31.2 C
Jakarta

Statistik Versus Statistrik dalam Quick Count

Baca Juga:

Oleh: Toni Toharudin

Perbedaan hasil quick count bisa saja terjadi pada pemilihan Kepala Daerah yang serentak akan dilaksanakan Tanggal 15 Pebruari 2017. Perbedaan tersebut akan menimbulkan keresahan di masyarakat. Oleh karena itu, penulis perlu memberikan gambaran tentang bagaimana proses QC ini dilakukan oleh lembaga survey.

QC mulai muncul di Indonesia saat pemilihan presiden Tahun 1999, setelah itu terus terdengar di berbagai peristiwa pemilihan kepala daerah baik Gubernur, Walikota/Bupati. Hasildari QC yang telah dilaksanakan pada waktu sebelumnya oleh berbagai lembaga survey tidak pernah jauh berbeda hasilnya antar lembaga survey dan hasilnya mendekati kebenaran.

QC selalu menjadi perbincangan banyak orang. Lalu mengapa QC ini bisa tepat memprediksi hasil yang sebenarnya. Apabila kita lihat secara ilmu statistik, bahwa untuk menaksir berapa persen perolehan suara dalam populasi menggunakan teknik penaksiran titik dengan memperhitungkan besar galat dalam penaksiran. Dari hasil taksiran tersebut dapat diperoleh nilai interval kepercayaan penaksiran. Besarnya galat dinyatakan dengan tingkat kekeliruan yang disebut alpha (1%, 5% atau bahkan 10%). Bila alpha sudah ditetapkan katakanlah 1%, maka dari 100 lembaga survey yang melakukan QC, peluang untuk melakukan kesalahan dalampenaksiranhanya 1 lembaga survey.

Secara Statistik dapat digambarkan sebagai berikut:

Kemudian yang tidak kalah pentingnya dalam QC adalah nilai margin error (ME). ME adalah setengah dari lebarnya interval penaksiran, berarti semakin kecil nilai dari ME, maka akan mempunyai presisi yang tinggi. ME dan Alpha mempunyai peran dalam menentukan berapa banyak TPS yang disampel (ukuran sampel)dalam QC. Selain itu, diperlukan informasi nilai proporsi awal (contoh: persentase perolehan suara kandidat A katakanlah 60%), apabila tidak ada informasi mengenai proporsi awal, maka ditetapkan oleh lembaga survey sebesar 50%.

Disain sampling sangat berperan dalam menentukan berapa banyak TPS yang harus disampel. Desain yang biasa digunakan dalam QC adalah multistage random sampling, desain ini sangat berbeda dengan desain sampling acak sederhana (simple random sampling/SRS). Ukuran sampel sampling acak sederhana sangat berbeda dengan ukuran sampel multistage random sampling, sehingga apabila desainnya multistage random sampling, maka ukuran sampelnya jangan yang diperoleh melalui SRS.

Misalnya, disain yang digunakan oleh lembaga survey adalah multistage random sampling yang terdiri dari 3 tahap. Dalam Pilkada provinsi tertentu, misal tahap pertama adalah stratifikasi berdasarkan kabupaten/kota agar seluruhkabupaten/kotaterwakili. Tahap kedua adalah memilih kecamatan yang ada di setiapkabupaten/kota secara random. Kemudian tahap ketiga adalah memilih TPS yang ada di setiap kecamatan terpilih secara random. Yang dikatakan random dalam tahap 2 dan tahap 3, seluruh kecamatan dan seluruh TPS mempunyai kesempatan yang sama untuk terpilih.

Pemilihan kecamatan dan TPS yang diarahkan atau di intervensi, mengakibatkan kerandomannya tidak terpenuhi, sehingga hasil penaksiran menjadi tidak valid.  Hal ini bukanlah statistik tapi “statistrik” karena menyalahi kaidah keilmuan.

Keputusan akhir hasil QC sangat ditentukan oleh selisih persentase antar pasangan/kandidat. Apabila selisihnya dibawah 1%, maka hasil QC tidak bisa dijadikan dasar kemenangan, karena dengan selisih yang sangat kecil akan terjadi seperti contoh sederhana pada gambar berikut:

 

Apabila selisihnya di atas 2 persen, makahasil QC akan mendekati kebenaran. Untuk menjaga kepercayaan publik, sebaiknya lembaga survey lebih terbuka mengenai metodologi (disain sampling, penentuan ukuran sampel dan metode pengacakan) yang digunakan dalam QC. (Penulis adalah Akademisi/Anggota MPI PP Muhammadiyah)

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!