LOMBOK, MENARA62.COM — Desir angin pagi ini begitu kencang membuat tubuh menggigil kedinginan. Rinjani yang gagah mulai menampakkan diri di bawah semburat matahari pagi, namun udara masih terasa sangat dingin. Di lereng gunung itu, terdapat sebuah desa yang terdampak gempa, yaitu Desa Sembalun. Rumah-rumah mereka yang tinggal di desa tersebut sebagian ambruk tidak bisa ditempati sama sekali.
“Iya, ini yang di sana, sudah tinggal atapnya aja,” tutur Yuli, salah seorang ibu rumah tangga yang tinggal di salah satu tenda posko pelayanan yang didirikan oleh Mdmc dan Lazizmu sembari menunjuk puing-puing sisa reruntuhan rumahnya seperti dikutip dari Muhammadiyah Newsroom Network/MNN hari ini, Senin (10/9/2018).
Sejak gempa pertama yang melanda pemukiman tersebut, mereka sudah tidak berani lagi tinggal di rumahnya, tapi tinggal di tenda berbaur dengan keluarga dan masyarakat lainnya. “Anak yang udah SD masih trauma, dia ga berani masuk ke tenda sendirian,” tutur Yuli. Dia beserta keluarganya sudah sejak gempa pertama meninggalkan rumahnya.
Yuli juga menuturkan bahwa, ada sekitar tujuh pulu kepala keluarga yang tinggal di tenda-tenda posko Muhammadiyah di desa tersebut.
“Satu tenda ada yang tiga KK ada yang lima KK,” lanjut Yuli. Dia juga menceritakan bahwa beberapa waktu lalu sempat kekeringan dan kekurangan air bersih.
Selain itu, dia juga menceritakan rasa traumanya. Tapi, saat ini rasa trauma tersebut perlahan hilang. “Rumah kita sekarang udah roboh-roboh jadi nggak takut pulang atau ke toilet, gak takut lagi, gak kayak kemarin pas berdiri kayak seram, rasanya melihat rumah sendiri kayak trauma.”
Senada dengan Yuli, Hj. Yuli yang juga wali murid di sekolah darurat bercerita tentang gempa yang melanda desanya. Dia menuturkan bahwa, sebelumnya tidak pernah merasakan musibah seperti yang menimpa beberapa waktu lalu itu, “Gempa pertama rumah ga apa-apa, tapi gempa yang keberapa itu, baru rumah ambruk ga bisa ditempati sama sekali,” tuturnya.
Yuli melanjutkan, bahwa sejak ia tinggal di Lombok belum pernah ada musibah seperti saat ini, “Baru ini, ditanyain sama nenek juga dia bilang begitu, belum pernah,” lanjutnya.
Rasa trauma juga disampaikan oleh Hj. Yuli. Dia tinggal di tenda bersama lima kepala keluarga. “Saya sih, gimana ya, biasa aja. Mungkin ini suatu cobaan, tapi keluarga yah yang agak trauma. Anak-anak juga sudah mulai semangat karena sering ada hiburan,” tutupnya.