasal 20 ayat (2) UU Nomor 7 Tahun 2020 yang mengatur proses seleksi harus objektif, akuntabel, terbuka, dan transparan. “Kalau masyarakat tidak tahu kapan pendaftaran dibuka, siapa yang mendaftar, dan siapa yang lolos seleksi, bagaimana bisa berpartisipasi?” tambahnya.
Menurut Juanda, kondisi ini menimbulkan anomali dalam praktik demokrasi. “Pemilihan seharusnya memberikan pilihan. Kalau hanya ada calon tunggal, itu bukan pemilihan melainkan penunjukan. Ini mengingkari makna demokrasi,” tegasnya.
Ia juga mengingatkan bahwa pelanggaran terhadap prinsip transparansi dan partisipasi dapat berdampak serius pada legitimasi. “Jika norma Pasal 19 dan 20 tidak dipedomani, proses pencalonan bisa dinilai cacat hukum. Akibatnya, keabsahannya patut dipertanyakan dan bahkan bisa dibatalkan,” jelas Juanda.
Profesor hukum tata negara itu menyayangkan praktik serupa pernah terjadi sebelumnya dan kini kembali diulang. “Elit kita sering kali menampilkan demokrasi semu dalam proses pemilihan pejabat negara. Padahal, rakyat menaruh harapan agar DPR memberi teladan dengan taat konstitusi,” tuturnya.
Ia menutup kritiknya dengan pesan moral: “Sudah saatnya kita berbenah. DPR harus konsisten dengan prinsip konstitusi agar masyarakat mendapat pendidikan hukum dan politik yang sehat, bukan sebaliknya.” (*)
