Oleh: Dr. M. Kapitra Ampera, SH., MH.
Negara Indonesia merupakan negara hukum (rechstaat) yang mana Negara dan Pemerintahannya berjalan berdasarkan Konstitusi. Konstitusi merupakan Kaidah yang tertuang dalam dokumen khusus yang dikenal dengan Undang-Undang Dasar. Konstitusi/UUD memuat aturan-aturan, konsep pemerintahan, prinsip hak asasi yang akan menjadi aturan dasar bagi Negara untuk membentuk aturan perundang-undangan yang fungsinya untuk membatasi kekuasaan agar tidak cenderung kepada kesewenangan dan mengandung substansi Perlindungan Hak Asasi Manusia sebagai sarana kontrol masyarakat terhadap kekuasaan negara.
Secara konseptual, pemerintahan Indonesia berbentuk demokrasi yang menjunjung tinggi sistem hukum untuk menjamin kepastian hukum (rechts zekerheids) dan perlindungan terhadap hak manusia (human rights) sebagai bentuk perwujudan dari kesejahteraan rakyat. Pada dasarnya, suatu negara yang berdasarkan atas hukum harus menjamin persamaan (equality) setiap individu, termasuk kemerdekaan individu untuk meggunakan hak asasinya. Dalam suatu negara demokrasi, kedaulatan sebagai kekuasaan tertinggi berada ditangan rakyat, posisi rakyat sebagai penguasa, kontrol, sekaligus kebebasannya menyuarakan pendapat dan mengkritik kebijakan yang dari pengusa yang mewakilinya. Democracy is government of the people, by the people and for people.
Belakangan ini media cetak maupun elektronik di hebohkan oleh reaksi masyarakat atas dugaan kebangkitan Partai Komunis Indonesia (PKI). PKI yang telah ‘mati’ lebih 50 Tahun yang lalu, namun bayang-bayang tindakannya masih menjadi trauma politik masyarakat Indonesia. Idiologi bawaan China dan Uni Soviet ini diyakini sebagai Anti Pancasila dengan mengedepankan Komunisme yang Anti Agama sementara Pancasila berdasarkan kepada Agama (Sila Pertama). Keberadaan PKI yang kemudian berakhir dengan konflik kekerasan ini, hingga kini menjadi traumatik kebangsaan, yang substansinya adalah kecurigaan, trauma terhadap kekerasan, pembantaian, krisis kemanusiaan, apakah PKI masih ada? Apakah PKI bangkit kembali?
Dalam upaya menangkal bangkitnya PKI, Pemerintah membuat aturan yaitu Tap MPRS Nomor 25 Tahun 1966 Tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia, Pernyataan Sebagai Organisasi Terlarang Diseluruh Wilayah Negara Republik Indonesia Bagi Partai Komunis Indonesia Dan Larangan Setiap Kegiatan Untuk Menyebarkan Atau Mengembangkan Faham Atau Ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme. Bahwa dengan adanya norma tersebut maka pemberontakan PKI telah gagal, yang pada mulanya menyebabkan seluruh elemen bangsa terpecah, menjadi bersatu dan menghadapi tantangan yang sama yaitu komunisme. Dalam perkembangannya, larangan ajaran komunisme/Marxisme-Leninisme juga dimasukkan dalam Pasal 107 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Bukan tak beralasan trauma dan ketakutan akan bahaya komunis tersebut kembali muncul. Terbitnya buku “Aku Bangga Jadi Anak PKI” dan “Anak PKI Masuk Parlemen” yang ditulis oleh Ribka Tjiptaning menjadi embrio bangkitnya kebanggaan atas faham komunisme yang nyata-nyata telah dilarang penyebarannya dalam bentuk apapun. Di tahun 2010, adanya pertemuan “temu kangen” eks anggota PKI dan Keturunannya yang dihadiri beberapa anggota DPR RI. Belum lagi banyaknya kedatangan Warga China yang merupakan negara penganut komunis terbesar ke Indonesia secara Illegal, dan adanya kerjasama Partai Politik Penguasa di Indonesia dengan partai Komunis Terbesar di China menimbulkan kecemasan akan menguatnya paham Komunisme di Indonesia. Bahkan, Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu pernah menyatakan pada Media bahwa TNI punya Data tentang Kebangkitan PKI.
