JAKARTA- Peneliti-peneliti Pusat Penelitian (Puslit) Limnologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menyebut idealnya hanya boleh ada 543 unit keramba jaring apung (KJA) di Danau Toba untuk bisa membuat kualitas airnya baik (oligotrofik).
Peneliti hidrodinamika dan kualitas air Puslit Limnologi LIPI Hadiid Agita Rustini dalam media briefing di Jakarta, seperti dikutip dari Antara, Selasa (10/7) mengatakan, berdasarkan beberapa hasil simulasi interaksi komponen-komponen penyusun ekosistem Danau Toba, baik secara fisik, biologi, kimia hingga meteorologi didapatkan bahwa untuk mendapatkan kualitas air pada kondisi oligotrofik sesuai rekomendasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan Pemerintah Provinsi Sumatera Utara maka jumlah keseluruhan KJA tidak boleh lebih dari 543 petak atau unit.
Jika dengan teknik budi daya yang digunakan saat ini produksi ikan per KJA mencapai 2,63 ton per tahun, maka produksi ikan dari Danau Toba per tahun hanya boleh mencapai 1.428 ton. Angka tersebut, ujar Agita, sangat jauh di bawah rekomendasi pemerintah dan kajian-kajian sebelumnya yang menetapkan kebijakan total produksi KJA yang diperbolehkan di danau terbesar di Indonesia ini mencapai 10.000 ton per tahun.
Berdasarkan data citra satelit Spot 7 pada 2016, terdapat sekitar 11.282 unit KJA di Danau Toba, dan 80 persen berada ada di wilayah Kabupaten Simalungun, bahkan kepadatannya mencapai sekitar 1000 KJA per 300×300 meter (m).
Agita mengatakan kotoran atau feses dari ikan yang membuat kondisi perairan danau vulkanik yang terletak di tujuh kabupaten di Sumatera Utara ini buruk. “Kalau ada yang bilang itu dari pakan ikannya, saya rasa pembudidaya sangat memperhitungkan sisi ekonominya, tidak mungkin memberikan pakan terlalu banyak sehingga terbuang-buang,” ujarnya.
Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa pola arus di lapisan pertama air dengan kedalaman hingga satu meter dari permukaan danau mencapai 0,03 meter per detik. “Kesannya memang kecil, tapi ini air yang bergerak, jadinya besar sekali arusnya,” katanya.
Lokasi KJA, menurut Agita, berada di perairan dengan pola arus cenderung kecil, sehingga bahan polutan cenderung menetap di lokasi tersebut. Halanggaol menjadi daerah yang paling besar mengalami kerusakan, kondisi perairan oligotrofik hanya ditemui di kedalaman lebih dari 10 meter.
Dari simulasi yang telah dilakukan LIPI juga diketahui bahwa 22 aliran sungai yang mengarah ke Danau Toba tidak mencemari danau tersebut karena hanya mencapai tepian saja. Dan jika KJA ditekan hanya mencapai 500 unit maka perairan danau akan kembali baik, ujar Agita.
Rekomendasi untuk pariwisata
Kepala Puslit Limnologi LIPI Fauzan Ali mengatakan kajian daya dukung ekosistem Danau Toba melalui pendekatan yang mengintegrasikan pergerakan air (hidrodinamika) dengan seluruh material yang terkandung di dalamnya. Sehjngga hasil yang diperoleh mendekati kondisi alami.
Peneliti LIPI, lanjutnya, mensimulasikan hidrodinamika perairan Danau Toba vedetta ekosistem pendukungnya dengan sistem komputasi numerik. Pergerakan arus, pergerakan material (termasuk material pencemar), serta pertumbuhan fitoplankton dapat diketahui. Sehingga kondisi ekosistem Danau Toba dapat diproyeksikan kedepannya.
Jika mengacu pada Peraturan Presiden Nomor 81 Tahun 2014 yang menetapkan Danau Toba sebagai destinasi wisata maka, menurut Fauzan, kajian LIPI ini bisa mendukung pemerintah pusat maupun daerah dalam upaya memperbaiki kualitas air danau, demi mendukung iklim investasi pariwisata.
“Simulasi numerik ini diharapkan juga dapat diaplikasikan dalam penyusunan konsep pengelolaan ekosistem pada danau-danau lainnya di Indonesia,” ujar Fauzan