27.8 C
Jakarta

Tzu Chi, NU, dan Muhammadiyah: Mengapa yang Kecil Justru Tampak Lebih Kokoh?

Baca Juga:

(Catatan tentang filantropi, kesabaran membangun institusi, dan perbedaan cara memaknai kekuasaan)

Oleh: Budiawan

JAKARTA, MENARA62.COM – Indonesia kerap dipuji sebagai bangsa dermawan. Zakat, infak, sedekah, dan wakaf mengalir nyaris tanpa henti. Ketika bencana datang, bantuan cepat terkumpul. Ketika kemiskinan tampak, solidaritas segera bergerak. Kita tahu cara menolong.

Namun di balik semua itu, ada pertanyaan yang jarang diajukan dengan tenang: mengapa kedermawanan sebesar ini jarang melahirkan institusi filantropi yang benar-benar kokoh, terstandar, dan berumur panjang?

Pertanyaan ini sering muncul—meski tidak selalu diucapkan—ketika publik membandingkan dengan lembaga seperti Tzu Chi. Sebuah nama yang mungkin belum sepenuhnya akrab bagi banyak orang Indonesia, tetapi kerap hadir dalam senyap setiap kali terjadi bencana besar.

Sekilas tentang Tzu Chi

Tzu Chi adalah yayasan kemanusiaan yang didirikan pada 1966 di Hualien, Taiwan, oleh Master Cheng Yen, seorang biksuni Buddha. Ia bermula dari gerakan sederhana: tiga puluh ibu rumah tangga yang menyisihkan uang receh setiap hari untuk membantu keluarga miskin. Dari awal yang nyaris tak terlihat itu, Tzu Chi berkembang menjadi organisasi kemanusiaan global yang kini aktif di lebih dari 70 negara.

Fokus kegiatannya mencakup bantuan bencana, layanan kesehatan, pendidikan, dan pelestarian lingkungan. Di Indonesia, Tzu Chi dikenal lewat respons cepat pada berbagai bencana, serta pembangunan rumah sakit, sekolah, dan media non-komersial. Meski berakar pada nilai Buddhisme, Tzu Chi tidak bergerak sebagai lembaga dakwah agama dan menyalurkan bantuan tanpa membedakan latar belakang penerima.

Tzu Chi dan Kesabaran yang Tidak Populer

Yang menarik dari Tzu Chi bukan semata jangkauan globalnya, melainkan orientasinya. Sejak awal, mereka tidak berhenti pada bantuan darurat. Bantuan penting, tetapi bukan tujuan akhir. Tujuan akhirnya adalah membangun sistem yang tetap bekerja bahkan ketika sorotan publik telah pergi.

Rumah sakit Tzu Chi tidak dirancang murah, tetapi bermartabat. Sekolahnya tidak gratis, tetapi berfungsi sebagai mesin subsidi silang. Media mereka tidak riuh, tetapi konsisten. Semua itu lahir dari satu pilihan yang jarang disukai: menunda kepuasan jangka pendek demi kekuatan jangka panjang.

Di sini filantropi dipahami bukan sebagai luapan emosi, melainkan sebagai disiplin.

NU dan Muhammadiyah: Institusi yang Sesungguhnya Sudah Dibangun

Penting dicatat: filantropi Islam di Indonesia tidak berdiri di ruang kosong. NU dan Muhammadiyah bukan hanya organisasi dakwah, melainkan pembangun institusi sosial dalam skala besar dan nyata.

NU, melalui jaringan pesantrennya, telah lama menjadi tulang punggung pendidikan rakyat. Ribuan pesantren—dari yang sederhana hingga modern—menjadi ruang mobilitas sosial bagi jutaan anak dari keluarga kurang mampu. Dalam dua dekade terakhir, NU juga mulai memperluas perannya ke sektor kesehatan dan pendidikan tinggi.

Muhammadiyah melangkah lebih awal dalam pelembagaan modern. Jaringan sekolah dan universitasnya tersebar dari kota besar hingga daerah terpencil. Rumah sakit Muhammadiyah–Aisyiyah berjumlah ratusan dan menjadi rujukan layanan kesehatan di banyak daerah. Di bidang ekonomi, Muhammadiyah mengelola berbagai amal usaha yang menopang keberlanjutan institusinya.

Dengan kata lain, institusi itu sudah ada, bekerja, dan menyentuh kehidupan jutaan orang setiap hari.

Tambang dan Cara Berbeda Memaknai Kekuasaan

Dalam beberapa waktu terakhir, publik menyaksikan fenomena baru: keterlibatan organisasi keagamaan dalam pengelolaan konsesi tambang. Bagi sebagian kalangan, ini dibaca sebagai peluang kemandirian ekonomi. Bagi yang lain, ia memunculkan kegelisahan moral—tentang jarak antara misi keagamaan dan eksploitasi sumber daya alam.

Menariknya, di sinilah perbedaan kepemimpinan menjadi tampak. NU dan Muhammadiyah, sebagai organisasi besar dengan basis umat luas, memilih merespons peluang negara ini secara pragmatis dan kontekstual. Keputusan tersebut tidak lahir dari ruang hampa, melainkan dari pertimbangan kesejahteraan umat, kemandirian finansial, dan relasi dengan negara.

Tzu Chi mengambil jalan yang berbeda. Hingga kini, organisasi ini secara konsisten menjauh dari sektor ekstraktif. Bukan karena tidak mampu, melainkan karena sejak awal mereka menempatkan pelestarian lingkungan sebagai bagian dari etika kemanusiaan. Daur ulang, pengurangan sampah, dan gaya hidup sederhana menjadi pesan moral yang dijalankan, bukan sekadar dikampanyekan.

Perbedaan ini tidak perlu dibaca sebagai benar–salah. Ia lebih tepat dipahami sebagai cermin: bahwa setiap institusi memiliki cara sendiri dalam memaknai kekuasaan, sumber daya, dan batas etis dari pertumbuhannya.

Lalu Di Mana Letak Perbedaannya?

Perbedaannya bukan pada ada atau tidaknya institusi, melainkan pada tingkat orkestrasi dan konsistensi nilai. Banyak pesantren NU unggul secara lokal. Banyak rumah sakit Muhammadiyah maju secara mandiri. Namun konsolidasi nasional selalu menjadi pekerjaan panjang.

Tzu Chi, dengan skala yang lebih kecil, memilih membangun sedikit institusi dengan standar yang dijaga ketat dan nilai yang relatif seragam. Tidak ada rumah sakit “kelas dua”, sebagaimana tidak ada kompromi terhadap prinsip yang sejak awal mereka pegang.

Di sini perbedaan itu menjadi soal desain organisasi dan gaya kepemimpinan, bukan kapasitas atau niat baik.

Dari Menolong ke Membangun

Indonesia tidak kekurangan orang baik. Yang masih kita cari adalah kesabaran kolektif untuk membangun. Dari filantropi yang menenangkan hati, menuju filantropi yang menegakkan institusi.

Mungkin pertanyaannya bukan lagi apakah umat mampu. Kita tahu jawabannya. Pertanyaannya lebih sunyi dan lebih berat:
apakah kita bersedia membatasi diri, menata kekuasaan, dan menunggu—agar yang kita bangun hari ini tetap bermakna, bahkan ketika godaan untuk menjadi besar terbuka lebar?

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!