SOLO, MENARA62.COM – Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) menggelar kuliah umum internasional yang menghadirkan dua pembicara dari Sapience Institute, yakni Sheikh Hamza Andreas Tzortzis dan Sheikh Fahad Tasleem. Acara tersebut dilaksanakan pada Jumat (19/12) di Ruang Seminar Pascasarjana UMS.
Mewakili Rektor UMS, Sekretaris Universitas Andy Dwi Bayu Bawono, S.E., M.Si., Ph.D. mendukung kolaborasi ini. Menurutnya, kerja sama dengan Sapience Institute dapat memperkaya wawasan civitas academica UMS, yang diharapkan dapat diimplementasikan di dalam kegiatan pembelajaran.
“Kami berharap civitas academica UMS dapat menggali pengetahuan baru dari dua pembicara berkelas dunia ini,” ujar Andy dalam sambutannya.
Andy menambahkan Sapience Institute adalah organisasi nirlaba yang berbasis di London, Inggris. Organisasi ini didirikan oleh Hamza Andreas Tzortzis dan berfokus pendidikan Islam, pemberdayaan individu, dialog, dan dakwah Islam.
“Semoga ilmu yang diberikan dapat diamalkan oleh dosen dalam kegiatan pembelajaran di UMS,” harapnya optimis.
Dalam kesempatan ini, Hamza Andreas Tzortzis memaparkan presentasi bertajuk “The Problem of Evil and the Rise of Youth Atheism”. Hamza mengatakan ateisme muncul sebab banyaknya penderitaan yang tersebar di penjuru dunia.
“Logika ini tidak rasional dan cenderung emosional. Orang ateis mengatakan Tuhan seharusnya punya kekuasaan untuk menghapus penderitaan umat manusia,” ujar Hamza yang menjabat sebagai CEO Sapience Institute itu.
Dalam setiap kasus, Allah memiliki kebijaksanaan dan pengetahuan yang tidak diketahui oleh manusia. Hal itu merupakan penjabaran dari Asmaul Husna, Al-Hakim, yang bermakna Maha Adil. Itulah sebab Allah dapat mengizinkan terjadinya penderitaan di muka bumi. Di saat bersamaan, Allah juga menebar bahagia kepada umat manusia.
Tugas utama manusia, kata Hamza, adalah memilih langkah yang baik atau yang buruk. Opsi ini akan menghadang kehidupan manusia manakala menerima berbagai cobaan. “Baik ujian dalam bentuk yang menyenangkan, maupun ujian berupa penderitaan,” tegas dia.
Hamza mendorong umat Islam untuk terus percaya pada Allah dan bersyukur atas segala yang terjadi dalam hidup. Penderitaan maupun kebahagiaan, keduanya adalah hal yang harus dihadapi dengan rasa syukur dan keikhlasan. Dengan demikian, umat Islam tidak akan mempertanyakan kehadiran Tuhan dalam kehidupan manusia.
Sementara Sheikh Fahad Tasleem berkesempatan memaparkan topik bertajuk “Artificial Intelligence: Undermining of Elevating Religious Narratives?”. Fahad membahas perubahan sosial akibat kehadiran AI dalam kehidupan manusia modern.
Revolusi AI, kata dia, akan mengambil ide dan gagasan seseorang dan memberikannya kepada orang lain. Keberadaan AI yang tidak dibarengi dengan melatih kecerdasan manusia akan membuat otak manusia lebih lemah.
Fahad menjelaskan AI dapat menyebabkan dampak degenerasi kognitif, kontrol informasi oleh pihak lain, biar moral dan etika yang ditentukan oleh nonmuslim, serta dampak psikologis dan emosional. “Contohnya ada AI yang bisa meniru orang yang telah meninggal, baik suara maupun visual,” kata dia.
Islam menghadapi tantangan besar di tengah era perkembangan AI. Fahad menegaskan Islam tidak seharusnya dipersempit menjadi sekadar agama. “Islam adalah worldview dengan sistem lengkap, yakni etika, sosial, politik, ekonomi,” imbuh Fahad.
Oleh karena itu, AI yang dibangun dari sudut pandang nonmuslim berpotensi memengaruhi umat muslim secara halus. Musababnya, paham barat memiliki nilai moral yang berbeda dengan falsafah Islam.
Fahad mendorong umat Islam untuk sadar akan bahaya sekaligus potensi dari AI. tidak boleh pasif dan harus ikut mengembangkan AI yang sejalan dengan cara pandang Islam. “Umat Islam juga harus bijak dalam menggunakan AI,” tandasnya. (*)
