JAKARTA, MENARA62.COM — Pakar Hukum Tata Negara Prof. Jimly Assiddique menilai seyogyanya perundang-undangan yang ada di Indonesia dikembangkan bukan atas dasar hukum semata tetapi juga etika. Sebab Indonesia adalah negara dimana negara dengan agama tercipta dalam hubungan layaknya saudara.
“Sedemikian dekat urusan negara dengan agama, maka kita lihat sistem konstitusi kita sarat akan reiligi dan etika,” papar Jimly pada Diskusi Panel Serial (DPS) dengan tema ATHG dari Dalam Negeri yang digelar Yayasan Suluh Nuswantara Bakti (YSNB) dan Forum Komunikasi Putra Putri dan Purnawirawan TNI/Polri (KPPI), Sabtu (7/10/2017).
Karena itu sudah seyogyanya perundang-undangan yang dikembangkan tidak hanya berdasar pada hukum semata juga etika. Ini dimaksudkan agar permasalahan ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan (ATHG) dalam negeri dapat diselesaikan dengan lebih baik.
“Saat hanya mendasarkan pada hukum, yang terjadi hanya menang dan kalah, sehingga menumbuhkan ketidakpuasan yang dapat memicu bangkitnya ATHG dalam negeri. Karena itu sudah seyogyanya pendekatan yang ada lebih kini harus lebih mengedepankan pendekatan etika,” kata Jimly.
Sementara itu menurut Yudi Latif, Kepala Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila, untuk mengurangi berkembangnya ATHG dalam negeri, maka pemerintah perlu membuat Pancasila menjadi lebih operasional dalam kehidupan dan ketatanegaraan, sanggup memenuhi kebutuhan praktis atau pragmatis dan bersifat fungsional.
“Salah satu cara dalam mengoperasionalkan Pancasila adalah melalui cara meradikalisasi Pancasila. Radikalisasi Pancasila adalah mengembalikan Pancasila sebagai ideologi negara, mengusahakan Pancasila mempunyai konsistensi dengan produk-produk perundangan, koherensi antarsila, dan korespondensi dengan realitas sosial, dan Pancasila sebagai kritik kebijakan negara,” kata Yudi Latif.
Di tempat yang sama, M. Kaelan, Guru Besar Filsafat UGM menyatakan jika banyak peraturan perundangan yang ternyata dapat menyebabkan munculnya ATHG dalam negeri. Seperti misalnya dihilangkannya kedaulatan rakyat dalam MPR, atau adanya lembaga tinggi negara seperti DPD yang merupakan lembaga yang tidak memiliki original power.
“Seharusnya segala potensi yang menyebabkan hadirnya ATHG dalam negeri yang lahir dari peraturan perundangan harus dicegah. Agar pelaksanaan kenegaraan kita dapat lebih terfokus,” kata Kaelan.