Realitas Law Enforcement di Indonesia, dewasa ini berada pada kulminasi yang sangat kritis dan memprihatinkan. Banyaknya muncul kaos berlambang Palu-Arit (lambang Komunisme) merupakan pelanggaran hukum, namun ditengah upaya Kapolri yang saat itu dijabat oleh Badrodin Haiti dan Panglima TNI Gatot Nurmantyo untuk menghentikan penyebaran (sosialisasi) lambang komunis tersebut, Menko Polhukam Luhut B. Pandjaitan menyatakan kaos bergambar palu arit ini bisa jadi merupakan Trend anak muda, kemudian Presiden RI Joko Widodo malah memerintahkan Kapolri dan Panglima TNI untuk menghentikan Sweeping terhadap lambang-lambang PKI. Bukan menegakkan hukum, pemerintah malah nyata-nyata mendukung dan membiarkan Pelanggaran Hukum. Benar atau tidaknya kebangkitan PKI memang masih belum dapat dibuktikan secara konkrit, namun berbagai peristiwa yang terjadi merefleksikan adanya realita tersebut khususnya dengan mencermati komentar dan tindakan pemerintah.
Dan yang paling menghebohkan saat ini adalah Logo Bank Indonesia (BI) pada uang kertas yang dikaburkan sehingga yang terlihat diduga menyerupai gambar Palu Arit. Protes masyarakat bermunculan, apalagi setelah terbitnya design uang baru pada awal tahun 2017 yang ternyata masih menggunakan logo yang diduga seperti gambar Palu Arit. Adalah Habib Rizieq Syihab, Ulama Besar Islam yang berani menyuarakan kegelisahan masyarakat dan protesnya sebagai warga negara atas pelanggaran hukum yang dilakukan/dibiarkan oleh Pemerintah.
Pemerintah dan Pihak Bank Indonesia bersikap Iresponsible atas hal ini. Bukannya diapresiasi dan segera ditelusuri, Aspirasi rakyat melalui Habib Rizieq ini kemudian dianggap perbuatan Inkonstitusional yang menimbulkan Perpecahan, dan berujung akan dilakukannya pemeriksaan terhadap Habib Rizieq atas laporan oknum tertentu. Semakin terlihat adanya abuse of power pada pemerintahan ini, ketika masyarakat menyuarakan kritikan atas kontrolnya terhadap pemerintahan yang mengabaikan undang-undang, dianggap memicu kegaduhan. (State Crime in State Policy).
Tujuan Demokrasi di Indonesia telah gagal tercapai ketika pemerintah tidak lagi berjalan untuk rakyat. Kebebasan berpendapat yang menjadi terkukung, Pemerintah berkoar akan demokrasi kebebasan berpendapat, melahirkan banyak perundang-undangan namun bersikap tidak objektif dalam penegakannya. Jauh sebelum Undang-undang Indonesia mengatur, kebebasan mengeluarkan pandangan telah diatur dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration Of Human Rights) Pasal 19 yang berbunyi: “Setiap orang berhak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi, dalam hal ini mencakup kebebasan untuk berpegang teguh pada pendapat tertentu tanpa mendapatkan gangguan, dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan informasi dan ide/gagasan melalui media apa saja tanpa ada batasan”.
Secara tegas Undang-undang juga telah memberikan kebebasan bagi setiap orang dalam menyampaikan pendapat, diantaranya:
– Pasal 28 UUD 1945 : Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan atau tulisan, dan sebagainya ditetapkan dengan undang – undang
– Pasal 28E ayat 3 UUD 1945 : Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat
– Pasal 2 huruf a UU No. 9 Tahun 1998 Tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pandapat Di Muka Umum : Setiap warga Negara, secara perorangan atau kelompok bebas menyampaikan pendapat sebagai perwujudan hak dan tanggung jawab berdemokrasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
– Pasal 23 ayat 2 UU No 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia : Setiap orang bebas untuk mempunyai, mengeluarkan dan menyebarluaskan pendapat sesuai hati nuraninya, secara lisan dan atau tulisan melalui media cetak maupun elektronik dengan memperhatikan nilai-nilai agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum, dan keutuhan bangsa.
