31.7 C
Jakarta

Pelajaran dari Raja Mayadenawa: Jangan Sombong

Baca Juga:

Bagi masyarakat Hindu nusantara, Hari Raya Galungan merupakan rainan jagat atau perayaan semesta. Hari Raya yang utama. Galungan adalah perayaan kemenangan Dharma (kebaikan) melawan Adharma (kejahatan), penanda saat pasukan yang mendapat berkat Dewa Indra berhasil mengalahkan Raja Mayadenawa yang jahat.

Perihal sepak terjang Mayadenawa, pertamakali dibuat filmnya pada tahun 1970 dengan judul “Prabu Mayadanawa”. Dianggap film kolosal pertama Bali yang produksi Bhaskara Film, dengan durasi 3 jam. Kebetulan pemain utama perempuannya adalah tante saya, almarhumah Wirani. Tepatnya, beliau istri om, adik nomer 3 Bapak saya. Konon tante merupakan salah satu perempuan paling cantik Bali pada zamannya. Itu cerita tersendiri. Dalam film ini, tante berperan sentral sebagai Luh Hapsari, anak Mpu Sangkul Putih, seorang maharesi revolusioner yang berjuang untuk menjatuhkan Raja Mayadenawa.

Pada tahun 1970-1980-an saat kepemilikan televisi masih jarang, film tersebut sering diputar sebagai layar tancap dari desa ke desa. Terutama saat rangkaian hari raya Galungan. Namun justru setelah teknologi semakin maju, film kolosal klasik seperti ini agaknya terlupakan.

Menurut kisah secara turun-temurun, Mayadenawa adalah raja Bali yang berkat ketekunannya berhasil mendapatkan berkat para dewa dan menjadi sakti mandraguna. Namun kesaktiannya membuatnya sombong, mementingkan diri sendiri dan tidak mengizinkan rakyat untuk bersembahyang, kecuali menyembah dirinya. Akhirnya seorang pendeta Bernama Mpu Sangkul Putih bermeditasi dan mengupayakan bantuan untuk menjatuhkan Mayadenawa yang kejam.  Akhirnya raja tersebut berhasil digulingkan.

Kisah Prabu Mayadenawa mengandung banyak nilai filosofis, perjuangan rakyat yang dilakukan dengan keyakinan yang tinggi seperti yang dimiliki Mpu Sangkul Putih dan pasukan yang melawan Raja Mayadenawa. Mereka akhirnya berhasil untuk mendapatkan hak-hak dan kemenanganya. Sebaliknya, keserakahan dan kesombongan hanya akan membawa pada kejatuhan.

Raja Mayadenawa yang pada awalnya sangat dihormati dan disegani, hidupnya berakhir dengan kehinaan. Ia terpaksa melarikan diri, berubah wujud berulang kali agar tidak dikenali, sampai akhirnya berhasil dibunuh. Diakhir kehidupannya, ia tidak punya kemuliaan lagi. Bahkan kematiannya malah disambut dengan kegembiraan, sebagai hari kemenangan. Demikian pelajaran yang bisa dipetik.

Penulis: Pande K. Trimayuni, (Sekjen, DPP Ikatan Cendekiawan Hindu Indonesia/ICHI)

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!