SOLO, MENARA62.COM — Sebuah polemik mengenai mekanisme pengangkatan imam salat mencuat di salah satu desa di Jawa Tengah. Isu yang awalnya bersifat internal tak urung menjadi perbincangan publik setelah jabatan imam masjid diperdebatkan secara terbuka oleh dua pihak yang masing-masing merasa paling berhak mengemban amanah tersebut.
Perselisihan dipicu oleh tindakan seorang imam masjid yang diberhentikan oleh otoritas berwenang dan kemudian tidak terima.
Hal tersebut tersebut mencuat dalam forum dialog keagamaan bersama jamaah di Masjid Agung Surakarta. Forum yang dipadati warga itu menghadirkan Pengasuh Pesantren Raudlatul Muhibbin Al Mustainiyyah sekaligus Pengurus Bidang Dakwah DMI Surakarta, KH. Ahmad Muhammad Mustain Nasoha, sebagai narasumber untuk memberikan penjelasan dari perspektif fikih.
Pada sesi pemaparan, KH. Mustain menegaskan bahwa keimaman salat tidak ditentukan oleh klaim subjektif siapa yang merasa lebih alim, ataupun oleh tingkat senioritas, popularitas, atau dukungan kelompok tertentu. Menurut beliau, syariat telah menjelaskan dengan tegas siapa pihak yang memegang otoritas pengangkatan imam di masjid, dan persoalan ini tidak dapat diserahkan pada penilaian individu.
“Masalah pengangkatan imam salat bukan arena klaim kealiman, bukan kontestasi jabatan,” tegas KH. Mustain di hadapan jamaah.
Lebih jauh, beliau menerangkan bahwa fikih telah mengatur hierarki otoritas penunjukan imam masjid secara rinci dalam turats (kitab klasik). Berdasarkan rujukan tersebut, yang berhak mengangkat imam adalah Imâmul-A‘zham, wakilnya, Nâdzir (pengurus masjid yang bertanggung jawab), atau sesuai ketentuan wâqif (orang yang mewakafkan masjid). Dengan demikian, keabsahan seorang imam tidak didasarkan pada siapa yang mengaku paling alim, melainkan pada siapa yang ditunjuk melalui otoritas syariat yang sah.
Mustain mengutip pernyataan ulama dalam Kitab Hasyiyah al-Jamal ‘ala Syarh al-Manhaj, juz 1 hal. 531:
(قَوْلُهُ فَإِمَامٌ رَاتِبٌ وَلَوْ فَاسِقًا، وَالإِمَامُ الرَّاتِبُ مَنْ وَلاهُ النَّاظِرُ أَوْ كَانَ بشرط الواقف)
Yang artinya: “Yang dimaksud imam ratib (imam tetap), meskipun fasik, adalah orang yang diangkat oleh nâdzir (pengurus masjid) atau berdasarkan syarat wâqif (pewakaf masjid).”
Lebih lanjut, Ketua Komisi Fatwa MUI Surakarta ini juga merujuk Kitab Hasyiyah al-Bujairimi ‘ala Syarh Minhaj ath-Thullab (1/311):
(وَقُدِّمَ وَال بِمَحَلِّ وِلايَتِهِ) (فَإِمَامٌ رَاتِبٌ – الى ان قال فَأَفْقَهُ فَأَقْرَأُ فَأَوْرَعْ)
yang menjelaskan bahwa imam ratib memiliki prioritas dalam keimaman, dan hanya jika tidak ada imam ratib maka didahulukan orang yang paling faqih, kemudian yang paling baik bacaan Qur’annya, lalu yang paling wara‘.
Mustain menutup penjelasannya dengan mengutip Kitab Tanuwirul Qulub(172):
وَالسَّادِسُ مَنْ تُخْتَارُ إِمَامَتُهُ… فَيُقَدَّمُ الإِمَامُ الأعظم … فَالإِمَامُ الرَّاتِبُ الَّذِي لَمْ يُوَلِّهِ الإِمَامُ الْأَعْظَمُ، فَإِنْ وَلاهُ فَهُوَ مُقَدَّمٌ عَلَى الوَالِي ، وَالإِمَامُ الرَّاتِبُ مَنْ وَلَاهُ الإِمَامُ الأَعْظَمُ أَوْ نائبه أو النَّاظِرُ أو كانَ شَرط الواقف
yang pada intinya menyebutkan bahwa pihak yang berhak mengangkat imam adalah Imâmul-A‘zham (otoritas tertinggi umat Islam), wakilnya, nâdzir masjid, atau berdasarkan ketetapan wâqif.
Dengan demikian, berdasarkan kajian fikih, imamah masjid adalah keputusan otoritas bukan penilaian pribadi dan bukan ajang kompetisi kealiman. KH. Mustain menegaskan bahwa masyarakat tidak perlu terprovokasi oleh klaim individu.
“Imam itu sah bukan karena ia merasa paling alim, tapi karena ia diangkat oleh pihak yang berwenang. Ketika otoritas itu sah, maka salat di belakangnya sah,” tegas KH. Mustain.
Beliau mengajak masyarakat agar tidak menjadikan masjid sebagai tempat perebutan prestise, melainkan ruang ibadah dan ketenangan.
“Masjid adalah rumah Allah. Keutamaan imam itu ada pada ketakwaan dan amanah, bukan pada ambisi.”
Dengan penjelasan ini, diharapkan jamaah dapat memahami posisi imam dalam koridor fikih, menghormati keputusan pengurus masjid, dan menjaga persatuan umat. (*)

