SOLO,MENARA62.COM – Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) kembali menyelenggarakan kajian tafsir Al-Qur’an bersama Dr. Ainur Rha’in, S.Th.I., M.Th.I., Lektor Program Studi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir (IQT) Fakultas Agama Islam (FAI). Dalam kesempatan ini, Ainur mengupas makna mendalam dari Surat Al-Baqarah yang mengandung banyak pesan tentang keimanan, ketakwaan, dan progresivitas peradaban Islam.
Ainur menjelaskan bahwa kata “Al-Baqarah” sering disalahartikan oleh sebagian besar masyarakat sebagai “sapi betina”. Menurutnya, huruf ta’ marbuthoh pada akhir kata tersebut tidak selalu menandakan jenis kelamin betina.
“Dalam kisah Bani Israil, baqarah berarti seekor sapi, tanpa disebutkan jenis kelaminnya. Mereka hanya disuruh untuk membeli sapi. Namun karena mereka terlalu banyak bertanya, justru Allah memberi syarat yang mempersulit mereka sendiri,” jelasnya, Jumat (24/10).
Ia melanjutkan, surat yang turun di Madinah ini membahas berbagai aspek: akidah, syariat hukum, sejarah Bani Israel, serta moral dan sosial. Menurutnya, surat Al-Baqarah bukan sekadar bacaan, tetapi benteng spiritual yang mendatangkan keberkahan dan menolak keburukan.
“Rasulullah bersabda bahwa membaca Al-Qur’an khususnya Surat Al-Baqarah akan membawa keberkahan dan perlindungan dari gangguan setan. Orang yang di dalam dirinya ada Al-Qur’an, hatinya akan kuat dan tidak mudah terguncang,” ujarnya.
Selain itu, ia juga menyoroti keunikan huruf mukhata’ah seperti Alif Lam Mim yang membuka surat ini. Huruf mukhata’ah merupakan huruf yang dibaca secara terpisah, tanpa menggunakan harakat seperti huruf dalam Al-Qur’an pada umumnya.
“Huruf mukhata’ah itu huruf yang dibaca terpisah-terpisah. Kalau dalam kaidah bahasa Arab itu kan huruf ada harus ada harukatnya, nah ini huruf dibaca dengan huruf mati dan terpisah-pisah. Masing-masing huruf itu terpisah, makanya disimpul dengan mukoto’a, terpisah antara huruf satu dengan huruf yang lainnya,” pungkasnya.
Ainur menyebut makna sesungguhnya dari Alif Lam Mim ini tidak pernah diketahui oleh siapapun, bahkan Rasulullah SAW. Banyak ulama menafsirkan Alif Lam Mim dengan makna yang sangat beragam. Ia melanjutkan, hal ini dikarenakan setiap kitab suci memiliki rahasia yang hanya diketahui oleh Allah saja.
“Al-Quran itu menurut Ibn Uthaymiyah, ada yang hanya dipahami oleh Allah saja. Ada yang dipahami oleh Nabi Muhammad SAW, ada yang dipahami oleh ulama, dan ada yang dipahami oleh orang yang bisa bahasa Arab. Dan ini termasuk yang hanya dipahami oleh Allah,” jelas Ainur.
Menurutnya, Alif Lam Mim mengandung semangat progresif — sebuah dorongan bagi umat Islam untuk terus memperbaiki diri dan masyarakat. “Jadi, Alif Lam Mim pada zaman modern ini adalah semangat dan jiwa progresivitas yang menghadirkan perbaikan. Berani mematahkan sistem feudalis, kapitalis, sosialis, atau sistem-sistem yang tidak sesuai dengan syarat Islam,” tuturnya.
Ainur menjelaskan makna ayat kedua, “Zalikal kitabu laa raiba fihi hudan lil muttaqin”, bahwa Al-Qur’an adalah petunjuk tanpa keraguan bagi orang-orang bertakwa.
“Petunjuk Al-Qur’an hanya akan dirasakan oleh orang-orang yang bertakwa — mereka yang beriman kepada yang gaib, menegakkan salat, menafkahkan hartanya di jalan Allah, dan meyakini hari akhir,” jelasnya.
Lebih lanjut, Ainur juga menekankan bahwa memahami Al-Qur’an tidak cukup hanya dengan membaca saja, tetapi harus disertai dengan penghayatan dan penerapan nilai-nilainya dalam kehidupan sehari-hari. Menurutnya, Al-Qur’an adalah pedoman hidup yang membimbing manusia menuju kebahagiaan dunia dan akhirat.
“Al-Qur’an bukan sekadar bacaan untuk dilombakan atau dikhatamkan. Ia adalah petunjuk kehidupan. Kalau hanya dibaca tanpa dipahami, kita hanya mendapatkan pahalanya. Tapi jika dipahami dan diamalkan, kita akan mendapat hidayah yang sesungguhnya,” tegasnya.
Ainur juga menyampaikan bahwa umat Islam perlu meneladani semangat Surat Al-Baqarah dalam membangun peradaban yang berkeadilan. Ia menilai, pesan-pesan dalam surat ini relevan dengan tantangan masyarakat modern, khususnya dalam menjaga nilai moral, kejujuran, dan tanggung jawab sosial.
“Surat Al-Baqarah mengajarkan keseimbangan antara hubungan dengan Allah dan sesama manusia. Ini sangat penting di era modern, ketika banyak orang sibuk membangun karier, tapi melupakan nilai-nilai spiritual,” jelasnya.
Ia juga menambahkan bahwa sifat orang bertakwa sebagaimana disebut dalam ayat-ayat awal surat Al-Baqarah mencakup iman yang kuat, konsistensi dalam beribadah, serta kepedulian sosial terhadap sesama.
“Ketakwaan sejati bukan hanya diukur dari seberapa sering kita beribadah, tapi juga dari seberapa besar manfaat kita bagi orang lain. Orang bertakwa itu hatinya hidup, peka terhadap sekitar, dan selalu berusaha memberi keberkahan,” tambahnya.
Di akhir kajian yang dilaksanakan pada Kamis (23/10) itu, Ainur mengajak peserta untuk menjadikan Al-Qur’an sebagai sumber inspirasi dalam setiap aspek kehidupan — baik pribadi, sosial, maupun profesional.
“Kalau umat Islam benar-benar memahami Al-Qur’an, tidak akan ada yang tertinggal. Kita akan menjadi umat yang unggul, karena nilai-nilai dalam Al-Qur’an selalu mendorong kemajuan, keadilan, dan keseimbangan,” tutupnya. (*)
