YOGYAKARTA, MENARA62.COM – Partai masih merupakan pabrik utama kader pemimpin bangsa, di tingkat lokal maupun nasional. “Sumber rekrutmen elite, terutama governing elite, suka atau tidak suka masih berasal dari kader partai politik,” ungkap Prof. Zainuddin Maliki, anggota Dewan Pakar DPP Partai Amanat Nasional di depan peserta Sekolah Kepemimpinan Nasional (SKN) yang diselenggarakan Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) PP Muhammadiyah, di Kaliurang, Yogyakarta, Sabtu (15/11/2025).
Menanggapi pertanyaan peserta, mengenai rendahnya sejumlah lembaga survei dalam menempatkan posisi partai politik terkait kepercayaan publik, anggota DPR RI periode 2019-2024 itu mengatakan bahwa partai politik di Indonesia sejauh ini memang masih berada pada fase transisi dari politik tokoh ke politik system atau kelembagaan.
“Masalah utamanya yang penting bukan sekadar siapa yang memimpin, melainkan bagaimana kepemimpinan itu membangun kultur demokrasi di dalam partai dan di tengah masyarakat,” ungkap mantan Rektor Universitas Muhammadiyah itu .
Prof. Zainuddin mengapresiasi LHKP PP Muhammadiyah menyediakan ruang penguatan kapasitas bagi generasi muda untuk membangun kepemimpinan berbasis visi, gagasan besar, dan komitmen kebangsaan melalui Sekolah Kepemimpinan Nasional. “Kaderisasi yang sehat dan meritokratis yang terus diperjuangkan oleh PAN merupakan fondasi penting untuk mengembalikan politik pada orientasi nilai dan pelayanan publik,” tegasnya.
Sesuai dengan pengertiannya, politik memang seni mengejar kekuasaan. Namun demikian menurut penerima MKD DPR RI Awards 2022 itu, sebagai partai politik, PAN bukan hanya berusaha memperkuat struktur kelembagaan partai untuk mengejar kekuasaan. Sejauh ini PAN berusaha menguatkan kepemimpinan inklusif sekaligus transformatif. “Sebagai kader saya percaya PAN dapat hadir sebagai partai politik yang mampu membangun kepercayaan publik untuk mendorong pendayagunaan asset yang dimiliki negara guna mewujudkan kesejahteraan rakyat,” tegas guru besar ilmu-ilmu sosial itu..
Acara ini dihadiri peserta dari berbagai daerah seluruh Indonesia, mulai dari aktivis, akademisi, hingga kader persyerikatan Muhammadiyah. Diskusi berlangsung dinamis dengan berbagai isu, termasuk tantangan demokrasi digital, peran masyarakat sipil, dan urgensi menghadirkan pemimpin yang kuat secara moral serta mampu menjawab persoalan bangsa secara strategis.
Pada intinya transformasi partisipasi politik partai merupakan keniscayaan dan hal itu menuntut kepemimpinan yang etis, pendidikan politik warga, dan komitmen terhadap ideologi. “Tanpa itu, kehadiran partai politik akan kering tanpa makna substantif bagi rakyat dan demokrasi,” pungkasnya. (*)

