Oleh: Ma’mun Murod Al-Barbasy
(Bagian Kedua Dari Tiga Tulisan)
Pertegas Sikap Tawasuth dan Tasamuh
Dalam konteks tawasuth dan tasamuh ini, saya tidak melihat bahwa Ahok itu cerminan dari pribadi yang tawasuth dan tasamuh. Sebaliknya, Ahok adalah pencerminan nyata dari seorang yang pandangannya ekstrim (tatharuf) terhadap Islam dan umat Islam, hampir mirip Donald Trump, fasis dan rasis, dan jauh dari sikap toleran (intoleran).
Dalam menyikapi kasus penistaan yang dilakukan Ahok, saya melihat bahwa sikap tawasuth dan tasamuh yang ditampilkan Muhammadiyah, terlebih NU belum benar-benar menggambarkan sikap yang adil dan pilihan.
Pada beberapa hal Muhammadiyah tampak lebih mampu menempatkan sikap tawasuth dan tasamuh-nya secara adil. Mesti tidak seperti FPI dan memang tidak boleh bersikap seperti FPI, Muhammadiyah relatif mampu menyelami perasaan umat Islam yang marah atas penistaan yang dilakukan Ahok. Menyikapi Aksi Damai 411 dan Aksi Super Damai 212, meski Muhammadiyah dan NU sama-sama membuat himbauan agar warganya tidak menggunakan simbol-simbol organisasi, namun realitasnya sikap jam’iyah Muhammadiyah lebih care terhadap jamaah Muhammadiyah dan umat Islam lainnya yang hendak mengikuti aksi tersebut. Bahkan pada Aksi Super Damai 212 entah berapa puluh mobil Ambulan Muhammadiyah yang diterjunkan di arena aksi tersebut. Kantor PP dan PW Muhammadiyah DKI Jakarta juga menjadi “markas” keberangkatan jamaah Muhammadiyah dan umat Islam lainnya yang hendak mengikuti aksi. Menyikapi aksi-aksi umat Islam ini, Muhammadiyah juga membuat beberapa kali pernyataan sikap yang senafas dengan perasaan umat Islam yang merasa dilecehkan oleh sikap Ahok.
Sedikit berbeda, sikap yang ditunjukan oleh NU dibaca oleh banyak pihak (setidaknya tergambar dari komentar-komentar di medsos: twitter, facebook, grup-grup whatapps) cenderung kurang adil dalam menempatkan sikap tawasuth dan tasamuh-nya. Sikap tawasuth yang ditunjukan NU terkesan melakukan pembiaran dan bahkan cenderung diam dan tidak menjunjung tinggi prinsip keadilan. Begitu juga sikap tasamuh-nya justru cenderung vis a vis secara intoto (menggunakan istilah yang sering digunakan Gus Dur dalam tulisan-tulisannya di tahun 1980-an) prinsip tasamuh itu sendiri. Sikap NU dibaca banyak kalangan sebagai pembela sikap intoleran yang ditampilkan Ahok.
Pembacaan yang kurang positif ini dalam banyak hal bisa dipahami kalau menilik kebijakan NU dan pernyataan-pernyataan elit NU. NU misalnya sampai harus membuat putusan bahtsul masail yang mengharamkan Jumatan di jalanan hanya beberapa hari menjelang Aksi Super Damai 212. Saya yakin, NU sebagai gudang ulama fiqh pasti sangat paham bahwa Jumatan di jalanan itu ikhtilaf di kalangan ulama madzhab.
Sikap jam’iyah Muhammadiyah, terutama NU yang terkesan lunak dalam menyikapi kasus Ahok telah memancing kelompok-kelompok Islam non-mainstream mengambil sikap yang dinilai berlebihan, meski saya menilainya masih dalam bingkai tawassuth dan tasamuh. Dalam kerangka demokrasi, tak ada hal yang dilanggar dari aksi-aksi damai yang dilakukan oleh kelompok-kelompok Islam non-mainstream. Mereka hanya melakukan aksi dan aksinya pun berlangsung santun dan damai.
Saya berkeyakinan, andai Muhammadiyah dan NU yang bersikap tegas, tentu akan lain ceritanya. Eskalasi politik Jakarta tak akan sepanas saat ini. Sikap tegas di sini tentu tak selalu identik dengan pengerahan massa lewat aksi-aksi demo. Cukup misalnya NU dan Muhammadiyah membuat pernyataan-pernyataan yang senafas atau setidaknya tidak menyakiti perasaan umat Islam sudah merupakan sikap tegas itu sendiri.
Dalam kapasitas sebagai interest group, Muhammadiyah dan NU juga bisa melakukan tekanan politik kepada Presiden dan Kapolri agar bersikap tegas dan adil dalam menangani kasus Ahok. Dan tekanan ini tentu sah dalam konteks demokrasi. Apalagi sikap yang dipertontonkan Ahok sejatinya telah mengangkangi nilai-nilai demokrasi, prinsip-prinsip toleransi, dan bahkan melabrak nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945.
Tentu akan lebih bagus kalau Ahok bisa menjadi tersangka karena tekanan atas sikap adil (tegas) yang dilakukan Muhammadiyah dan NU, sehingga tidak perlu terjadi kegaduhan. Tidak perlu juga ada Aksi Damai 411 dan Aksi Super Damai 212. Saya menduga Muhammadiyah dan NU tidak bersikap tegas karena khawatir dicap sebagai intoleran dan radikal. Padahal andai saja Muhammadiyah dan NU melakukannya, tak perlu ada kekhawatiran dicap intoleran dan radikal. Siapapun yang memahami secara adil atas penistaan yang dilakukan Ahok pasti akan paham dengan sikap atau tekanan yang dilakukan Muhammadiyah dan NU terhadap Presiden dan Kapolri. (Ma’mun Murod Al-Barbasy, Alumni Pesantren Bahrul Ulum Tambakberas Jombang, Dosen FISIP UMJ, sekarang menjadi Anggota Pleno Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kabupaten Bekasi)