Bahwa disamping itu, koreksi atas pemerintahan yang tidak berjalan sebagaimana mestinya adalah hak sekaligus kewajiban dari masyarakat, hal ini disebut kan di dalam ketentuan pasal 8 ayat 1 dan pasal 9 ayat (1) huruf a dan c UU No. 28 tahun 1999 Tentang Penyelenggara Negara yang bersih dan bebas KKN, yang mana menyatakan bahwa:
Pasal 8 ayat (1) :
Peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan negara merupakan hak dan tanggungjawab masyarakat untuk ikut mewujudkan Penyelenggara Negara yang bersih.
Pasal 9 ayat (1):
Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 diwujudkan dalam bentuk:
a. hak mencari, memperoleh, dan memberikan informasi tentang penyelenggaraan negara;
c. hak menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggungjawab terhadap kebijakan Penyelenggara Negara;
Bahwa, perbuatan berani Habib Rizieq dalam menyampaikan kritikan, saran, dan pendapat sebagai suatu kegelisahaan masyarakat merupakan suatu pelaksanaan hak sekaligus kewajiban yang telah sesuai dengan undang-undang. Sementara itu, Habib Rizieq telah dilaporkan kepada pihak kepolisian dengan tuduhan melanggar ketentuan Pasal 28 ayat 1 dan ayat 2 Jo Pasal 45 ayat 2 Undang-undang No. 11 Tahun Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Jika pasal pada laporan dikaji, maka sesungguhnya apa yang disampaikan Habib Rizieq tidak memenuhi unsur tindak pidana yang dilaporkan, seperti:
– Pasal 28 ayat 1: Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik.
Unsur penting dari pasal ini adalah “mengakibatkan kerugian konsumen” (tot verliezen consument). Kritikan Habib Rizieq tidak ada hubungan dan kaitannya dengan kerugian konsumen karena bukan kritik tentang produk barang/jasa tertentu
– Pasal 28 ayat 2: Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA)
Unsur penting dari pasal ini adalah “menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA)” (creëert een gevoel van haat of vijandigheid van bepaalde personen of groepen op basis van etniciteit, religie, ras en intergroep). Kritikan Habib Rizieq tentang palu arit pada uang kertas tidak memenuhi unsur ini, karena logo Palu Arit merupakan Logo PKI yang dilarang oleh hukum Indonesia
Sesuai dengan UU No 28 Tahun 1999, Penyelenggara Negara dalam menjalankan pemerintahan semestinya harus berlandaskan Asas Keterbukaan yaitu membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang penyelenggaraan negara dan Asas Akuntabilitas yaitu setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan Penyelenggara Negara harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi. Sehingga pemerintah yang baik, tidak perlu takut dikritik namun harus mampu mencari solusi atas kegelisahaan masyarakat sehingga tujuan dari Negara Demokrasi yang berlandaskan Konstitusi dapat tercapai.
Ukuran kebenaran bukan terletak pada pendapat penyelenggara negaranya tapi haruslah berdasar pada Konstitusi dan Perundang-undangan lainnya. Perundang-undangan diatas menjamin hak dan juga merupakan kewajiban bagi warga negara untuk berperan serta dalam mengoreksi kebijakan pemerintah. Apalagi negara Indonesia yang dikatakan sebagai Negara Demokrasi, sangat pantas bila tindakan pemerintah harus memperhatikan aspirasi rakyat karena pemerintah bekerja untuk rakyat dan rakyat tidak bekerja untuk pemerintah sesuai dengan prinsip imperio populi, populi et populi.
Namun, fenomena yang terjadi saat ini pemerintahan tidak lagi berjalan secara Demokratis dan terlihat menuju Otoritarianisme. Rakyat semakin dijauhkan dari demokrasi, pemerintah terlalu sensitif dengan menganggap kritikan sebagai pemecah belah., sehingga nantinya masyarakat tak lagi bebas bicara karena dibayangi dengan proses hukum. Norma hukum mampu dikesampingkan oleh penguasa sesuai kehendaknya, salahkah bila disebut negara ini menuju Otoritarialisme? Iura et officia sunt correlativa; id est, si aliquis habet, erga alias personas respiciunt ius. Victorioso NKRI!... (MBN)
*) Dr. M. Kapitra Ampera, SH., MH. adalah anggota Tim Advokat GNPF-MUI Pusat.