Silaturahim, kunci untuk menyalakan semangat kehidupan manusia secara umum. Forumnya, dapat dilakukan dalam beragam kesempatan. Salah satunya seperti tradisi PP Muhammadiyah, yang menggelar Pengajian Rutin Bulanan Pimpinan Pusat Muhammadiyah pada hari Jumat pertama setiap bulan.
Pada, Jum’at (6/7/2018) malam, Ketua Umum PP
Muhammadiyah Haedar Nashir juga menekankan pentingnya silaturahim dalam kehidupan manusia secara luas.
“Silaturahim adalah ajaran Islam yang luar biasa kaya, konsep yang mengandung banyak aspek yang dibutuhkan oleh kehidupan manusia yang esensial,” ujar Haedar.
Menurut Haedar, silaturahim bukan sekadar menjalin yang sudah ada, tetapi bahkan menyambung kembali yang sudah terputus. Intinya mempertautkan persaudaraan. Awalnya persaudaraan senasab, lalu seiman, bahkan kemanusiaan universal. Perbedaan suku maupun ras tidak menghalangi persaudaraan karena kita semua berasal dari Adam.
Dalam konteks bangsa dan umat, menurut Haedar silaturahim memiliki urgensi yang lebih besar sebab berada mencakup tataran psikologis dan sosiologis.
“Untuk menyambung silaturahim, ada masalah ego dan kepentingan. Oleh karena itu silaturahim ajarannya mudah tapi aktualisasinya sulit. Bahkan sering terjadi terhadap saudara seiman. Ada ananiyah hizbiyyah, egoisme kelompok. Hanya gara-gara masjid, mazhab dan lainnya silaturahim rusak,” ujarnya.
Haedar berpesan, perbedaan politik juga jangan sampai memecahbelah anak bangsa, apalagi sampai putus silaturahim dan ingin membinasakan yang berbeda. Sebab politik adalah ranah kepentingan, hanya elit politiklah yang tahu di balik kebijakan karena mereka yang melakukan transaksi.
Pemahaman
Pada pengajian yang membawa tema “Silaturrahim untuk Kemajuan Umat dan Bangsa” tersebut, turut menjadi narasumber Ustadz Endang Mintarja dan da’i muda
Muhammadiyah Ustadz Adi Hidayat.
Menurut Adi Hidayat, nama Muhammadiyah yang diberikan oleh Kyai Haji Ahmad Dahlan saat mendirikannya merupakan visi sekaligus misi yang harus dipahami oleh warga Muhammadiyah.
“Di dalam Al Quran ada empat kali penyebutan nama Muhammad dan satu kali nama Ahmad. Muhammad sifatnya horisontal, hubungan sosial yang kuat sesama manusia sedangkan Ahmad bersifat vertikal, hubungan pribadi yang kuat dengan Tuhan,” ujar Adi.
“Jika kebaikan terhadap manusia hanya sangat bagus dalam satu aspek saja, orang Arab menyebutnya Mahmud. Tapi jika seluruh aspek, menjadi Muhammad. Jika hubungan baik terhadap Tuhan hanya sangat bagus dalam satu aspek, namanya Hamid. Tapi jika seluruh aspek namanya Ahmad. Nabi Muhammad memiliki keduanya, Muhammad dan Ahmad,” ujar Adi.
Sehingga menurut Adi, tidak mengherankan jika kemudian Kyai Dahlan memakai nama Muhammadiyah sebagai nama organisasi karena beliau ingin Muhammadiyah berbuat kebaikan secara maksimal di segala aspek horisontal. Sementara itu, berkaitan dengan tema silaturrahim, narasumber lainnya Endang Mintarja menyampaikan bahwa warga Muhammadiyah memiliki ciri dalam menyampaikan kritik.
“Setajam apapun kritik Muhammadiyah, selalu tidak pernah memakai kata-kata yang menghujat. Ini menjadi ciri Muhammadiyah. Muhammadiyah harus memainkan bagian untuk merekatkan pilar-pilar bangsa dan umat yang terpisah,” ujarnya.