Oleh: Budiawan, Cangkrukan
JAKARTA, MENARA62.COM – Pernah dengar cerita koruptor yang masuk penjara, tapi hartanya tetap aman? Bahkan diwariskan ke anak-cucunya? Inilah masalah besar yang mau diatasi lewat RUU Perampasan Aset.
Intinya sederhana: negara bisa menyita harta hasil kejahatan meskipun pelakunya tidak divonis pidana. Kalau koruptor keburu meninggal, kabur, atau sakit permanen, uang hasil kejahatannya tetap bisa dirampas.
Dampak Positif bagi Rakyat
1. Uang kembali ke rakyat → bisa dipakai untuk sekolah, rumah sakit, subsidi, hingga infrastruktur.
Menurut KPK, nilai aset rampasan negara sepanjang 2023 mencapai lebih dari Rp500 miliar. Angka ini masih kecil dibanding potensi kerugian negara akibat korupsi yang mencapai puluhan triliun.
2. Mengurangi beban pajak → negara tidak harus menutup kebocoran anggaran lewat pajak baru.
3. Keadilan sosial → rakyat kecil lega karena orang kaya dengan harta tak wajar bisa diperiksa.
4. Efek jera → koruptor tak bisa lagi bersembunyi di balik keluarga atau perusahaan cangkang.
Dampak Negatif yang Perlu Diwaspadai
1. Salah sasaran → tanah warisan rakyat tanpa sertifikat bisa dianggap “aset tak wajar”.
2. Alat politik → kalau tebang pilih, bisa jadi senjata untuk menekan lawan politik.
3. Korupsi baru → aset rampasan yang besar nilainya berisiko diselewengkan lagi.
> Kasus BLBI menunjukkan bagaimana aset sitaan sering mangkrak, bahkan berkurang nilainya karena tak dikelola transparan.
4. Rasa takut → masyarakat jadi khawatir menabung atau investasi besar.
Contoh Baik dari Negara Lain
* Italia: sejak 1980-an, Italia punya aturan perampasan aset mafia. Banyak tanah, perusahaan, dan properti hasil kejahatan mafia disita lalu dialihkan untuk kepentingan sosial, misalnya jadi lahan pertanian koperasi rakyat. Hasilnya, mafia kehilangan basis ekonomi, rakyat mendapat manfaat nyata.
* Hong Kong: melalui Independent Commission Against Corruption (ICAC), harta pejabat dan pengusaha yang tak bisa dibuktikan asal-usulnya bisa disita. Ini membuat korupsi di Hong Kong turun drastis sejak 1970-an.
Contoh Buruk yang Pernah Terjadi
* Filipina (era Marcos): hukum perampasan aset dipakai bukan hanya untuk mengejar harta hasil korupsi, tetapi juga sebagai alat politik untuk membungkam oposisi. Banyak aset oposisi disita dengan alasan “tidak wajar”, padahal lebih karena motif politik.
* Beberapa negara Afrika: aturan serupa justru menimbulkan korupsi baru. Aset yang sudah dirampas masuk ke lingkaran pejabat berkuasa, bukan kembali ke rakyat. Akhirnya rakyat tetap miskin, elit makin kaya.
Jurang Besar: Kerugian Negara vs Aset yang Kembali
Inilah fakta yang bikin kita miris: nilai aset yang berhasil dirampas negara masih sangat kecil dibanding kerugian akibat korupsi.
* Menurut KPK (2023), nilai aset rampasan negara sepanjang tahun itu sekitar Rp500 miliar.
* Tapi menurut ICW, total kerugian negara akibat korupsi sejak 2016–2022 mencapai lebih dari Rp200 triliun.
* Kasus besar seperti BLBI saja menyisakan kewajiban lebih dari Rp100 triliun, yang hingga kini belum seluruhnya berhasil dipulihkan.
Artinya, selama ini yang kembali ke kas negara baru sebatas remah-remah, sementara yang lenyap sudah ratusan triliun rupiah.
Inilah jurang besar yang coba dijembatani oleh RUU Perampasan Aset. Kalau aturan ini dijalankan dengan benar, potensi pemulihan aset bisa melompat dari sekadar miliar ke skala triliunan rupiah — sesuatu yang benar-benar bisa mengubah wajah pembangunan.
Jadi, Harus Bagaimana?
RUU Perampasan Aset bisa jadi revolusi hukum di Indonesia. Bayangkan kalau triliunan rupiah hasil korupsi bisa dipakai untuk membangun sekolah gratis, memperbaiki rumah sakit, atau membantu UMKM.
Tapi ingat, tanpa pengawasan publik dan aturan main yang transparan, RUU ini bisa berubah jadi bumerang: rakyat bisa dirugikan, sementara elit malah makin kuat.
Karena itu, rakyat perlu ikut mengawasi:
* Apakah aset benar-benar kembali untuk publik?
* Apakah aturan diterapkan adil, tidak tebang pilih?
* Apakah ada transparansi dalam pengelolaan hasil rampasan?
Kesimpulan:
RUU Perampasan Aset adalah pisau bermata dua. Dipakai dengan adil, ia jadi senjata ampuh melawan korupsi. Disalahgunakan, ia bisa jadi alat politik dan merugikan rakyat.
—
Referensi
* Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). (2023). Laporan Tahunan KPK 2023.
* Tempo. (2024). “RUU Perampasan Aset: Antara Harapan dan Kekhawatiran.”
* ICW. (2023). Tren Penindakan Kasus Korupsi 2016–2022.
* Kompas. (2023). “Potensi Kerugian Negara dari Korupsi Capai Puluhan Triliun.”
