YOGYAKARTA, MENARA62.COM – Fenomena foto olahraga jalanan kini menjadi sorotan publik. Di berbagai sudut kota, fotografer tampak aktif membidik momen para pelari, pesepeda, dan komunitas olahraga outdoor. Aktivitas yang semula bernuansa seni dan dokumentasi sosial, kini berkembang menjadi peluang bisnis baru. Namun, di balik itu, muncul pertanyaan penting: apakah praktik ini melanggar privasi individu?
Artikel yang diterbitkan di laman resmi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) berjudul “Foto Olahraga Jalanan: Antara Potensi Bisnis dan Pelanggaran Privasi” mengulas bagaimana tren ini mengaburkan batas antara kreativitas, kebebasan berekspresi, dan hak privasi.
Potensi Bisnis dari Foto Olahraga Jalanan
Dengan meningkatnya minat masyarakat pada gaya hidup sehat dan olahraga luar ruang, permintaan terhadap dokumentasi visual juga meningkat. Fotografer jalanan melihat peluang untuk menjual hasil jepretan mereka kepada individu atau komunitas olahraga.
“Foto-foto tersebut sering kali menjadi konten promosi atau bahkan komoditas komersial,” ungkap Dr. Fajar Junaedi, S.Sos., M.Si., dosen Ilmu Komunikasi UMY dalam artikelnya. Tren ini membuka ruang kolaborasi antara fotografer independen, platform media sosial, hingga brand olahraga yang mencari citra autentik dari aktivitas masyarakat.
Namun, pergeseran dari aktivitas dokumentatif menjadi bisnis visual justru menimbulkan perdebatan etis — terutama ketika foto diambil tanpa izin atau digunakan untuk tujuan promosi tanpa persetujuan subjek.
Privasi dan Etika di Ruang Publik
Meski ruang publik terbuka untuk umum, hak privasi seseorang tetap melekat. Pengambilan gambar tanpa izin, apalagi untuk kepentingan komersial, berpotensi melanggar hak moral dan perlindungan data pribadi.
Menurut Fajar Junaedi, isu privasi digital semakin relevan di era teknologi pengenalan wajah dan distribusi foto daring. “Tanpa regulasi yang jelas, potret seseorang dapat beredar luas, dimonetisasi, atau dimanipulasi tanpa sepengetahuan pemilik wajahnya,” ungkapnya
Menemukan Titik Seimbang: Kreativitas vs Privasi
Fotografi jalanan, sejatinya, memiliki nilai artistik dan dokumenter. Tantangan utamanya kini adalah bagaimana menjaga etika dan transparansi dalam praktiknya.
Beberapa prinsip yang disarankan antara lain:
Meminta izin atau memberikan pemberitahuan kepada subjek sebelum memotret.
Tidak menggunakan foto individu untuk kepentingan komersial tanpa persetujuan tertulis.
Membangun kesadaran publik tentang hak-hak privasi visual.
Dia menegaskan, “Kreativitas fotografer tidak boleh mengorbankan kenyamanan dan hak individu di ruang publik.”
Perlu Aturan Jelas dan Edukasi Etika Digital
Artikel UMY juga menyerukan pentingnya edukasi literasi digital dan penguatan regulasi privasi visual di Indonesia. Saat fotografi publik menjadi bagian dari budaya digital, perlindungan terhadap subjek foto perlu diatur lebih tegas.
Dengan demikian, fotografi olahraga jalanan dapat terus berkembang sebagai ekspresi kreatif dan peluang bisnis, tanpa mengabaikan etika dan hak asasi manusia.
Kesimpulan
Tren fotografi olahraga jalanan menunjukkan bagaimana dunia digital membuka peluang ekonomi baru. Namun, di balik setiap bidikan kamera, ada tanggung jawab sosial yang tak kalah penting: menghormati privasi, menjaga etika, dan menempatkan manusia sebagai pusat dari setiap karya visual.
Fenomena foto olahraga jalanan di Indonesia membuka peluang bisnis baru, namun juga menimbulkan persoalan etika dan privasi. UMY menyoroti pentingnya keseimbangan antara kreativitas dan perlindungan hak individu di ruang publik. (*)

